May 29, 2008

Apakah Engkau Lapar dan Haus?

"Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan"

Kalimat radikal ini muncul dari mulut Tuhan kita, dan semakin memperjelas beda antara orang Kristen dengan yang bukan Kristen. Jurang dikotomi ini menganga semakin lebar karena penegasan Yesus memiliki implikasi bahwa orang yang tidak memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran, maka iman Kristiani-nya patut diragukan.

Apakah arti kebenaran yang dimaksud oleh Kristus? Kebenaran disini secara sederhana berarti kumulasi hal-hal yang menjadi kehendak Allah di dalam hidup kita. Ketika para muridnya mengajak Ia makan, Yesus menjawab: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34) Inilah ‘kebenaran’ yang dimaksud Kristus; yang menjadi makanan bagi diri-Nya.

Salah satu tanda orang hidup adalah memiliki nafsu makan dan minum yang sehat. Orang sakit pun masih ada sedikit keinginan untuk makan. Namun orang mati samasekali tidak ada nafsu makan minum. Demikian pula Jika kita tidak ada nafsu makan dan minum kebenaran Allah, yaitu untuk menjalankan kehendak Allah, kita berarti masih mati rohani, belum mengalami regenerasi oleh Roh Kudus.

Yang kedua, nafsu lapar dan haus ini menjadi cermin karakter kita. Thomas Watson mengomentari Matius 5:6 dengan menggarisbawahi sebuah konsep penting, yaitu bahwa “Desire is the best discovery of a Christian.” Berikut elaborasinya:
What you desire explains your heart. I dare say that there is no one here that desires to go to hell. All want to go to heaven. But that is not the issue. The issue is do you desire to be like Christ? For that is a Christian—not simply someone going to heaven, but a person in whom Jesus Christ has revealed His own righteous life.

The spiritual appetite that Jesus Christ calls for is the desire to be like Christ, not simply have the benefits of Christ. It is the desire to have Christ above all that the world offers. It is the desire for Christ that does not give up or abate because of difficulties or demands. It is the desire for Christ that does not faint at the cost of true discipleship. It is the desire for Christ that cannot be put off for lesser things, or procrastinated over while one ventures after the world (Thomas Watson, Matthew 5:6 The Blessing of Hungering & Thirsting, 124-126).

Kelaparan inilah yang menyatakan natur kekekalan yang ada di setiap hati manusia – kekosongan yang hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan. C.S. Lewis dengan senada pernah berkata bahwa kita tercipta untuk ‘dunia yang lain’: “If I find in myself a desire which no experience in this world can satisfy, the most probable explanation is that I was made for another world.”

Alkitab memberi kesaksian bagaimana para hamba Allah memiliki kerinduan yang mendalam dan satu-satunya hanya kepada Allah. Asaf dalam Mazmur 73 menulis, "Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya." Pemazmur menulis hal yang senada: "Satu hal telah kuminta kepada Tuhan, itulah yang kuingini. Diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyakiskan kemurahan Tuhan dan menikmati baitnya" (Mazmur 27:4).

Jika kita tidak memiliki hasrat untuk mencari kehendak Allah dengan membaca, merenungkan, menelaah firman-Nya, lalu hidup didalamnya, kemungkinan besar ada sesuatu yang sangat salah dengan iman Kristiani kita.

Tailor-made Yoke

"Come to me, all who labor and are heavy laden, and I will give you rest. Take my yoke upon you, and learn from me, for I am gentle and lowly in heart, and you will find rest for your souls. For my yoke is easy, and my burden is light ”(Mt 11:28-30).

The following commentary from William Barclay on the above passage and in particular the yoke of Christ has been instrumental in my understanding of 'meekness' that Jesus meant in Matthew 5:5.
A yoke was a wooden frame which was put on the backs of animals and around their necks joining the two animals for a common task, such as plowing or pulling a load. If you were yoked with Jesus Christ, who do you think would "pull the load"? Obviously the Lord.

And so in order to manifest meekness we must yoke ourselves to Jesus, for He is the very essence and epitome of meekness. He promises us that if we take His we will find the rest of available in a meek, humble heart. The picture would have been very familiar to Jesus' audience for in Biblical times a young ox was commonly yoked to an older, more experienced ox so that the older ox might train the younger to perform properly. For example, by bearing the same yoke, the untrained ox would soon learn the proper pace and how to heed the direction of the master. By analogy believers learn by being yoked to Christ, as we surrender to His will in every area of your life.

His yoke is "easy" in that it is good and profitable and has nothing harsh or galling about it. Christ's yoke is not one which chafes, irks or galls, but is smooth and even. Hence, the term suggests that gracious nature which mellows that which otherwise would have been harsh and austere. Christ yoke is "easy" in that it is well-fitting. In Palestine ox yokes were made of wood. The ox was brought, and the measurements were taken. The yoke was then roughed out, and the ox was brought back to have the yoke tried on. The yoke was carefully adjusted, so that it would fit well, and not gall the neck of the patient beast. The yoke was tailor-made to fit the ox. And so is His yoke for you beloved, for He is "gentle and humble in heart". Learn meekness from the Master's touch.

May 27, 2008

Lemah Lembut, Pewaris Bumi

"Berbahagialah mereka yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi" (Matius 5:5).

Seperti apakah orang lemah lembut yang dimaksud Tuhan Yesus dalam Matius 5:5 diatas? Apakah Anda dan saya termasuk orang lemah lembut? Kita mulai dengan apa yang BUKAN arti dari lemah lembut:
- Lemah lembut bukan lemah gemulai.
- Lemah lembut bukan penakut.
- Lemah lembut bukan cengeng.
- Lemah lembut bukan rendah diri.
- Lemah lembut bukan malu-malu kucing.
- Lemah lembut bukan berarti pendiam atau introvert.
- Lemah lembut bukan berarti selalu mengalah.
- Lemah lembut bukan berarti selalu cari damai dan aman.
- Lemah lembut bukan berarti tidak tegas.
- Lemah lembut bukan berarti selalu berkata “Yah, terserah situ”.
Mau kawin sekarang atau besok-besok? Ya terserah situ deh. Mau tinggal di Australia atau di Indonesia? Ya terserah situ deh. Mau makan nasi atau bakmi ? Ya terserah situ deh. Bersedia ndak mati dengan saya? Ya terserah situ deh. Apakah semuanya kamu terserah sama saya? Ya terserah situ deh.
Lemah lembut yang dimaksud Yesus adalah STRENGTH UNDER CONTROL.

Menurut Strong's NT Greek Lexicon, kata Praus yang diterjemahkan lemah lembut memiliki arti sebagai berikut:
"Meekness toward God is that disposition of spirit in which we accept His dealings with us as good, and therefore without disputing or resisting. In the OT, the meek are those wholly relying on God rather than their own strength to defend them against injustice. Thus, meekness toward evil people means knowing God is permitting the injuries they inflict, that He is using them to purify His elect, and that He will deliver His elect in His time." (cf Isaiah 41:17)

Konkritnya begini. Orang lemah lembut menaruh secara total kelebihan dan kekuatannya dibawah kontrol Allah. Orang lemah lembut menaklukkan segala hal yang ia mestinya mampu lakukan dibawah pimpinan mutlak Roh Kudus. Orang lemah lembut menaruh hak-hak hidupnya dan menyerahkannya kepada Allah

Orang lemah lembut dapat menguasai emosinya, dan tidak lagi dipenjara oleh rasa marah yang berdosa, iri hati, keinginan balas dendam, kepahitan, dan maksud-maksud jahat. William Barclay menulis bahwa "The man who is praus is the man who is always angry at the right time and never angry at the wrong time" (The Gospel of Matthew, The New Daily Study Bible Westminster, John Knox Press). Itu berarti orang yang lemah lembut bukannya orang yang tidak pernah atau tidak bisa marah, atau orang yang marah berlebihan, melainkan selalu marah pada saat yang tepat. Alkitab mengajarkan bahwa ada marah yang berdosa dan marah yang penuh kebenaran, ada sinful anger dan righteous anger.

