Aug 31, 2007

Pernikahan Kristen (1)

Pernikahan Kristen: Papan Reklame Kasih Perjanjian Allah

Pertanyaan paling mendasar dan penting yang perlu dipertanyakan oleh setiap pasangan Kristen yang hendak dan sudah menikah adalah:
Apakah pernikahan Anda merefleksikan budaya dunia sekuler atau dibangun diatas kebenaran firman Allah?

Salah satu cara menjawab pertanyaan ini adalah memikirkan pandangan kita tentang perceraian. Sebagai contoh, hari ini dunia menawarkan apa yang disebut prenuptial agreement, yaitu sebuah kontrak yang ditandatangani oleh kedua calon mempelai sebelum menikah yang mengatur tentang soal pembagian harta apabila pernikahan tersebut tidak dapat lagi diteruskan. Inilah konsep kawin kontrak. Menikah selama masih ada cinta, menikah selama masih rasa cocok.

Dalam kitab Maleakhi 2:16, Allah berkata dengan tegas: “Aku membenci perceraian ... maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!” Hal ini kembali diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil (Markus 10, Matius 19): “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika Yesus datang ke dalam dunia, Ia bukannya meniadakan hukum Taurat / hukum Musa, namun Ia menggenapinya. Dalam Alkitab Yesus digambarkan sebagai mempelai pria dan gerejaNya sebagai mempelai wanita. Ketika Yesus datang ke dalam dunia, dengan kasih yang berkorban Ia datang untuk mati bagi mempelai wanitaNya yang telah menghianati dan meninggalkan Dia. Pola ini sebenarnya telah muncul sejak dari Perjanjian Lama. Allah tidak pernah menyerah memanggil kembali umatNya, mempelaiNya yang telah melacurkan diri kepada ilah lain (lihat secara khusus kitab Hosea). Dalam PB, hal ini didemonstrasikan dengan konkrit oleh Kristus yang mati diatas salib bagi mempelaiNya.

Itu sebabnya kita harus mengerti pernikahan Kristen sebagai simbol dari kasih Kristus yang rela berkorban bagi gerejaNya.

Saat sepasang suami-istri Kristen menikah, mereka sedang membuat sebuah statement kepada dunia: “Inilah kasih perjanjian Allah yang Ia nyatakan pada gerejaNya, kasih yang tak akan dapat dipatahkan.” Setiap suami-istri Kristen tak ubahnya seperti sebuah papan reklame hidup yang diarak keliling kota mempromosikan kasih perjanjian Allah yang tak berkesudahan terhadap umatNya.

Itu sebab pernikahan Kristen bukan hanya tentang cinta romantis antara suami-istri. Jatuh cinta memang penting di masa pacaran, dan komitmen untuk terus mencintai memang krusial saat perasaan jatuh cinta itu sudah tidak ada lagi dalam masa pernikahan. Tetapi pernikahan Kristen lebih dari semua itu. Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah. Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada gerejaNya.

Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat memisahkan perjanjian kasih suami-istri. Itu sebab dalam janji pernikahan yang tradisional, ada kalimat “till death do us part” atau “as long as we both shall live.” Bahwa kematian suami atau istri mengakhiri janji pernikahan di dunia ini ditegaskan oleh Alkitab karena dalam tubuh kebangkitan di surga nanti, tidak ada lagi pernikahan (Mat 22:30).

Dari beberapa prinsip ini kita dapat menarik beberapa hal yang sering menimbulkan kebingungan diantara orang Kristen:

1. Kalau seorang suami atau istri meninggal dunia, bolehkah pasangannya menikah lagi? Boleh. Karena kematian mengakhiri perjanjian nikah tersebut, dan Paulus menulis tentang para janda bahwa “lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu” (1 Kor 7:9).

2. Kalau suami atau istri bukan orang percaya, dan dia minta cerai, bagaimana? Paulus mengatur dalam 1 Kor 7:15 bahwa jika keinginan cerai itu muncul dari orang yang tidak beriman, maka tidak ada jalan lain. Namun keingingan cerai tersebut tidak boleh muncul dari orang yang percaya/beriman, karena bukan tidak mungkin Allah menyelamatkan jiwa suami/istri yang tidak percaya tsb melalui hidup suami/istrinya yang percaya.

3. Setelah diceraikan oleh suami/istri yang tidak percaya tersebut, dan ia masih hidup, bolehkah orang yang percaya tesebut menikah lagi? Paulus mengajarkan bahwa menikah lagi dalam konteks ini adalah sebuah perzinahan di mata Allah (Lukas 16:18; 1 Kor 7:10-11).

Aug 30, 2007

Positive Psychology Movement

This week and next some of us at Monash interacts with Tal Ben-Shahar, a psych professor at Harvard who attracts thousands of students into his class of Positive Psychology and Psychology of Leadership.

It's one of the latest trends in management research: Positive psychology movement. I had to admit the topic makes fascinating reading. Popularized by psychologists such as Martin Seligman, the concept changes radically the focus of psych research on fixing the bad elements into building the good elements within human beings.