NATUR LEMAH LEMBUT
Kelemahlembutan seperti itulah yang membuat orang disekitar kita memuliakan Bapa di sorga (Mat 5:16). Kelemahlembutan ini adalah buah pekerjaan Roh Kudus yang mentransformasi hidup kita (Gal 5:22), dan tidak mungkin kita dapat rekayasa sendiri. Mengapa? Jawaban pertanyaan ini diberikan Dr Martyn Lloyd-Jones yang mencoba membedakan kualitas Kristiani ketiga ini dengan dua kualitas pertama yang diucapkan Tuhan kita sebagai berikut:
Here we are reaching a point at which we begin to be concerned about other people. Let me put it like this. I can see my own utter nothingness and helplessness face-to-face with the demands of the gospel and the law of God (the first beatitude, "poor in spirit"). I am aware, when I am honest with myself, of the sin and the evil that are within me, and that drag me down (the second beatitude, "those who mourn"). And I am ready to face both these things.

But how much more difficult it is to allow other people to say things like that about me! I instinctively resent it. We all of us prefer to condemn ourselves than to allow somebody else to condemn us. I say of myself that I am a sinner, but instinctively I do not like anybody else to say I am a sinner. That is the principle that is introduced at this point. So far, I myself have been looking at myself. Now, other people are looking at me, and I am in a relationship to them, and they are doing certain things to me. How do I react to that? That is the matter which is dealt with at this point. I think you will agree that this is more humbling and more humiliating than everything that has gone before. (Meekness) is to allow other people to put the searchlight upon me instead of my doing it myself. (Lloyd-Jones, Studies in the Sermon on the Mount)

KRISTUS YESUS, TELADAN SEMPURNA
Alkitab memberi beberapa teladan orang yang lemah lembut sebgmana Mat 5:5, yaitu Musa dan Yusuf secara khusus. Namun teladan sempurna diberikan oleh Tuhan kita sendiri. Tentang Dia, Petrus menulis “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.” Sebagai Pencipta, betapa mudah bagi Kristus untuk melenyapkan ciptaan-Nya yang celaka itu.
- Ketika Ia dikonfrontasi oleh Pilatus, Ia tidak merasa perlu untuk membela diri
- Ketika Ia dicaci maki dan diludahi, Ia tidak membalas dengan keluhan, gerutu atau hujatan
- Ketika orang-orang terdekatNya meninggalkan dan menelantarkan Dia, Ia tidak menyumpahi mereka
- Ketika Petrus akan menyangkali Dia, Ia tidak dendam melainkan malah menerima Petrus kembali
- Meski Yesus tahu Yudas akan menghianatiNya, Ia tetap membasuh kaki Yudas dengan penuh kasih
- Meski para tentara Romawi itu menyalibkan Yesus, Ia malah berdoa bagi mereka meminta pengampunan Bapa.

Yesus sangat lemah lembut. Namun saat Yesus melihat bahwa kemuliaan Bapa-Nya diinjak-injak, saat kesucian Bapa-Nya dianggap remeh oleh orang, Ia berespon, bereaksi, bahkan bertindak begitu tegas dan keras:
- Dia menegur orang Farisi yang hatinya keras seperti batu (Mat 12:9-45)
- Dia membuat cambuk dan mengusir para pedagang yang mengkomersialkan bait Allah (Yoh 2:14-17)
- Dia memanggil Petrus "Setan" saat Petrus mencoba untuk membelokkan Yesus dari misi hidupnya (Mat 16:21-23)

Kedua sisi Yesus ini bukan kasus multiple personality, namun inilah MIA ('meekness in action'). Yesus begitu gentle saat diriNya diserang, namun menjadi begitu marah saat kepentingan Bapa-Nya diserang.

DASAR KELEMAHLEMBUTAN
Kunci untuk menerapkan lemah lembut adalah penyerahan diri pada Tuhan. Dan persis itulah alasan mengapa banyak yang mengaku Kristen tidak lemah lembut. Mereka tidak memiliki penguasaan diri dan kebesaran jiwa untuk tidak membela diri ketika mereka merasa hak-hak mereka dilanggar. Mereka termakan filosofi dunia yang berkata "Jika engkau tidak membela dirimu sendiri, tidak ada yang akan melakukannya untuk engkau!" Itu sebab mereka sering marah untuk menutupi kerapuhan ego mereka yang sibuk berpikir "Sikap mereka kepada saya keterlaluan. Saya khan sudah melakukan ini dan itu. Pantaskah saya menerima semua perlakuan seperti ini? Kalau ini saya biarkan, mereka akan semakin menjadi-jadi."

Menjadi lemah lembut adalah menundukkan diri dibawah Allah yang berdaulat atas dunia dan segala isinya. Eugene Peterson mendefinisikan "submission" sebagai Freedom from the Need to "Have It Your Way". Anda dan saya adalah narapidana dari penjara keinginan untuk segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak kita. Kita perlu belajar untuk tidak memilih "my way" dan berserah pada "God's way." Jika kita percaya Allah itu maha bijak, maha kuasa, maha kasih, maha suci, maha adil, maka kebutuhan kita untuk membela diri, untuk mengambil posisi defensif, untuk tersinggung dan naik pitam tidak lagi relevan. Serahkan dirimu, hak-hakmu, ambisimu, masa depanmu di tangan Allah, khususnya saat Anda merasa diperlakukan tidak adil.

Awesome Video Clips

Bluefish TV produced some hilarious and powerful clips. For a very low cost, you can download them here for your church group. Here are a few clips that stand out:

On Witnessing


On Pseudo Servant of Jesus


Jesus is the only way


Psalm 23 recited by a Little Girl

Scots Church and the Cross

This is a satellite image of the Scots Church Melbourne, which I captured from Google map. The view from up there is totally different from those I have every Sunday on the ground. In fact, from up there, if you leave all peripherals in the surrounding out, all you see is the Cross!

What a fitting reminder of the mission and focus of the church as the Apostle Paul wrote to the Corinthians: "For I decided to know nothing among you except Jesus Christ and him crucified." (1 Corinthians 2:2)


View Larger Map

Melbourne the scholarly city but...

According to the 2008 Global University City Index reported here which measures top cities in the world that house top universities listed in the Financial Times Higher Education ranking, Melbourne comes up number 4, following London, Boston, and Tokyo. Here are the top 10 winners:

The 2008 Global University City Index
London Britain
Boston US
Tokyo Japan
Melbourne Australia
Sydney Australia
Pittsburgh US
Paris France
Vienna Austria
Chicago US
New York US

The report cites Melbourne Uni, Monash Uni, and RMIT as the prestigious three universities that put Melbourne on the list. Hence, not only Melbourne is the second most liveable city (after Vancouver) according to the Economist survey, but it is now one of the top cities in the world that puts education as its premium. No wonder we have lots and lots of international students in Melbourne, 20,000+ of which come from Indonesia. Another good reason for me to reside permanently in Melbourne . . .

However, that's only half of the story. The other half is a bit unpleasant. According to research conducted by Monash Uni researchers (some of whom I know well), this 300,000+ international students in Australia make up what they call a vulnerable workforce. They found that many of these students are classified as 'at risk' financially and occupationally, that is they face severe financial hardship and are prone to their employers' exploitation. Read their publicly available report of the study entitled International Student-Workers in Australia: A New Vulnerable Workforce.

May 22, 2008

God is watching

Found the following in Gordon MacDonald's column in CT:
Thanks to Steve Brown in his book Scandalous Freedom:

I am reminded of a convent school where a basket of apples sat on the dining room table. A note under the basket said, "Take only one. God is watching."

At the other end of the dining room sat another basket filled with chocolate-chip cookies. In a child's handwriting, a note under the basket read: "Take all the cookies you want. God is watching the apples."

The Problem with Christian Leadership Books

I wholeheartedly agree with Chris Blumhofer, Associate Editor for BuildingChurchLeaders.com, who wrote a recent piece in the Out of Ur blog on the misrepresentation of Jesus as merely a leader in many well-meaning but theologically flawed Christian leadership books.

I have written elsewhere that the Christian leadership literature is replete with three kinds of authors: (1) Academically rigorous but theologically flawed; (2) Academically weak but theologically sound, (3) Both academically weak and theologically flawed. Sadly, category #3 abounds in the crowded leadership shelves in many Christian bookstores.

What we need is the fourth category: Academically rigorous and theologically sound. I have a copy of the book "Jesus CEO" referred to by Blumhofer; which I think is not only theologically flawed, but very anthropocentric in its treatment of Christ Jesus, the Gospel, and the Word of God.

Here is a portion of Blumhofer's piece. The complete text can be read here.
The major problem with the books that get him wrong occurs in the area of interpretation. Take John 10:10, Jesus saying, “I came that they might have life and have it abundantly.” Let’s evaluate the reflection on that verse published in Jesus, CEO: Using Ancient Wisdom for Visionary Leadership:

Many times leaders and managers expect their employees to leap through the flames for them but do not define what the purpose or reward will be. Then they wonder why nobody is leaping…. As Harry Pickens, a marketing seminar leader, said, “People are tuned in to one station: WIFM. And those letters stand for “What’s in it for me?”
Jesus clearly defined his staff’s work-related benefits.

No. Jesus was not demonstrating any principle about the year-end bonus, revenue sharing, or 401(k) matching. In the cosmic battle between God and Satan, John 10:10 sets up Jesus, the sacrificial Good Shepherd, against Satan, the thief. Jesus wasn’t talking about—and never meant to imply—anything about “work-related benefits.”

Reading the Gospels for leadership principles like team building, vision casting, or “seeing the potential in others” makes a mockery of authorial intent and historical-cultural backgrounds. Such readings appear to take the Bible seriously, but they don’t do it justice; they simply create anachronistic interpretations. Could Jesus-as-leader book be flirting with recreating Jesus as one of us (or one of who we hope to be)?

Jesus has much to say to leaders, but we (especially those of us who lead) can only hear him clearly when we remember that Jesus is not primarily a leader. He is God’s Anointed One, the Suffering Servant, the prophet greater than Moses.

May 20, 2008

Life in Cold Blood

BBC bulan Februari kemarin merilis seri terbaru tentang alam ciptaan, Life in Cold Blood. Saya menontonnya ketika diputar di TV network lokal di Australia selama beberapa minggu berturut-turut. Seri ini dinarasi oleh David Attenborough, expert di bidang wildlife yang telah 50 tahun lebih mempelajari dan melaporkan keajaiban alam dan binatang. Ia mengamati dari dekat kehidupan berbagai binatang amfibi dan reptil.

Beberapa hari lalu saya menonton bagian terakhir dari seri ini. Banyak yang berkesan, satu hal yang nyantol di kepala saya. Seekor buaya yang giginya lebih tajam daripada pedang-nya Hiro Nakamura memiliki kemampuan untuk dengan lembut menetaskan telur yang bapet agar anaknya bisa lahir, lalu memindahkan bayi yang baru lahir tersebut dengan mengambil dengan giginya, menaruh dalam mulut, menahan dengan giginya agar tidak jatuh, dan mengangkutnya ke tempat yang aman. Semua itu ia lakukan tanpa melukai bayinya. Luar biasa! Dan kekaguman saya terhadap buaya ini lalu beralih kepada Allah Pencipta buaya tersebut.

Berikut penjelasan formal ttg scene tadi:
The complex communication and body language of the American alligator is investigated and in Argentina, the calls of young caimans help their mother locate and lead them to a nursery pool. The mother's maternal instinct extends to releasing unhatched babies by gently crushing their eggs in its jaws.

Tertarik untuk beli? Sama dengan saya. Lihat dulu Top Ten Clips dari BBC website ttg seri ini.

Carson & Horton ttg Justification



D.A. Carson dan Michael Horton baru-baru ini berduet dalam sebuah conference - Clarus, membahas dari buku Galatia tentang justification dan salib. Berikut judul-judul sesi yg dibawakan (sesi pertama mendapat review yg sangat baik) yg Anda bisa dengar via blog ini.

An Apostolic Disputation - and Justification - D.A. Carson

Panel Discussion 1 (Friday evening) - D.A. Carson and Michael Horton

Two Mothers, Two Mountains - Dr. Michael Horton

Justification/Righteousness and the Cross of Christ - D.A. Carson

Panel Discussion 2 (Saturday afternoon) Pt. 1 - D.A. Carson and Michael Horton

Panel Discussion 2 (Saturday afternoon) Pt. 2 - D.A. Carson and Michael Horton

The Promise-Driven Life - Michael Horton

Panel Discussion 3 (Saturday evening) - Michael Horton

"The Ironies of the Cross" - D.A. Carson


HT: Vitamin Z

May 19, 2008

Doa untuk sebuah kerinduan

Saat ini kami berdiam diri dihadapanmu, ya Tuhan.

Memisahkan diri dari putaran rutinitas hidup kami
yang menguras tenaga dan pikiran kami
Berhenti dari segala hiruk pikuk dunia yang
berbagai ekpektasinya membuat kami selalu kelelahan
Kami ingin datang kepadaMu yang pernah berjanji
bahwa kepada yang letih lesu dan berbeban berat,
Engkau akan memberi kelegaan.

Karena seringkali saat kami letih lesu,
kami mencoba mencari hiburan,
meng-entertain diri kami dengan makan dan minum,
dengan musik dan film, dengan sport dan games,
dengan acara santai dan rilex.

Kami berkata kepada diri kami sendiri:
“Hai jiwaku, ada padamu banyak hiburan, nikmatilah semua itu,
beristirahatlah, makanlah, minumlah, bersenang-senanglah!
Tidak heran ya Tuhan, jika Engkau memanggil kami orang bodoh, orang bebal.
Karena jiwa kami tidak akan pernah dipuaskan oleh barang dan jasa dari dunia ini.

Mungkin lidah kami menari-nari dengan makanan dan minuman yang lezat,
mata dan telinga dijamu dengan suara musik dan tayangan film,
sel-sel otak kami disegarkan oleh sport dan games,
dan tubuh kami dimanjakan dengan berbagai cara untuk rileks.

Namun semua itu hanyalah kepuasan tubuh, bukan kepuasan jiwa.
Semua itu kepuasan sementara yang datang begitu cepat dan pergi begitu cepat,
bukan kepuasan yang memberi kami stamina menghadapi hidup yang keras ini.
Semua itu kepuasan yang dicari oleh orang-orang yang tidak mengenal-Mu,
bukan kepuasan yang Engkau janjikan kepada orang-orang yang mencari Engkau.

Saat ini kami berdiam diri dihadapan-Mu, ya Tuhan.
Kami ingin datang kepada Engkau yang mampu memberi
kelegaan jiwa kepada kami yang letih lesu dan berbeban berat.
Kelegaan jiwa dari Mu itulah, dan hanya itulah, yang memampukan kami
untuk memikul dengan sukacita dan sukarela Kuk yang Engkau pasang

Bahkan Tuhan kami datang dengan kerinduan bukan untuk mendapat
kelegaan dari-Mu, melainkan untuk mendapatkan Engkau sendiri.
Tolong kami untuk melihat bahwa lebih berharga dari segala berkat
yang Kau limpahkan pada kami adalah DiriMu sendiri Sang Pemberi Berkat.

Saat mata rohani kami tertuju pada Mu semata,
saat hati kami sungguh terpaut akan keindahanMu,
semua kenikmatan dunia tidak lagi menarik hati kami.

Saat kami terpesona dengan kemuliaan-mu ya Allah yang nampak
dalam wajah Kristus, tipuan manis dosa tidak lagi memikat hati kami.
Kami tidak lagi melihat dosa menggairahkan karena
Engkau jauh lebih memuaskan dan menyenangkan kami.

Itulah kerinduan kami ya Tuhan. Kami ingin memiliki kerinduan
itu senantiasa sepanjang sisa umur hidup kami.
Perbuatlah apa yang baik menurut kehendakMu ya Allah,
gar kerinduan tersebut tinggal dalam hati kami.

May 16, 2008

Dukacita yang Membawa Sukacita

Kita menangis untuk banyak hal. Kita menangis bila kita ditinggal pergi oleh orang-orang yg kita kasihi. Kita menangis jika kita gagal dalam ujian. Kita menangis jika kita diputuskan oleh pacar. Kita menangis bila kita difitnah oleh rekan kerja kita atau dimanipulasi oleh bos kita. Kita menangis bila disalahmengerti oleh suami, istri, anak, pacar kita. Kita menangis bila ada kesulitan menimpa hidup kita. Kita menangis bila tubuh kita menderita penyakit tertentu. Kita menangis dalam semua hal itu. Dan itu wajar. Itu manusiawi.

Abraham menangis ketika istrinya meninggal (Kej 23:2). Pemazmur menangis saat ia merasa sendirian ditinggalkan Allah dalam penderitaannya (Mz, 42:1-3). Timotius menangis saat ia merasa BT, frustrasi dalam pelayanan (2 Tim 1:3-4).Dan saat kita datang kepada Allah, Ia yang adalah sumber penghiburan akan menghibur kita. Namun penghiburan Allah dalam semua hal itu tidak datang bersama dengan pernyataan Allah bahwa Ia berkenan kepada kita. Air mata kita bukan air mata yg membuat kita disebut berbahagia. Our tears are not blessed tears.