They argue that we should not ask "Why these most people in a certaiin X condition fail?" but "Why do some of these people succeed despite the circumstance they are in?" Focusing on building one's strenghts rather than fixing one's weakness create more sustainable and higher growth in children, students, employees, and so on (a finding that enjoys more empirical research evidence in the last decade)

Some of their stuff are nicely laid out here:
http://www.ppc.sas.upenn.edu/publications.htm

More on this to come...

Leaders of the Future

Seperti apa model kepemimpinan masa depan sedikit banyak akan ditentukan oleh seperti apa konteks perubahan yang sedang berjalan melintasi kita saat ini.

Ada tiga fenomena dunia masa kini...

1. Intensitas manusia bekerja makin bertambah

Sekitar satu dekade lalu muncul sebuah adagium dalam dunia kerja: “ Work smarter, not harder .” Namun hari ini kenyataannya manusia yang telah “ work smarter ” ternyata tetap harus “ work harder ” dan bahkan “ work longer .” Konsep kerja Senin-Jumat 9 pagi-5 sore tidak lagi relevan; batasan antara kantor dan rumah sudah sangat kabur.

Tidak heran, masalah keseimbangan kerja dan hidup menjadi agenda penting hari ini. Dalam dunia bisnis, elemen terpenting hari ini adalah SPEED. Ide setengah matang yang dilaksanakan hari ini jauh lebih baik daripada ide sangat matang yang baru dikerjakan besok. Karena besok sudah sangat terlambat!

2. Semakin senjangnya manusia dalam berbagai segi.

Aset paling berharga suatu negara bukan lagi aset fisik ataupun finansial, namun kapasitas intelektual dan imajinasi manusia. Seiring dengan pertumbuhan industri-industri yang knowledge-intensive , negara-negara maju seperti AS, Kanada, Australia, Inggris, dan Singapura (yang sangat bergantung kepada migrasi) berlomba-lomba menarik ‘ the brightest minds ' untuk hidup dan bekerja di negara-negara mereka. Akibatnya, terjadilah apa yang disebut brain drain (pengurasan kecerdasan) dari negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, dan khususnya negara-negara Afrika.

Salah satu ekses negatifnya: muncul jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin. Human Development Report 2005 mencatat bahwa dalam dunia yang ultramodern ini ternyata masih ada 1.200 anak-anak yang meninggal setiap jamnya karena faktor-faktor yang sebenarnya bisa dicegah, seperti penyakit dan kelaparan. Jika kita prihatin dengan tsunami Desember 2004 lalu, yang menewaskan 300.000 orang sekaligus, seharusnya kita lebih prihatin dengan jumlah anak-anak yang meninggal setiap bulannya, yang sesungguhnya sama dengan tiga tsunami sekaligus. Dan itu terjadi setiap bulan! Statistik ini seharusnya membuat kita tidak bisa tidur.

3. Manusia sadar atas kekosongan hidupnya

Sejak peristiwa pemboman 9/11 di AS, masyarakat dunia seakan terbangun dari tidur panjangnya. Mereka sadar, hidup mereka yang sangat kaya materialis ternyata hampa. Kosong, tanpa arti.

Sementara trend terakhir di dunia manajemen adalah manajemen spiritualitas. Baik film-film Hollywood terbaru maupun sinetron-sinetron Indonesia dengan cermat menangkap tren spiritualitas ini. Maka tidaklah aneh jika buku Purpose-Driven Life menjadi buku nonfiksi terlaris sepanjang jaman: 26 juta eksemplar ludes hanya dalam tiga tahun! Ini karena buku PDL menawarkan apa yang dicari orang: Arti Hidup!


Implikasi bagi Pemimpin dan Kepemimpinan Masa Depan

Tentu masih banyak fenomena lain yang akan terjadi di masa depan. Namun, tiga yang disebut di atas punya implikasi-implikasi penting bagi para pemimpin, khususnya pemimpin Kristen. Yang jelas, dalam konteks di atas, tugas dan tanggung jawab pemimpin menjadi semakin kompleks, berat, dan melelahkan.

A. Kepemimpinan yang berwawasan multidimensi, namun satu fokus.

Salah satu kapabilitas utama pemimpin masa depan adalah menemukan inti atau esensi di balik berbagai kejadian, pola, dan kompleksitas sekelilingnya. Mantan CEO HP, Carly Fiorina , menulis, perannya memimpin perusahaan raksasa multinasional mengharuskannya terus-menerus melakukan ‘destilasi' untuk sampai kepada inti semua permasalahan (“ the very heart of things ”). Pemimpin masa depan perspektifnya global, namun bisa mendeteksi esensi dari semua itu dan fokus pada esensi tersebut.

Ia juga mengenali tanda-tanda zaman ( zeitgeist ), dan tahu agenda spesifik yang harus ia lakukan. Salah satu jebakan berbahaya bagi pemimpin, khususnya di Indonesia , adalah mencoba mengerjakan banyak hal sekaligus dalam hidupnya. Sejarah membuktikan bahwa seorang pemimpin dengan satu fokus akan jauh lebih efektif dan berhasil dibanding pemimpin dengan sembilan macam ‘fokus'.