Air mata yang diberkati Allah adalah air mata yang kita cucurkan meratapi dosa-dosa kita dan dosa-dosa orang lain.

Apakah kita menangisi dosa kita sebagai perwujudan natural penyesalan kita dan komitmen kita meninggalkan dosa tersebut? Menangisi dosa adalah respon emosional yang menjadi tanda konkrit sikap hati kita terhadap dosa. Jika kita tidak pernah meratapi dosa kita sendiri, mungkin kebencian kita terhadap dosa tidak pernah menyentuh aspek kehendak (affect) kita, namun hanya sebatas retorika "Orang Kristen harus membenci dosa". Jadi di kepala kita benci dosa, di hati kita sangat toleran terhadapnya. Jika dalam deklarasi kebahagiaan yang pertama "Berbahagilah mereka yang miskin dihadapan Allah" adalah sebuah sikap intelektual, maka deklarasi kedua "Berbahagilah mereka yang berdukacita" adalah respon emosional yang muncul secara natural terhadap dosa. Kalau kita tidak pernah menangisi dosa sendiri, saya pikir sulit bagi kita untuk dapat menangisi dosa orang lain.

Pemazmur menulis, “Air mataku berlinang seperti aliran air, karena orang tidak berpegang pada TauratMu" (Mzm 119:136). Saya bayangkan ketika pemazmur menulis doanya kepada Allah, hatinya sedang berpikir tentang orang-orang yang hidup di luar Allah, tidak peduli terhadap Allah, dan merasa tidak butuh Allah, dan air matanya menetes, dan menetes, dan terus menetes, membasahi halaman-halaman buku doanya. Hal yang sama dialami oleh Yeremia yang menangisi orang-orang yg akan dihakimi Allah karena dosa-dosa mereka “Sekiranya kepalaku penuh air dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh” (Yer 9:1). Terhadap guru-guru palsu yang berkeliaran di gereja-gereja Tuhan, yang perkataannya menjalar seperti penyakit kanker, mengacaukan jemaat, rasul Paulus berkata, “Kunyatakan pula sekrang sambil menangis, banyak orang hidup sebagai seteru salib Kristus.” Dalam 2 Korintus 12:21, rasul Paulus menulis kepada jemaat korintus ttg kekuatirtannya: “Aku kuatir … bahwa aku akan banyak berdukacita terhadap banyak orang yang dimasa yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan tidak kesopanan yang mereka lakukan.” Sejarah gereja dipenuhi dengan linangan air mata orang-orang seperti Calvin, Whitefield, Wesley, Wilberforce, dst.

Bagaimana dengan Anda dan saya? Seringkali kita hanya cuek akan dosa dunia, dosa orang-orang yang terjadi di sekeliling kita, Atau kita ikut mengutuki dosa mereka. Kita menyatakan kejijikan kita atas dosa-dosa mereka. Tetapi perhatikan sikap Yesus di Matius 23. Yesus memang mengutuki orang-orang Farisi yang merasa diri benar dan tidak butuh Allah. Namun sikap tersebut tidak keluar dari hati yang pahit dan benci terhadap mereka. Di akhir pasal tsb, Yesus berkeluh kesah, menangisi Yerusalem: ”Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu. Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya dibawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau”

Bagaimana dengan Anda dan saya? Jujur saja bahwa tidak seperti pemazmur, buku doa saya basah bukan karena linangan air mata, tetapi karena kopi saya tumpah kesenggol. Bahkan buku doa saya itu banyak halaman kosongnya, karena saya tidak pernah pakai buku doa syafaat. Memiliki compassion terhadap orang lain sbgmana Yesus melihat kerumunan orang banyak seperti domba yang lelah dan terlantar tidak bergembala adalah sebuah kapasitas rohani yang penting. Dan itu salah satu area dimana saya perlu banyak belajar.

Bagaimana kita dapat bertumbuh dan belajar dalam area tersebut? Berikut kutipan dari Don Carson dari bukunya Jesus’ Sermon on the Mount:
The Christian is to be the truest realist. He reasons that death is there, and must be faced. God is there, and will be known by all as Savior or Judge. Sin is there, and is unspeakably ugly and black in light of God’s purity. Eternity is there, and every living human being is rushing toward it. God’s revelation is there, and the alternatives it presents will come to pass: life or death, pardon or condemnation, heaven or hell. There are the realities that will not go away. The man who lives in the light of them, and rightly assesses himself and his world in the light of them, cannot but mourn. He mourns for the sins and blasphemies of his nation. He mourns for the erosion of the very concept of truth. He mourns over the greed, the cynicism, the lack of integrity. He mourns that there are so few mourners.

Orang Kristen DuniawI?

Bill Bright, pendiri Campus Crusade International ministry di Amerika, mempopulerkan ajaran yang ia kutip dari Scofield Bible bahwa manusia dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu 1 jenis orang yang belum Kristen dan 2 jenis orang yang sudah Kristen (yang rohani dan yang masih hidup dalam kedanginan - carnal). Teori diatas muncul dalam pamflet berjudul Have You Made the Wonderful Discovery of the Spirit-filled Life? karangan Dr. Bill Bright yang disebarkan secara luas di kampus-kampus di Amerika (dan diterjemahkan di negara-negara lain) oleh Campus Crusade sejak tahun 1990-an, sebagaimana tampilan berikut:


Pembagian ini didasari atas pemahaman yang salah kaprah terhadap teks dalam 1 Kor 2:14-3:3 dimana rasul Paulus memakai 3 frase yang berbeda: Manusia duniawi (natural man, 1 Cor 2:14); Manusia rohani (spiritual man, 1 Cor 2:15); Manusia rohani yg hidup dalam daging (carnal man, 1 Cor 3:1-3). Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan bagian ini:

1. Konsekuensi dari pembagian orang Kristen menjadi manusia rohani dan manusia rohani yang masih hidup secara duniawi, dalam hawa nafsu kedagingannya sangat fatal. Karena saya lalu bisa berkata, "Ah... ga apa-apa masih punya kebiasaan dosa tertentu. Saya ini khan golongan orang Kristen carnal, khan rasul Paulus saja memaklumi bahwa ada golongan semacam itu dalam jemaat!" Dengan demikian, iman kita tidak lebih dari asuransi kebakaran agar terlindung dari api neraka, sementara tabiat dosa kita terus berjalan tanpa terusik sedikitpun.

2. Kalau begitu, apa yang dimaksud Paulus di ayat 3:1 dengan carnal (KJV), people of the flesh (ESV), men of flesh (NASB), wordly (NIV)? Saat Paulus memakai karakteristik tersebut bagi jemaat Korintus yang sebagian besar memang hidup brengsek dan sembarangan, ia tidak mengusulkan bahwa mereka berperilaku seperti orang Kristen kelas dua, yang kurang rohani tetapi tetap adalah orang Kristen. Dia sedang berkata bahwa mereka tidak berperilaku sama sekali seperti orang Kristen.

Orang-orang yang masih terus bersuka hidup dalam kedagingan, hawa nafsu dunia adalah orang-orang yang TIDAK BISA disebut sebagai orang Kristen, sebagaimana ayat-ayat berikut menunjukkan:
Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Galatia 5:24).

Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya (1 Yoh 2:15-17).

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga (Matius 7:21).