B. Kepemimpinan dengan prinsip yang tegas, namun adaptif pada perubahan.

Pemimpin masa depan memiliki pijakan prinsip yang jelas agar tidak mudah goyah, terpeleset, dan jatuh. Ia otoritatif (karena berprinsip), tapi tidak otoriter (karena tidak menganggap dirinya superman atau superwoman ). Dia tahu titik-titik lemahnya dan tidak bermain-main dengan itu.

Ia adaptif, mudah menyesuaikan diri dalam segala kondisi, dan tahan banting. Kesulitan-kesulitan dilalui bersama Tuhan sebagai pengalaman yang membuatnya kian tegar dan bijak. Ia juga mampu bekerjasama dengan orang lain dari berbagai latar belakang dan karakter, memberi mereka kesempatan berkarya secara solo dan kolektif pada waktu yang tepat.

C. Kepemimpinan yang tahu kapan harus bekerja, dan kapan beristirahat.

Pemimpin masa depan tak terjerat fenomena “ I feel guilty when I relax. ” Ia tahu bahwa lingkaran rutinitas kesehariannya dapat dengan mudah mengaburkan arah dan fokus hidupnya. Hidupnya tidak didikte ataupun diperbudak oleh situasi eksternal, karena ia punya ritme yang teratur antara engagement dan withdrawal .

Ia punya waktu untuk bekerja bagi Tuhan, dan waktu untuk berdiam diri di hadapan Tuhan. Dengan demikian, kepemimpinannya akan tahan lama dan tahan banting. Sumber pengharapannya adalah Allah, yang tetap mengasihi dia, terlepas dari keberhasilan dan kegagalannya sebagai pemimpin.

D. Kepemimpinan yang berserah total kepada Allah, namun juga bekerja lebih giat.

Pemimpin Kristen masa depan menyadari bahwa dibanding dengan pemimpin non-Kristen, ia memiliki sebuah keunggulan: Ia tidak lebih baik atau lebih suci atau lebih dikasihi Tuhan, namun ia mengerti bahwa ia hanyalah manusia berdosa dalam dunia yang berdosa. Segala yang melekat pada dirinya adalah anugerah Allah. Otoritas, tanggung jawab, peran, kemampuan, kuasa, posisi, akses, dan fasilitas kepemimpinan yang ia miliki adalah pemberian Allah.

Kebergantungan total kepada belas kasihan Allah itu krusial bagi pemimpin Kristen, karena dari sanalah ia beroleh keberanian untuk berdiri menjawab tantangan zaman dan mendapat kekuatan untuk bekerja mempengaruhi zaman dengan tetesan keringat, air mata, bahkan darah. Seperti Daud: “ia melayani generasi zamannya seumur hidupnya sesuai kehendak Allah sampai dipanggil pulang kembali kepada Bapa” (Kisah Para Rasul 13:36 ).

Tertarik Lebih Jauh Menelusuri Masa Depan? Kunjungilah situs-situs berikut!
1. Institute of the Future http://future.iftf.org/
2. Center for Global Development http://www.cgdev.org/
3. World Competitiveness Center http://www02.imd.ch/wcc/
4. United Nations Human Development Report http://hdr.undp.org/
5. Fast Company http://www.fastcompany.com/

Aug 27, 2007

Berkotbah pada Diri Sendiri

Anda sedang BT, sumpek, mabok, cupet, dan patah semangat?
Cobalah resep ini: Kotbahi diri Anda sendiri !!

Mengomentari Mazmur 42:4-6, Dr Llyod-Jones menulis sebagai berikut dalam bukunya Spiritual Depression (hal 20-21, terjemahan bebas saya):

“Kita kuatir akan diri kita, kita kuatir akan apa yang akan terjadi pada kita . . . Dalam semua itu, kita seringkali membiarkan diri kita berbicara kepada kita dan tidak pernah berkata pada diri kita sendiri . . . Sadarkah Anda bahwa sebagian besar dari ketidakbahagiaan dalam hidup ini terjadi karena Anda mendengarkan diri Anda sendiri, dan tidak berkata pada diri Anda sendiri?"

"[Pemazmur] tidak mengijinkan dirinya berbicara pada dia, tetapi dia berkata pada dirinya sendiri “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Berharaplah kepada Allah!” Anda harus mengingatkan diri Anda sendiri akan Allah, siapa Allah, apa yang Ia telah lakukan di masa lampau, dan apa yang Ia janjikan dihadapan diriNya sendiri. Setelah itu, jangan peduli dengan diri Anda sendiri, orang lain, Setan, dan seluruh dunia, dan berkatalah pada diri Anda: “Sebab aku akan bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku.”

Hidup Gaya Terbalik

Bagaikan sandwich, hidup kita di dunia ini berada diantara tangisan bayi di rumah sakit dan tangisan kesedihan diseputar peti jenazah. Kedua tangisan tersebut menjadi bingkai kehidupan yang mengingatkan kita betapa keras, sulit, dan penuh derita hidup ini.