Iman yang menyelamatkan selalu menghasilkan hidup yang berubah. Kita tidak menerima Yesus hanya sebagai Juruselamat saja (asuransi api neraka) tetapi tidak mengakuinya dan mentaatinya sebagai Tuhan (tuan, pemilik). Itu sebabnya meski pembenaran oleh Allah (justification) dan pengudusan oleh Allah (sanctification dapat dipisahkan, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan orang percaya. J.C. Ryle dalam bukunya Holiness menggarisbawahi hal ini:
"The Word of God always speaks of two great divisions of mankind, and two only. It speaks of the living and the dead in sin - the believer and the unbeliever - the converted and the unconverted - the travellers in the narrow way and the travellers in the broad - the wise and the foolish - the children of God and the children of the devil. Within each of these two great classes there are, doubtless, various measures of sin and of grace; but it is only the difference between the higher and lower end of an inclined plane. Between these two great classes there is an enormous gulf; they are as distinct as life and death, light and darkness, heaven and hell. But of a division into three classes the Word of God says nothing at all." [J.C Ryle Holiness, xv]

May 12, 2008

Sukacita yang Membawa Kematian

Yesus Kristus bersabda, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Matius 5:4). Dukacita yang dimaksud Yesus adalah duka yang secara spesifik mengacu kepada dosa. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah “Celakalah mereka yang bersukacita – di dalam dosa!” Jika Kristus mencucurkan darahNya diatas kayu salib karena dosa, betapa celaka mereka yang tertawa kegirangan dalam dosa-dosa mereka. Kepada orang menertawakan dosa, “Allah berkata bahwa aku akan menertawakan celakamu” (Amsal 1:24-27)

Hati orang-orang yang sedemikian adalah ‘hati yang sekeras batu’ (Yehezkiel 11:19). Hati yang membatu tidak akan memiliki sensitivitas terhadap dosa. Hati yang sedemikian adalah hati yang kebal, yang mati rasa. Hati yang tidak pernah meratapi dosa. Orang yang berhati batu saat ia berbuat dosa tidak akan merasa ia telah berdosa. Karena ia tidak sensitif terhadap dosanya sendiri dan luapan amarah Allah terhadapnya. Hati yang keras selalu menentang suara Roh Kudus dalam hatinya untuk bertobat. Salah satu tanda yang paling jelas bahwa manusia itu adalah orang berdosa adalah bahwa ia tidak sadar akan dosanya, demikian tulis Martin Luther.

Inilah beda antara batu ginjal dan batu hati. Kalau ginjal kita ada batunya, maka kita akan merasa sakit, kenyerian yang luar biasa, sehingga kita akan segera meminta ahli bedah untuk mengoperasi dan mengeluarkan batu tersebut. Itu ginjal yang membatu. Tetapi kalau hati kita yang membatu, maka kita tidak akan merasakan apa-apa. Tidak akan pernah menyadari bahwa sepanjang hidupnya ia telah berdosa kepada Allah yang suci.

Hati yang sedemikian hanya akan membuahkan “murka dan geram” daripada Allah (Roma 2:8), dan hanya berfungsi untuk satu hal: Menjadi bahan bakar api neraka. Satu tanda yang paling jelas bagi mereka yang berdosa adalah orang tersebut tidak sadar akan dosanya sendiri.

Itu sebabnya hati yang keras adalah hukuman yang paling mengerikan yg Allah limpahkan kepada manusia di dunia. Orang yang melakukan dosa yang sangat menjijikkan sekalipun kalau ia dapat berdukacita dan menyesalinya dosanya, ia berada dalam kondisi yang jauh lebih baik daripada orang yang melakukan dosa-dosa yg kecil, yg sepele, namun hatinya keras seperti batu dan ia tidak pernah sadar ia berdosa. Kesadaran akan dosa inilah yang membedakan kekekalan yang akan mereka hadapi: Sukacita kekal surga atau dukacita kekal neraka.

Jika bukan Tuhan yang beranugerah menghancurkan batu dalam hati kita, kita sedang berjalan kepada kematian kekal. Itu sebabnya penulis kitab Ibrani menulis: ”Pada hari ini jika kamu mendengar Suara-Nya, jangalah keraskan hatiMu.

Anda berkata, saya tidak perlu meratapi dosa saya karena saya orang yang hidup bermoral baik. Kalau itu yang kita pikir cukup dihadapan Allah, ratapilah karena Anda cuma bermoral baik, karena orang Farisi juga hidup sedemikian. Dan Yesus berkata kepada mereka dalam Matius 23: CELAKALAH KAMU! Celakalah kamu dengan moralitas hidupmu yang baik di hadapan manusia, yang membuat engkau merasa cukup suci, cukup saleh untuk mendapatkan pengampunan dan perkenan Allah.

Berbahagialah kita yang meratapi dosa kita di bumi, karena kita tidak perlu meratapinya di neraka. Berbahagialah kita yang meratapi dosa kita di dunia, dan bersuka cita di surga. Celakalah kita yang bersukacita atas dosa kita di dunia dan meratapinya di neraka untuk selama-lamanya dalam kekekalan.

May 10, 2008

Lucado on the Beautitudes

God applauds the poor in spirit.
He cheers the mourners.
He favors the meek.
He smiles upon the hungry.
He honors the merciful.
He welcomes the pure in heart.
He claps for the peacemakers.
He rises to greet the persecuted.

~ Max Lucado, The Applause of Heaven.

Implikasi Miskin Rohani terhadap Citra Diri

Jika kotbah di bukit bicara tentang karakter, tentang kualitas hidup orang Kristen, apakah implikasi "Miskin dihadapan Allah" atau kebangkrutan spiritual tersebut terhadap citra diri kita (self-image).

Pengakuan bangkrut rohani dihadapan Allah TIDAK berarti kita mengingkari citra diri kita yang dicipta berdasar rupa dan gambar Allah. Karena setiap manusia adalah "Imago Dei", maka kita memiliki kemampuan untuk membuat pilihan moral, untuk mengasihi dan dikasihi, untuk kreatif mengelola dunia dengan setiap talenta, tenaga, dan uang yang Allah titipkan pada kita. Yesus berkata, Berbahagialah mereka yang miskin dihadapan Allah, tidak berarti berbahagialah mereka yang rendah diri, yang minder, yang merasa tidak mampu apa-apa, karena itu berarti menghina Allah yang mencipta kita dengan berbagai potensi. Ayat tersebut tidak mengajarkan orang Kristen untuk menjadi orang yang minder.

Prinsip ini dapat kita lihat dalam diri Musa. Dalam Keluaran pasal 3-4, ketika Allah memanggil dia untuk memimpin umat Israel keluar dari Mesir, ia mencoba mengelak dengan berkata, "Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" Setelah Allah menjawab keberatan Musa, Musa mencoba berdalih lagi, "Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah." Allah menjawabnya dengan keras, "Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN? Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan." Bukannya malu hati, mendengar sabda Allah tersebut Musa malah berseloroh, "Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus." Mendengar jawaban tesebut, Keluaran 4:4 mencatat "MAKA BANGKITLAH MURKA TUHAN TERHADAP MUSA."

Yang menarik dalam bagian ini adalah bahwa Allah marah terhadap Musa bukan karena Musa rendah hati dan berkata bahwa dia tidak mampu, tetapi karena ia tidak beriman kepada Allah. Pelajaran yang berharga bagi Musa dan kita disini adalah bahwa Allah mengingatkan kita: Jangan melihat ke dalam dirimu sendiri. Tapi lihatlah kepada-Ku. Jika engkau melihat kepada dirimu sendiri, pada talenta, kemampuan, dan pengalamanmu, pasti engkau akan mati. Tetapi jika engkau melihat kepada-Ku, engkau akan hidup. Yang penting bukan lidahmu (seberapun hebatnya itu lidah berputar mengubahkan hidup banyak orang), tetapi Allah yang mencipta lidah. Yang penting bukan pengalamanmu, tetapi Allah yang telah menyertaimu dalam pengalaman2x tersebut dan yang akan terus menyertaimu.

Dengan demikian, pengakuan kebangkrutan rohani BERARTI pengakuan bahwa segala talenta, keberhasilan, dan pengalaman sebesar apapun yang kita miliki bukan saja tidak akan pernah cukup untuk memperkenan hati Allah, tetapi malah akan membuat Allah muak. Yesus menegur dengan keras gereja Laodikia: "Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang." Miskin rohani berarti tidak memiliki segala sesuatu dalam diri sendiri yang bisa diandalkan. Tidak lagi merasa diri benar (self-righteous), merasa diri hebat (self-importance), merasa diri mampu (self-confidence), dst.

Miskin rohani menolong kita untuk memiliki citra diri yang tepat sesuai dengan yang Allah inginkan. Disatu pihak, kita mengakui bahwa Allah telah memberi kita berbagai potensi dan talenta. Tidak mengakuinya membuat Allah marah. Di lain pihak, kita mengakui bahwa potensi dan talenta tersebut tidak berarti apa-apa di luar Allah, karena natur dan efek dosa. Justru potensi dan talenta tersebut menghantar kita untuk menyadari bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah. Tidak ada secuil pun dalam diri saya yang dapat saya banggakan dihadapan Allah.

May 9, 2008

Tempat Conference Baru

Jika Anda perlu mengadakan brainstorming session, acara curhat dan doa, atau rapat kerja untuk pengurus gereja atau urusan kantor, kenapa tidak mencoba ide cemerlang berikut: The Conference Bike!