Namun toh, tujuh puluh atau delapan puluh tahun hidup kita di tengahnya dipenuhi gelak tawa, canda, dan gurau. Dan itulah yang what matters! Bagaimana kita menjalani hidup yang ujung dan akhirnya telah ditentukan dari awal?

Prinsip hidup macam apa yang hari ini membentuk hidup kita? Karena hidup ini menawarkan berbagai kekuatan yang akan menarik, mengarahkan, membentuk hidup kita. Berikut beberapa contoh:

• Hidup itu adalah pengorbanan:
“I believe there's a hero in all of us, that keeps us honest, gives us strength, makes us noble, and finally allows us to die with pride, even though sometimes we have to be steady, and give up the thing we want the most. Even our dreams” (Aunt May pada Peter Parker dalam Spiderman 2).

• Hidup harus selalu fast-paced, penuh adrenaline:
“'If everything seems under control, you're just not going fast enough!” (Mario Andretti, juara dunia Formula 1).

• Hidup itu jangan percaya orang, tapi percaya diri sendiri:
“Only the paranoid survives” (Andy Grove, CEO, Intel, statement yang juga jadi judul bukunya).

• Hidup ini adalah masalah stamina menghadapi kesulitan:
“That which does not kill us makes us stronger” (Nietzsche, filsuf Jerman)

• Hidup ini harus bahagia:
“Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” (Motto sebagian kaum young urban professional Indo)

• Hidup ini mesti ikut apa kata Pencipta kita:
”Wong kuwi kudu tansah eling marang karo sing ndhuwur” (Mbah Sunem – terjemahan: Orang itu mesti selalu ingat sama yang atas.”

• Hidup ini cuma mimpi dan kebohongan:
“The Matrix is everywhere. It is the world that has been pulled over your eyes to blind you from the truth . . . That you are a slave, Neo. Like everyone else you were born into bondage. Into a prison that you cannot taste or see or touch. A prison for your mind.” (Penjelasasn Morpheus pada Neo dalam The Matrix).

Percayalah bahwa masih ada segudang lagi prinsip hidup di dunia ini. Orang digerakkan oleh rasa bersalah, rasa takut, rasa ingin membuktikan diri, dan lain sebagainya. Kalau kita berpikir, “Ah, masa bodoh dengan semua itu. Gua mah kagak peduli. Pokoknya gua jalani aja apa yang ada dalam hidup gua hari ini. Ga perlu prinsip!” Well, itu artinya prinsip hidup Anda adalah hidup tanpa prinsip. Bahasa kerennya: Qui Sera Sera. Whatever will be, will be.

Setiap kita menjalani roda kehidupan dari lahir-sekolah-kuliah-menikah-punya anak-punya cucu-pensiun-mati (ada juga yang pilih untuk nge-jomblo agar hidup lebih efisien). Waktu bayi, kita memakai roda pram. Di masa tua, roda tersebut berbentuk kursi roda. Di tengahnya, kita dapat mengisi hidup ini dengan berbagai macam prinsip, cara, dan gaya hidup.

Stephen Covey dalam bukunya yang laris manis 7 Habits of Highly Effective People menganjurkan pembacanya untuk membayangkan sebuah upacara penguburan. Anda datang ke upacara tersebut, melihat orang yang terisak menangis di sebelah kanan dan kiri peti jenazah. Dan ketika Anda mendekati peti tersebut, Anda begitu kaget. Karena yang terbaring disana adalah Anda sendiri. Belum habis kekagetan Anda, tiba-tiba dipanggil maju ke depan tiga orang bergantian untuk menyampaikan kesan pesan (eulogy) mereka tentang hidup dan diri Anda. Satu orang mewakili kelurga, satu orang mewakili kolega di tempat kerja, dan satu orang lagi mewakili sahabat main.

Covey lalu bertanya, “Hidup macam apa yang Anda harap akan disampaikan oleh ketiga orang penting dalam hidupmu? Legacy macam apa yang ingin Anda tinggalkan?” Latihan mental seperti ini saya kira perlu (meski agak mengerikan ngebayangin-nya). Kita perlu memulai hidup ini dengan mendefinisikan akhir hidup kita terlebih dahulu, lalu menjalaninya dengan terbalik. Mulai dengan akhir, jalani hidupmu dengan terbalik.

Jika kita tidak melakukan itu, mungkin kita akan mengalami perasaan kecewa dan kegagalan di akhir hidup kita. Karena hidup ini tidak kita jalani baik-baik. Itulah yang dialami Napoleon Bonaparte, jendral perang dan kaisar Prancis yang begitu agresif dan sukses membangun kekaisarannya. Saat ia akan mati, menurut legenda, ia meminta agar di peti matinya dibuat sebuah lubang di sebelah kiri dan sebuah lubang di sebelah kanan. Ketika ditanya untuk apa kedua lubang tersebut? Dia berkata bahwa kedua lubang itu untuk tangan kanan dan tangan kirinya. Dia ingin menunjukkan pada dunia, bahwa sama seperti kelahiran, saat kematian tiba, tidak ada satu pun yang dari posisi, materi, kuasa yang ia peroleh di dunia ini dapat ia bawa.