May 8, 2008

Adler ttg Sikap terhadap Buku

Tim Challies baru-baru ini di blognya mengutip dari Mortimer Adler, penulis buku klasik HOW TO READ A BOOK (yang menurut hemat saya, perlu dibaca oleh setiap orang Kristen yang serius mau bertumbuh dalam imannya). Thanks buat Tim yang mengangkat point ini persis di saat gereja tempat saya melayani sedang memulai program bulan buku:
There are two ways in which one can own a book. The first is the property right you establish by paying for it, just as you pay for clothes and furniture. But this act of purchase is only the prelude to possession. Full ownership comes only when you have made it a part of yourself, and the best way to make yourself a part of it is by writing in it. An illustration may make the point clear. You buy a beefsteak and transfer it from the butcher’s icebox to your own. But you do not own the beefsteak in the most important sense until you consume it and get it into your bloodstream. I am arguing that books, too, must be absorbed in your blood stream to do you any good.

Confusion about what it means to “own” a book leads people to a false reverence for paper, binding, and type — a respect for the physical thing — the craft of the printer rather than the genius of the author. They forget that it is possible for a man to acquire the idea, to possess the beauty, which a great book contains, without staking his claim by pasting his bookplate inside the cover. Having a fine library doesn’t prove that its owner has a mind enriched by books; it proves nothing more than that he, his father, or his wife, was rich enough to buy them.

There are three kinds of book owners. The first has all the standard sets and best sellers — unread, untouched. (This deluded individual owns woodpulp and ink, not books.) The second has a great many books — a few of them read through, most of them dipped into, but all of them as clean and shiny as the day they were bought. (This person would probably like to make books his own, but is restrained by a false respect for their physical appearance.) The third has a few books or many — every one of them dog-eared and dilapidated, shaken and loosened by continual use, marked and scribbled in from front to back. (This man owns books.) …

But the soul of a book “can” be separate from its body. A book is more like the score of a piece of music than it is like a painting. No great musician confuses a symphony with the printed sheets of music. Arturo Toscanini reveres Brahms, but Toscanini’s score of the G minor Symphony is so thoroughly marked up that no one but the maestro himself can read it. The reason why a great conductor makes notations on his musical scores — marks them up again and again each time he returns to study them—is the reason why you should mark your books. If your respect for magnificent binding or typography gets in the way, buy yourself a cheap edition and pay your respects to the author.

Berbahagialah Mereka yang Bangkrut!

Yesus memulai kotbah di bukit dengan kalimat yang mengagetkan murid-murid-Nya dan orang-orang banyak yang ikut mendengar: Berbahagialah mereka yang sadar akan kebangkrutan rohaninya!

Itulah arti "poor in spirit" atau "miskin di hadapan Allah." Yesus tentu tidak bermaksud bilang "Berbahagialah orang yang Mbogayot" (Mboten gadha yotho). Terjemahan: Tidak ada uang. Alias tongpes. Kantong Kempes. Kok yakin? Well, mari kita pikirkan logikanya. Kalau kita harus dalam kondisi mbogayot untuk dapat menerima perkenan Allah, betapa berdosa orang Kristen yang memberi uang kepada orang miskin. Sebaliknya, kalau Anda mau orang mendapat perkenan Allah, maka Anda harus berusaha sedemikian rupa untuk mengambil uang orang lain. “Sorry ya, saya menipu-mu dalam bisnis, dan menilep uangmu dalam kesempatan yang baru lalu. Tapi jujur saja, semua itu saya lakukan demi supaya engkau diberkati Allah.” Konyol bukan? Jadi jelas miskin dihadapan Allah bukan berarti miskin harta benda.

Miskin dihadapan Allah ini berarti kesadaran bahwa kita bangkrut rohani. Sadar bahwa kita bokek spiritual. Sebuah kesadaran bahwa kita orang berdosa tidak layak berdiri dihadapan Allah yang suci. Dan tidak memiliki apapun dalam diri kita yang cukup untuk memperkenan Allah. Pernyataan pertama dari 8 pernyataan bahagia Kristus ini mengajarkan kepada kita keselamatan karena anugerah. Pertanyaannya: Bagaimana pernyataan ini berlaku bagi orang percaya dan orang yang tidak percaya? Bagaimana konkritnya?

Ilustrasi yang menolong kita menjawab pertanyaan tersebut diberikan Yesus dalam Lukas 18:10 tentang orang Farisi dan pemungut cukai dalam sikap doa mereka kepada Allah. Pertanyaan pertama: Apakah orang Farisi ini telah mengenal Kristus? Jawabannya tidak. Perhatikan, meskipun mereka berperilaku seperti orang Kristen, tetapi mereka menganggap tindakan agama dapat menyenangkan Allah. Jangan heran Saudara kalau hari ini di gereja2x Tuhan banyak orang Farisi karena fenomena ini sudah terjadi sejak abad-abad pertama. Pertanyaan kedua, bgmana orang Farisi tersebut menunjukkan keangkuhannya merasa diri benar, suci dihadapan Allah? Jawabannya di ayat 11. Di dalam hatinya! Ini sangat subtle bukan? Di dalam hati, ia merasa hebat. Tidak ada orang yang tahu. Mereka tidak mengumbar keluar, tapi menginternalisasi keyakinan bahwa ia bisa membuat Tuhan tersenyum bangga terhadap dirinya dengan tingkah laku agamanya. Padahal semua itu kebusukan hati yang memuakkan Allah dan berakhir dengan penolakan Allah. Ayat 14 Yesus berkata “Aku berkata kepadamu: “Orang ini, pemungut cukai, pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah, dan orang lain itu, orang Farisi, tidak.”

Bagi Orang Yang Belum Percaya
JIKA seorang yang belum percaya berusaha untuk mendapat keselamatan melalui agama, perbuatan baik, dan seterusnya, ia akan terus berputar-putar dalam usahanya tersebut untuk mendapatkan keselamatan. Semakin ia merasa bahwa ia sudah menyenangkan Allah dengan usahanya, semakin ia terjerumus ke dalam persepsi bahwa tingkah laku religiusnya akan menyenangkan Allah. Dan hanya karena anugerah Allah, ia dapat menjadi sadar bahwa semua usahanya tersebut di mata Allah tidak lebih dari sehelai kain kotor yang sia-sia. Itulah yang dialami oleh Martin Luther.

Sebagai seorang biarawan, Luther dengan tekun berdoa, baca Alkitab, berpuasa, bahkan menyiksa diri agar dapat memperkenan hati Allah dan beroleh keselamatan. Dia pergi berziarah ke Roma, dan merangkak menapaki seluruh 28 anak tangga dari Scala Sancta, bukan dengan kaki, tapi dengan lutut! Namun tetap dia merasa ada sebuah keraguan yang besar dalam dirinya, apakah dia akan masuk surga. Meskipun dia berusaha mengakui semua dosanya sampai yang kecil-kecil sekalipun, ia tetap tidak yakin bahwa semuanya telah dia akui. Sampai seorang mentor dia di kuil mengatakan ke Luther, bagaimana kalau kamu bunuh orang, supaya kamu dapat mengakui sebuah dosa yg besar dihadapan Tuhan?

Luther selalu bertanya dalam dirinya: Bagaimana kalau ada dosa yang kita tidak akui di hadapan Tuhan karena kita tidak sadar bahwa kita telah melakukannya, dan untuk itu kita lalu dihukum kekal? Hal ini berkecamuk dengan hebat dalam dirinya. Apakah aku telah sungguh-sungguh menyesal dalam pengakuan dosaku? Ataukah pertobatanku dimotivasi oleh rasa takut?
Pertanyaan ini menghantui Luther bahkan sampai tahun 1512 ketika ia menjadi Profesor Alkitab di Universitas Wittenberg di Jerman. Dia memberi kuliah-kuliah dari Alkitab, dan tahun 1515 sampai kepada kitab Roma. Dan dia sangat terganggu ketika membaca dalam Roma 1:17, bahwa kebenaran Allah dinyatakan dalam Injil. Siang malam dia memikirkan kalimat tersebut: Jika kebenaran Allah adalah keadilan Allah yang diwujudkan dalam penghukuman Allah terhadap orang-orang berdosa, bagaimana mungkin itu menjadi bagian dari Injil, bagaimana mungkin itu membawa kepada keselamatan?

Luther berpikir: Allah yang adil adalah Allah yang secara adil akan menghukum mereka yang berdosa. Meskipun aku seorang biarawan, aku tahu aku berdiri dihadapan Tuhan sbg seorang berdosa dengan hati nurani yang sangat terganggu, dan aku samasekali tidak pasti bahwa segala hal yg aku perbuat dapat meredam kemarahan Allah terhadap dosa. Dia terus memikirkan kalimat tersebut sampai suatu hari Allah berkenan menyingkapkan kebenaran tersebut kepadanya: kebenaran Allah adalah kebenaran yang karena anugerah dan belas kasihan Allah, telah membenarkan kita oleh iman. Melalui pemahaman ini, ia merasa lahir baru, dan seluruh kitab suci menjadi jelas bagi Dia. Kebenaran Allah yang dinyatakan ketika Allah membenarkan manusia berdosa hanya karena anugerah, dan hanya di dalam Kristus, dan hanya melalui iman.

Jika seorang yang belum percaya mampu memiliki kesadaran bahwa upayanya memperkenan Allah tidak cukup, kemampuan itu sendiri adalah sebuah anugerah dari Allah. Karena hari ini banyak orang hidup seperti orang Farisi. Kepada jemaat Korintus, gereja yang dipenuhi dengan orang-orang yang bobrok moral tapi tidak merasa bangkrut rohani, rasul Paulus menulis “Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup juga untuk mereka yang akan binasa." Siapa mereka yang baginya Injil tertutup, yang akan binasa? Ayat 4 menjawab: "Yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambar Allah.”

Bagi Orang yang Sudah Percaya
Orang yang sudah percaya mestinya menunjukkan kualitas hidup bangkrut total dihadapan Allah, bahkan lebih dari sebelum ia mengenal Kristus. Semakin ia mengenal Allah, semakin ia menyadari ketidakmampuannya untuk memperkenan Allah dengan kekuatan sendiri. Semakin ia hidup bertaut dengan Allah, semakin tumbuh kepekaan betapa licik hati manusia (Yer 17:9), yaitu dirinya sendiri. Target utama pendengar kotbah di bukit adalah orang percaya, yaitu para murid Kristus. Dengan keras, Yesus berkata kepada para murid ini: “Jika hidup keagamaanmu, tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Sorga.” Inilah ayat inti dari seluruh kotbah di Bukit.

Orang-orang yang Allah pakai dalam Alkitab menunjukkan kemiskinan rohani mereka. Yesaya, ketika melihat keagungan Allah, spontan berkata, “Celakalah aku! Aku binasa!” (Yesaya 6:5). Yohanes Pembaptis mengaku bahwa untuk melepas tali kasut Kristus saja ia tidak pantas (Lukas 3:16). Kepada Timotius, Paulus berkata tentang dirinya bahwa ialah yang paling berdosa dari antara orang-orang berdosa (1 Tim 1:15).

Mari kita periksa hati kita. Jangan-jangan meski sudah percaya, kita masih seperti orang Farisi. Orang lain tidak tahu. Di luar kita atur, kita rekayasan sikap dan perilaku kita untuk memproyeksikan image bahwa kita orang yang rohani. Tapi dalam hati. Dalam hati kecil kita, kita membanggakan diri kita, keberhasilan kita, pengalaman kita, karakter kita, dst. Kalau Anda dan saya masih seperti ini, tidak peduli berapa lama kita sudah aktif pelayanan di gereja, tidak peduli betapa tinggi jabatan struktural kita di denominasi gereja, tidak peduli betapa besar uang sumbangan kita untuk pekerjaan Tuhan, Yesus berkata kepada kita "Sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga."

DOA
Pengalaman keberhasilan kami di dunia fana ini, ya Bapa,
sering membuat kami merasa hebat.
Kinerja dan produktivitas religius kami
menciptakan rasa layak berdiri dihadapanMu.
Itu sebab kami enggan mengaku diri kami miskin dihadapan-Mu.
Kami lebih suka menunjukkan kepada dunia bahwa bagi-Mu Tuhan
Ada banyak hal yang kami dapat kerjakan, berikan, sumbangkan.
Kami ingin dipersepsi orang sebagai orang Kristen yang sukses,
yang sibuk, yang serba bisa, selalu siap berjasa bagi Tuhan.

Doa kami hanya rutinitas di mulut karena hati kami dipenuhi keyakinan
bahwa kami dulu bisa, sekarang bisa, dan akan selalu bisa tanpa Allah.
Kami mengeluh kepadaMu saat dilanda kesulitan,
karena kami merasa tidak sepantasnya kami mendapat kesulitan tersebut.
Kami punya banyak agenda dan ambisi pribadi,
dan menuntut-Mu untuk memenuhi semua itu.

Ampuni kami Tuhan.
Ingatkan kami bahwa kami bukan siapa-siapa dihadapan-Mu
Dan tidak punya apa-apa bagi-Mu yang Engkau perlukan.
Kami tidak lebih dari cacing dan ulat dimata-Mu.
Kami bagai pengemis dengan cacat tubuh di persimpangan lampu merah,
yang tak mampu berbuat apa-apa selain menunggu belas kasih pengendara yang lewat.

Dan kami bersyukur bahwa tidak seperti para pengendara yang cuma lewat,
Engkau Allah yang peduli, bukan hanya memberi sedekah,
Tetapi memberi kami kerajaan surga yang mulia,
Mengundang kami masuk kedalam-nya
Mengecap kemuliaan, menikmatinya tiada henti bersama-Mu.

May 7, 2008

Asumsi Dasar Kotbah di Bukit

Pernahkah Anda berpikir bahwa aktivitas keseharian hidup kita kita mampu lakukan karena kita telah memiliki beberapa pengetahuan yang mendasar tentang hal-hal yang berada disekeliling aktivitas tersebut, karena kita memiliki apa yg disebut sebagai conventional knowledge. Apa itu conventional knowledge? Berikut sebuah contoh sederhana.

Saat Anda memakai credit card membayar barang belanjaan di toko, Anda pasti memiliki conventional knowledge minimal yang mendasar tentang akuntansi dan sistem perbankan, tentang konsep income dan expenses, tentang konsep withdrawal, credit limit, ttg PIN (personal identification number), tentang interest rate, dst. Jika orang yg menjadi sales assistant tidak mengerti semua konsep ini, saat Anda hendak membayar bukan dengan uang cash, tapi dengan kartu plastik kecil, dia akan anggap Anda tidak waras. Sekarang bayangkan Anda hidup sebelum tahun 1950 ketika credit card belum ditemukan, maka Anda memiliki coventional knowledge perlu uang cash. Kemana-mana beli dengan uang tunai. Setelah tahun 1950, maka perilaku dan pola kita berjual-beli berubah drastis. Memakai credit card menuntut kita untuk memiliki pengetahuan, asumsi, pengertian yang baru.

Dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, hal yang sama juga berlaku. Sejak kita mengenal Kristus, seharusnya ada conventional knowledge yang kita miliki. Ada asumsi dan pengertian yang mendasar yang kita perlu terima dan terapkan bila kita ingin hidup menanggalkan manusia lama kita dan mengenakan manusia baru kita di dalam Kristus. Saat kita bekerja, studi, pacaran, mendidik anak, berelasi dengan orang lain, maka kita harusnya memiliki conventional knowledge yang akan mendasari semua aktivitas kita sehari-hari tersebut. Salah satu conventional knowledge tersebut adalah standard nilai apa atau siapa yang kita jadikan patokan atau pegangan dalam semua kegiatan tersebut.

Carson dalam bukunya Jesus’ Sermon on the Mount menulis, “Dunia yang kita tinggal ini milik Allah, oleh sebab itu tidak ada berkat yang lebih besar, yang lebih tinggi dibanding disetujui oleh Allah."

Approved by God. Diberkati oleh Allah. Diperkenan dan direstui oleh Allah. Dipuji dan diberi ucapan selamat oleh Allah. Dinyatakan dan dinilai oleh Allah layak dihadapanNya. Tidak ada sapaan yang lebih indah dan perasaan yang lebih bahagia dan berkat yang lebih besar dibanding mendengar Allah berkata “You are my beloved Son; with you I am well pleased.” Kalimat tersebut diberikan Allah Bapa kepada AnakNya, Yesus Kristus, saat Ia dibaptis, yang dicatat dalam Lukas 3:22.