Setiap kali ke Melbourne airport bagian internasional, saya suka memperhatikan respon wajah orang-orang yang sedang menjemput orang-orang yang mereka kasihi. Ada yang siap-siap menjepret dengan kamera. Ada yang membawa bunga. Dan ketika yang ditunggu datang: “Ahhhh!” Teriakan gembira langsung disusul dengan pelukan dan cium kasih bertubi-tubi. Itu di bagian kedatangan.

Di bagian keberangkatan internasional, pemandangan yang jauh berbeda terjadi. Bukannya gelak tawa dan senyum lebar, tetapi air mata dan kesedihan hati yang menghiasi perpisahan orang yang pergi dan yang ditinggal.

Di tengah gelak tawa dan air mata itu, hidup kita di Melbourne kita jalani. Hidup sembarangan atau penuh arti, itu menjadi pilihan kita. Rutinitas studi, kerja, bersosialisasi, dan kegiatan waktu santai, semua itu menjadi refleksi prinsip hidup kita (or the lack of it). Setelah semua kesibukan kita studi dan kerja, shopping di Myer, makan di Ying Thai, ngafe di Starbucks, dan seterusnya, maka yang tersisa adalah sebuah pertanyaan di kepala: Apa sih yang menggerakkan hidup saya hari ini?

Aug 24, 2007

Be Found Spotless!

Haruskah Orang Kristen Memberi Perpuluhan?

Dalam kotbah saya beberapa waktu lalu, saya mengajak jemaat memikirkan bersama dari Maleakhi 3:6-12 sebuah pertanyaan berikut: Apakah perpuluhan, memberikan 10% dari pendapatan kita, hari ini harus dilakukan oleh orang Kristen?

Jawabannya yang pasti bukan 'ya', tetapi bukan juga 'tidak'. Karena dikotomi ya dan tidak akan menjerumuskan kita kepada pemahaman yang malah salah kaprah terhadap konsep ini. Firman Tuhan mengajarkan kepada kita minimal 3 hal berikut

(1) Persembahan perpuluhan menjadi salah satu ukuran ketaatan kita kepada Allah, bagian dari ibadah kita kepada Allah. Memberi perpuluhan adalah sebuah bentuk pengakuan bahwa Ia Allah yang berdaulat yang memelihara hidup kita yang dapat kita andalkan dan sandari. Berita Maleakhi 3:6-12 diberitakan untuk menegur umat Israel yang tidak taat kepada Allah, dalam area memberi perpuluhan (disamping area lain yang ada dalam pasal ke-1 sampai ke-3). Jika bagian ini dikotbahkan agar penerimaan kas gereja naik, kita salah mengerti tujuan utama bagian ini. Kegagalan memberi perpuluhan hanyalah sebuah studi kasus, sebuah contoh riil dari ketidaktaatan umat Israel. Dalam hal tersebut, mereka perlu bertobat.

(2) Memberi dengan standar mutlak 10% berpotensi membuat orang percaya sombong rohani dan legalistik seperti orang Farisi (Mat 23:23). Point Yesus saat menegur orang Farisi adalah bahwa jangan kita memakai perpuluhan sebagai tingkah lagu agama (alasan rohani) agar tidak usah memperhatikan orang lain, khususnya orang-orang yang Tuhan kirimkan kepada kita untuk kita perhatikan. Adalah salah jika kita berpikir bahwa 10% dari pendapatanku adalah milik Tuhan, sisanya 90% milik-ku untuk aku pakai sekehendak hatiku. Padahal seluruhnya 100% adalah milik Allah yang ia titipkan pada kita. Jangan lupa kemampuan untuk kita bekerja dan mendapat gaji, itupun dari Allah.

(3) Perjanjian Baru (PB) tidak mengajarkan Perpuluhan, namun prinsip tentang memberi diajarkan dengan eksplisit dalam beberapa bagian oleh Rasul Paulus. Inti dari seluruh ajaran PB adalah bahwa:

(a) Motivasi kita memberi persembahan adalah untuk berkat rohani dari Allah, agar kita semakin berbuah memuliakanNya (2 Kor 9:8-15)

(b) Ukuran kita memberi persembahan adalah berkat materi dari Allah, agar kita semakin Allah memberkati kita dengan kekayaan materi, semakin besar kapasitas memberi dan menjadi saluran berkat.

Tabel berikut menjadi ringkasan dari seluruh aspek persembahan dalam Perjanjian Baru yang menggenapi ajaran perpuluhan dalam Perjanjian Lama. Saya menyebutnya sebagai Prinsip Persembahan 3S dan 3P

1. Sistematis
Memberi secara teratur, secara mingguan, dua-mingguan, bulanan, dll., tapi bukan secara dadakan
1 Kor 16:1

2. Sukarela
Memberi dengan sukarela, bukan karena rasa bersalah atau rasa terpaksa karena disuruh.
2 Kor 8:2-3; Fil 4:18

3. Sukacita
Memberi dengan hati yang bersukacita karena kasih kepada Allah
2 Kor 9:7

4. Pelayanan
Memberi untuk dapat menjadi saluran berkat Allah, mengasihi orang lain yang membutuhkan
2 Kor 8:9; 9:6

5. Proporsional
Memberi sesuai dengan berkat materi yang Allah tambahkan dalam hidup Anda.
1 Kor 16:2; 2 Kor 8:2-3

6. Pengorbanan
Memberi dengan perngorbanan, bukan ala kadarnya, agar lebih berani bergantung pada Allah, bukan uang.
2 Kor 8:2-3; Fil 4:17-18

Memberi persembahan adalah bagian dari disiplin rohani kita. Mari kita taat menjalankan Prinsip 3S-3P ini. Dan setiap kali kita memberi persembahan kepada Tuhan, kita mengingat dalam doa kita:

"Ya Tuhan, uang ini aku persembahkan bukan sebagai upeti untuk mendapat kasih sayangMu, bukan untuk menyogokMu untuk lebih sayang padaku, bukan untuk menutupi rasa bersalahku akibat perbuatan dosa yang aku lakukan, bukan untuk menciptakan 'good feeling' karena aku telah berjasa bagi gerejaMu, bukan untuk jaga image agar lebih kelihatan rohani, dan bukan sekedar rutinitas agama yang kosong. Uang ini aku persembahkan sebagai pernyataan imanku bahwa Engkaulah Allah yang berdaulat yang telah, sedang, dan akan terus menopang hidupku, bahwa hidupku tidak bergantung pada benda mati ini tetapi hanya padaMu. Biarlah melalui persembahanku, hidupku menyatakan dihadapanMu bahwa aku tidak menyembah berhala Mamon, tetapi menyembah Engkau Allah yang hidup."

Teologi Kenikmatan

Saya pernah ditanya: “Bolehkah orang Kristen menikmati pleasure?”

Jawaban Alkitab adalah “Boleh!” Kok bisa?

Karena segala hal yang baik dalam dunia ini diberikan Allah untuk kita nikmati melalui kelima panca indera kita. Kenikmatan telinga mendengar kicauan burung atau Four Season-nya Vivaldi. Kenikmatan mata mengagumi Niagara Falls atau matahari terbenam di Kuta. Kenikmatan lidah bergoyang menyantap sup kaki kambing Pak Kumis. Dan seterusnya…

Namun ada beberapa prinsip dari Blaise Pascal yang perlu kita perhatikan saat orang Kristen bersentuhan dengan pleasure, agar tidak keblinger dan jatuh ke dalam berbagai macam dosa:

1. Kenikmatan itu bukan tujuan akhir, namun sebuah pointer, sebuah petunjuk ke sesuatu yang lebih bermakna, yaitu kepada Allah, Asal dan Sumber kenikmatan tersebut. Blaise Pascal berdoa pada Allah: “Sempurna segala keinginan-keinginan yang baik yang Engkau berikan dalam diriku, ya Allah. Jadilah Akhir dari semua keinginan itu, sama seperti Engkau telah menjadi Awal dari semua itu.”

Jika kita berharap kenikmatan dunia menjadi sumber bahagia kita, yang kita akan jumpai akhirnya hanyalah kekecewaan (yang mungkin didahului oleh addiction terhadap pleasure).

2. Kenikmatan yang menyegarkan hidup kita tanpa menggangu kita, membelokkan kita, dan menjauhkan kita dari Allah, Asal dan Sumber kenikmatan itu, adalah kenikmatan legitimate. Prinsip ini akan menolong Anda dan saya untuk dapat menikmati pleasure dengan penuh rasa syukur kepada Allah. Dan tidak mengejar kebahagiaan dari kenikmatan dunia, karena semua itu hanya turunan dari kenikmatan akan Allah sendiri.

Blaise Pascal pernah menulis: “Jika manusia tidak diciptakan untuk Allah, mengapa dia berbahagia hanya di dalam Allah? Jika manusia diciptakan untuk Allah, mengapa ia melawan Allah?

3. Kenikmatan manusia manusia yang tertinggi ada di dalam Allah. Saya tidak berkata “dari Allah”, tetapi di dalam Allah. Memang kita dapat menikmati segala pemberian Allah dalam dunia ciptaannya. Namun kenikmatan tertinggi ada dalam diri Sang Pemberi. Alkitab begitu realistis mengakui kebutuhan manusia. Alkitab mengajarkan bahwa semua manusia mencari kebahagiaan, tanpa terkecuali. Apapun cara yang mereka pakai, tujuan akhirnya selalu adalah kebahagiaan.

Blaise Pascal berkata, ”Motivasi dari setiap aksi manusia adalah mencari kebahagiaan, bahkan termasuk mereka yang mati menggantung diri”. Itu sebab Alkitab memerintahkan kita untuk mencari kebahagiaan yang sejati dan tertinggi di dalam Allah.