Mari kita memeriksa diri kita berkat, persetujuan, dan pujian siapa yang kita cari dengan begitu rajin di dunia ini. Jika approval dari bos kita, yang kita anggap sangat penting dan berpengaruh besar terhadap karir kita, kita anggap lebih penting daripada approval dari Allah, maka kita akan begitu peduli dengan Delapan Deklarasi Bahagia dari Allah ini.

Bila kita lebih peduli dengan penerimaan dan persetujuan orang yang kita kasihi dalam hidup kita, suami, istri, anak, orang tua, pacar, si pria atau wanita yang kita sedang impikan menjadi calon teman hidup kita, kita rela berbuat apa saja asal mereka senang dan tidak menolak kita, maka kita tidak akan pusing dengan apa yang Allah katakan dalam Delapan Ucapan Bahagia ini. Allah berkata, Berbahagialah yang orang yang miskin di hadapan Allah, Berbahagialah orang lemah lembut, respon kita: “Who cares?” So What? Siapa peduli? Siapa takut?”

Namun bila Anda berkata dalam hati kecil Anda dengan pribadi dan sungguh-sungguh, “Tuhan, aku mau hidupku yang sementara di dunia yg fana ini, diperkenan oleh Tuhan. Jika aku yg hina, yg berdosa ini, yg remeh ini dapat merindukan Tuhan berkata “Aku berkenan kepadaMu”, itu sebuah anugerah yg besar dan aku ingin hidup didalamNya, sepanjang sisa umurku berjuang untuk menyenangkan hati Tuhan."

May 2, 2008

Martin Luther Audio-Book Free Download

Do you know that ChristianAudio.com has free download every month? And for this month, the free download is...

Martin Luther: In His Own Words (Unabridged) by Martin Luther

Here is a list of the contents:
The Small Catechism
95 Theses
On Faith and Coming to Christ
On Confession and the Lord's Supper
Of the Office of Preaching
Excerpt from Luther's Tower Experience
The Last Written Words of Luther
The entire audio is 2 hours and 45 minutes, hence would make a great travel companion with your iPod on the way to and from work (at least it is in my case). Use the coupon code MAY2008 to redeem this download.

HT: JT

Theological Journals

For those of you who love theology, here is something invaluable from the Southern Baptist Theological Seminary: The James P. Boyce Centennial Library’s Journal Table of Contents (JTOC) service offers patrons the ability to view the table of contents for many newly received journals.

HT: JT

Lost in Translation

I came across this paragraph (I assume it IS a paragraph!) on this website. I haven't got the slightest clue what it means, but it's kind of cool to find my name in the midst of these Chinese characters with other 'household' names in the field like Senge, Greenleaf, etc.

Senge(1996)在「領導聖經」一書的序文中推崇Greenleaf的「服務領導」是一種帶領我們去思考一個以「人的本質」為基礎的領導方式,並非侷限於領導能力的實際運作;Bausch(1998)的研究亦指出「服務領導」是發展人性尊嚴、豐富工作生活的利器(莫非譯,1998。本文對於服務領導的定義參考蔣君儀(2005)的定義如下:服務領導乃是一種想為他人服務的自然感覺,領導者把他人的需求放在領導者個人及組織利益之上,努力改造其部屬或追隨者,使其更健康、更自由、更自主,因而吸引部屬或追隨者共同努力達成目標的一種領導型態。服務領導的哲學基礎始於領導者的意圖和自我認知(Sendjaya & Sarros, 2002)。這兩個前提假設使「服務領導」的觀念其核心是『我服務』而非『我領導』,因此而有別於其他的領導學說,也造就了服務型領導人的精神模式。Greenleaf強調服務型領導人「開始就有一種自然的感覺,要去服務他人」,領導者透過服務的行動去發展追隨者或部屬的潛能。

Kedaulatan Allah dan Dosa

Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan seseorang di sebuah milis Kristen tentang kedaulatan Allah dan penderitaan manusia, sebuah topik klasik yang tidak akan pernah usang dan kuno. Fatal, saya kira, orang Kristen yang tidak menerima kedaulatan Allah untuk hidup dalam realita dunia yang keras dan berdosa ini:

SC: Tetapi sebenarnya Tuhan tidaklah berdaulat penuh atas setiap hal yang terjadi di dunia ini. Tuhan tidak pernah menentukan seseorang untuk diperkosa, Tuhan tidak pernah menentukan terjadinya pembunuhan, Tuhan tidak pernah menentukan terjadinya perceraian.

Sen: Kalau begitu, hal-hal yg terjadi tersebut (pemerkosaan, pembunuhan, perceraian) di luar kontrol Allah? Kalau ya, berarti Allah tidak maha kuasa, karena ada kejadian yg terjadi secara random atau digerakkan sebuah kuasa lain, di luar sepengetahuan dan kuasa Tuhan?

SC: Menurut saya perkosaan, pembunuhan, perceraian dan semua hal yang diluar kehendak Allah terjadi karena dunia ini sudah jatuh ke dalam kuasa Iblis sejak manusia memutuskan untuk jatuh ke dalam dosa. Dari semula Tuhan tidak pernah menentukan kejahatan terjadi di bumi ini tetapi manusia yang memutuskan untuk jatuh ke dalam dosa sehingga Iblis mengambil otoritas yang Tuhan berikan kepada manusia untuk berkuasa di bumi ini.

Sen: Kalau gitu, Allah tidak punya otoritas (mutlak) dong di dunia ini. Implikasi kedua, Iblis lebih berkuasa ketimbang Allah ya?

Ketika ada Hitler, Stalin, Mao, Pol Pot, Soeharto dan tiran lain muncul, itu berarti Allah tidak bisa berbuat apa-apa atas ulah Iblis. Kalau begitu, pengharapan macam apakah yg kita bisa miliki dalam Allah kita? Sungguhkah kita mau menyembah Allah yang selalu dipecundangi oleh Iblis? Saat peristiwa Mei 98 terjadi, dimana Allah? Apakah Allah mengasihi tapi tidak kuasa menghentikan peristiwa tsb karena Iblis menghendaki demikian?

Dua contoh diatas ekstrim. Tapi melukiskan betapa menyedihkan hidup kita (NO Hope!) kalau ternyata Iblis lebih tinggi otoritasnya dibanding Allah. Bgmana lalu kita dapat menjelaskan ayat Alkitab berikut dari Matius 10:29-30: "Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya."

Kalau sesuatu yg remeh, spt burung pipit, saja hidupnya ada dalam kehendak Allah, apalagi puluhan juta korban para tiran dunia diatas? Kalau rambut kita terhitung oleh Allah (yg berarti tiap kali kita keramas, dan ada bbrp helai rambut rontok, itupun Allah tahu dan ada dalam kehendak Allah - sebuah penghiburan bagi orang botak !), apalagi ratusan wanita yang menjadi korban tragedi Mei 98?

Dgn demikian, satu-satunya opsi kita adalah menerima bahwa segala kejahatan dan dosa yg dilakukan manusia terjadi karena itu ada dalam rencana dan kehendak Allah. Dan bukankah ini diajarkan oleh Alkitab kita. Ada banyak contoh, tapi saya kira contoh yg paling ultimate adalah kisah penyaliban Tuhan kita yg dicatat oleh Lukas sbb: "Dia yang diserahkan Allah menurut MAKSUD DAN RENCANA-NYA, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka" (Kis 2:23).

Jika kita tidak menerima opsi diatas, maka konsekuensinya
(1) kita menerima bahwa dosa terjadi diluar kehendak Allah.
(2) Dan kalau begitu besar tindakan dan keputusan manusia yg berdosa, berarti hanya sedikit sekali dong keputusan dan tindakan manusia yg ada dalam kehendak Allah.

Alkitab memberi tempat pada kedaulatan Allah dan kebebasan manusia sekaligus, tanpa berusaha untuk merekonsiliasi kedua kebenaran tsb. Dan itu sebab kita tidak perlu repot-repot melakukan itu (Ul 29:29). Yang jelas, Dia bukan the author of sin, karena manusia berdosa tetap diminta pertanggung jawaban kita nanti. Hal ini muncul jelas dalam kasus Yudas.

Sulit rasanya mengkalimatkan kebenaran lebih baik dari Charles Spurgeon:
Man, acting according to the device of his own heart, is nevertheless overruled by that sovereign and wise legislation ... How these two things are true I cannot tell. ... I am not sure that in heaven we shall be able to know where the free agency of man and the sovereignty of God meet, but both are great truths. God has predestinated everything yet man is responsible?