Salah satu ayat Alkitab favorit saya adalah Mazmur 37:4 “Delight yourself in the Lord and he will give you the desires of your heart.” Pertama kali saya membaca ayat itu, saya pikir: Tuhan akan memberi apapun yg saya inginkan. That is sooo cool! Baru kemudian saya mengerti bagian pertama dari ayat tersebut. Bergembiralah karena Tuhan, bukan karena berkat Tuhan. Saat kita sungguh telah dapat menikmati Tuhan, maka segala keinginan hati kita juga pasti telah diubahkan. Saat kita dapat bersukacita di dalam Tuhan sendiri, segala prioritas hidup kita pasti tertata sebagaimana seharusnya. Sampai kita mengerti kebenaran ini, tidak mungkin kita akan mengubah prioritas hidup kita, dan kita hanya memakai Allah menjadi jongos, menjadi pelayan pemuas bahagia yang fana di dunia ini.

Dengan ketiga prinsip diatas, saya siap untuk pergi menikmati working holiday di Grand Hyatt Coolum, Sunshine Coast, 12-15 Juli 2007 (lihat foto di sebelah) sambil mempresentasikan conference paper di International Society for Research on Emotion Conference. Mau ikut?

Panggilan Allah dalam Konteks Zaman

Dari beberapa minggu tema kotbah Nabi Kecil, yaitu Obaja, Yoel, dan Yunus, ada dua pola yang dengan kuat mengemuka:

1. Frase yang bernada sama sebagai berikut: “The word of the Lord that came to Joel”, “The word of the Lord came to Jonah”, dan “The vision of Obadiah, this is what the Sovereign Lord says.” Panggilan Allah datang kepada Obaja, Yoel, dan Yunus dengan jelas. Mereka dipanggil Allah, bukan karena mereka hebat, bahkan dalam kasus Yunus bukan karena ia taat. Panggilan Allah datang karena Ia dalam kedaulatanNya dan anugerahNya berkenan memilih dan memakai kita menggenapi rencanaNya yang sempurna.

2. Panggilan Allah pada Obaja, Yoel, dan Yunus (serta para nabi lainnya) datang di tengah konteks zaman dimana ada sekelompok besar orang yang membenci dan melawan Allah dan umatNya. Ada tantangan zaman yang mendahului panggilan tersebut, ada dosa dan kejahatan yang merajalela seperti wabah. Yang menarik, manusia tidak menganggap semua itu sebagai dosa dan kejahatan. Namun Allah mengganggap itu hal serius, dan Ia membangkitkan para hambaNya untuk mengumandangkan suara kenabian, membawa orang berdosa kembali kepada Allah yang sejati.

Kedua pola diatas tetap berlaku hari ini. Allah yang memanggil Obaja, Yoel, dan Yunus adalah Allah yang sama yang sampai hari ini bekerja di tengah-tengah dunia. Allah yang sama yang membangkitkan para hambaNya di abad ke-21. Tentu panggilan Allah hari ini tidak datang melalui suara dari langit atau lewat mimpi spektakuler, karena sejak Alkitab ditutup dengan kitab Wahyu, maka Allah berbicara kepada kita melalui firmanNya dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia menaruh konfiksi yang kuat dalam hati kita ketika kita mau dengan sungguh dengar-dengaran terhadap firmanNya.

Kita hidup di abad posmodern, dimana semakin banyak orang yang me-reposisi-kan Allah YHWH hanya sebagai satu dari sekian banyak pilihan menu spiritual di kafetaria agama dunia. Kita hidup di zaman dimana dosa semakin ganas namun subtle memasuki lorong-lorong hidup kita, baik itu di area seksual, finansial, emosional, dan lain sebagainya.

Hari-hari ini adalah hari yang jahat, kata rasul Paulus kepada jemaat Efesus. Dan kita harus menebusnya. Kita tidak diminta menebus hari sebab hari-hari kita pendek dan singkat. Tetapi kita menebusnya sebab itu jahat. Artinya, semakin jahat zaman dimana kita hidup, semakin besar kesempatan untuk para pria dan wanita untuk kembali kepada Allah. Namun siapakah yang akan siap diutus oleh Allah? Siapakah yang siap taat terhadap panggilanNya? Saudara siapkah?

Mungkin kita merasa tidak sanggup, tidak berpengalaman, tidak mampu. Tetapi jangan lupa, itu juga yang dialami oleh para hamba Allah dari PL sampai PB. Ketika Yohanes Pembaptis disudutkan oleh massa, “Siapakah engkau, apakah engkau Elia, apakah engkau nabi?”, dia tahu bahwa jawaban terhadap pertanyaan tersebut sering membawa fokus pada diri yang ditanya.

Kalau kita ditanya, kita sering menjawab “Aku adalah si Anu, aku punya jabatan dan pengaruh A dan B, sukses dalam hal C dan D, dst.” Dengan jawaban yang fokus pada diri kita sendiri, tidak heran bila kita akhirnya merasa tidak mampu menjalankan panggilan Allah. Tapi Yohanes Pembaptis menjawab bahwa dia hanyalah sebuah suara. Dia tidak lebih seperti corong. Sebuah alat milik Allah. Fokusnya bukan diri sendiri, tapi pada Allah. Allah Pencipta yang berdaulat yang memanggil, mengutus, dan menyertai hambaNya.

Church Ads











Aug 23, 2007

A Prayer of Consecration

Charles Spurgeon was saved on January 6, 1850.
On February 1 he wrote the following prayer of consecration:
O great and unsearchable God, who knowest my heart, and triest all my ways; with a humble dependence upon the support of Thy Holy Spirit, I yield up myself to Thee; as Thy own reasonable sacrifice, I return to Thee Thine own. I would be for ever, unreservedly, perpetually Thine; whilst I am on earth, I would serve Thee; and may I enjoy Thee and praise Thee for ever! Amen.

Source: Wycliffe Handbook of Preaching & Preachers, W. Wiersbe, p. 235

Aug 22, 2007

Kisah 2 Kerajaan dan 17 Nabi

Lima bulan terakhir ini saya mengkotbahkan Yoel, Obaja, Yunus, Hosea, Amos, dan Habakuk, Maleakhi. Benang merah yang muncul dalam kitab para nabil kecil tersebut adalah bahwa mereka dipanggil untuk menyampaikan isi hati Allah kepada umatNya.

Setelah umat Israel meminta kepada Allah untuk berubah dari teokrasi menjadi monarki, dan meminta seorang raja (1 Samuel 8), Saul lalu diangkat menjadi raja pertama dari Israel. Setelah Saul, kerajaan beralih ke raja Daud, lalu raja Salomo. Selama 120 tahun kerajaan Israel dipimpin oleh ketiga raja tersebut. Setelah itu kejayaannya mulai sirna.

Bangsa Israel memberontak kepada Allah dan hukum-hukumNya. Tadinya Allah akan memusnahkan seluruh bangsa ini, tetapi Ia sendiri ingat dan setia terhadap janjiNya sendiri kepada Abraham. Janji bahwa seorang Mesias muncul dari keturunan raja Daud. Itu sebabnya umat Israel yang tegar tengkuk tetap disebut sebagai umat perjanjian.

Setelah raja Salomo mati, perang saudara (civil war) antar anak-anak Salomo dan para jendralnya tak dapat dihindari. Pertikaian Rehoboam dan Jeroboam, kedua anak Salomo, berakhir dengan pecahnya kerajaan Israel dengan 12 sukunya menjadi dua bagian. Berikut secara singkat, sejarah mereka.

Kerajaan Selatan (Yudea)
- Dipimpin oleh raja pertama, Rehoboam
- Terdiri dari dua suku, Yudea dan Benyamin
- Bertahan selama tahun 300 tahun dibawah 28 raja, 20 diantaranya melawan Allah
- Penyembahan Baal dan dewa-dewa Kanaan lainnya menjadi bagian penting dalam hidup orang Yudea, yang mendatangkan peringatan dan penghukuman Allah, meski ada beberapa reformasi rohani yang terjadi
- Jatuh ke tangan bangsa Babel tahun 586 BC

Kerajaan Utara (Israel)
- Dipimpin oleh raja pertama, Yeroboam
- Terdiri dari 10 suku Israel
- Bertahan selama 210 tahun dibawah 19 raja yang semuanya melawan dan memberontak pada Allah
- Yeroboam memperkenalkan penyembahan berhala yang sangat mengakar pada kehidupan orang Israel
- Raja Ahab lalu memulai penyembahan dewa Baal selama 30 tahun sebelum dihentikan secara tuntas oleh pelayanan nabi Elia dan Elisa.
- Jatuh ke tangan bangsa Asyur tahun 722 BC

Dalam konteks dua kerajaan inilah, Alkitab mensaksikan melalui pelayanan ke-17 nabi dalam Perjanjian Lama bagaimana Allah begitu mengasihi umatNya yang terus memberontak kepada-Nya. Allah dengan terang-terangkan mencurahkan isi hatinya. Bagai seorang ayah yang ditinggalkan oleh anaknya. Bagai seorang suami yang dikhianati oleh kekasih hatinya. Ia sedih, cemburu, kecewa, marah, terluka, meratap. Ia tak henti-henti berharap dan bertindak agar umat perjanjian dan umat tebusannya kembali kepada-Nya. Dari hidup dan pelayanan para nabi inilah, kita menyelami perasaan hati Allah kita.

Filfuf agnostic Rusia Voltaire dengan nada sinis berkata, ‘Bagaimana mungkin Allah yang maha kuasa dan maha kasih dapat bertoleransi terhadap dunia yang kacau balau ini?’

Jawabannya mencuat dengan kuat dalam kitab para nabi. Yaitu bahwa segala macam permasalahan dunia – perang, kelaparan, kejahatan, kemerosotan moral – disebabkan karena manusia meninggalkan Allah. Kedua, bahwa Allah yang setia adalah Allah yang tetap peduli, tetap berespon, tetap bertindak terhadap umatNya yang Ia kasihi, namun dengan cara dan dalam waktu-Nya sendiri.

Bahwa Allah terus memanggil umat-Nya kembali pada-Nya disampaikan paling kuat barangkali dalam hidup dan nubuat nabi Hosea. Demikian curahan isi hati Allah:
"Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? ... Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak" (Hos 11:8)
Puji syukur kepada Tuhan! Kasih setiaNya tetap selamanya.