Dec 16, 2007

The School of Christ: The Prerequisite

Minggu lalu firman Tuhan dalam Ef 4:17-21 mengingatkan kita bahwa tanpa Kristus, kita adalah manusia celaka. Diluar Kristus, setiap manusia secara natural berhadapan dengan masalah yang telah mendarah daging dalam dirinya, yaitu hati yang bebal. Yang kebal. Mati rasa, tanpa sensitivitas terhadap perbuatan dosa, sehingga berbuat dosa bagi kita adalah sesuatu yang sangat normal seperti gosok gigi dua kali sehari. Kita begitu menikmati dosa, terikat pada dosa, diperhamba oleh dosa, sehingga pikiran kita menjadi sia-sia, pengertian kita menjadi gelap, pikiran kita menjadi tumpul. Begitu bobrok moralitas manusia diluar Kristus sehingga hati nurani kita mennjadi bisu. Secara moral, kita menjadi orang tuli, orang budeg yang tidak mampu dan tidak akan pernah mampu mendengar suara Tuhan. Hasilnya apa? kita semakin dalam tenggelam masuk ke pusaran kesia-siaan hidup yang ujungnya tidak lain adalah api neraka.

Namun puji Tuhan. Ia mencurahkan anugerahNya dalam Kristus. Yesus berkata, “Sesungguhnya saatnya akan tiba dan sudah tiba, bahwa orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah, dan mereka yang mendengarnya, akan hidup” (Yoh 5:25). Saudara, anugerah Allah ini seperti sinar yang menerobos hati kita yang keras, gelap, dan dingin. “Ia juga yang membuat terangNya bercahaya di dalam hati kita” (2 Kor 4:6). Itu sebab Paulus menulis dalam Ef 4:17: “Jangan lagi hidup sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah.” Mengapa?

Ayat 20 dan 21 mencatat “Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus.” Apa yang Paulus katakan? Kita sekarang telah masuk dalam proses belajar dalam sekolah Kristus. Hari ini kita akan melihat dua hal yang kita perlu ketahui untuk belajar dalam sekolah Kristus tersebut. Yang pertama, prerequisite atau prasyaratnya. Kedua, kurikulumnya.

Saudara, ayat 22-24 dalam Efesus 4 ini berlaku bagi orang Kristen. Untuk dapat masuk ke sekolah Kristus, belajar tentang Kristus, syaratnya bukan angka rapormu mesti bagus. Rapor perbuatan baik, rapor moralitas, rapor keanggotaan gereja tertentu, rapor tingkah laku agama, semua itu tidak akan membuat kita belajar tentang Kristus.

Anda dan saya tidak akan masuk ke sekolah Kristus kalau bukan Allah yang beranugerah memilih kita. Anda dan saya baru dapat mendaftar di sekolah Kristus apabila kita telah dengar-dengaran terhadap suara Kristus Yesus yang membangkitkan kita dari kematian rohani. Itu sebabnya Yesus berkata, “Barangsiapa mempunya telinga untuk mendengar, hendaklah Ia mendengar” Baru setelah itu kita bisa mengikuti program sekolah Kristus yang akan makan waktu seumur hidup.

Dec 13, 2007

Lari kepada TUHAN !

“Nama Tuhan adalah menara yang kuat. Kesanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat” (Amsal 18:10)

Beda orang Yahudi dengan orang Indonesia adalah orang Yahudi pada umumnya memiliki nama yang sangat penuh makna, misalnya Daniel (Allah adalah hakimku), Yeremia (Allah akan meninggikan), sementara banyak orang Indonesia memiliki nama tanpa makna yang mendalam, misalnya Budi, Iwan, Wati (maaf deh kalau ada yang namanya Budi, Iwan, Wati. Bahkan nama saya sendiri tidak ada artinya kok).

Bagi orang Yahudi nama mencerminkan karakter orang tersebut. Itu sebab Allah juga memperkenalkan diri kepada umat Israel secara progresif dengan berbagai nama dalam Perjanjian Lama. Dalam ayat diatas, pengamsal menulis bahwa nama-nama Tuhan tersebut adalah menara yang kuat. Di zaman dahulu, menara dibangun sebagai benteng pertahanan kota. Ketika musuh menyerang, maka penduduk serta-merta berlari menyelamatkan diri mereka ke menara tersebut untuk berlindung. Kota yang tidak memiliki menara mudah sekali diduduki musuh, karena dari menara itulah semua strategi bertahan dan menyerang diluncurkan.

Bagaimana orang benar berlari kepada menara tersebut? Orang benar dalam ayat diatas bukan hanya berarti orang yang telah dibenarkan oleh Allah dalam Kristus Yesus, tapi orang yang terus menerus hidup benar di hadapan Allah. Saat badai kehidupan menerpa orang tersebut, ia melepaskan segala sesuatunya dan berlari kepada Allah dalam doa dan iman.

Hasilnya? Ia menjadi selamat! Selamat disini berarti bukan berarti masalah hidup menjadi hilang, dan semuanya kembali lancar. Tetapi selamat disini berarti mendapat perspektif dan pengharapan yang baru. Kita dimampukan untuk menghadapi masalah tersebut karena Allah dan bersama dengan Allah.

Itulah sebabnya kita perlu mengenali Allah kita, yang memperkenalkan dirinya kepada umat Israel dengan beberapa nama sebagai berikut:

1. JEHOVAH-JIREH: "The Lord will Provide." Gen. 22:14.
2. JEHOVAH-ROPHE: "The Lord Who Heals" Ex. 15:22-26.
3. JEHOVAH-NISSI: "The Lord Our Banner" Ex. 17:15.
4. JEHOVAH-M'KADDESH: "The Lord Who Sanctifies" Lev. 20:8.
5. JEHOVAH-SHALOM: "The Lord Our Peace" Judges 6:24.
6. JEHOVAH-TSIDKENU: “The Lord Our Righteousness” Jeremiah 23:6
7. JEHOVAH-ROHI: “The Lord is my shepherd” Psalm 23:1

Jika kita melihat setiap nama diatas dalam konteks ayat dimana nama tersebut muncul, kita akan melihat bahwa Allah memperkenalkan diriNya dalam konteks yang tepat. Misal, Jehovah-Jireh muncul dalam konteks dimana Abraham diperintahkan Allah untuk mempersembahkan Ishak anak kesayangannya. Ketika Abraham dengan ketaatannya yang luar biasa hendak melaksanakan perintah Allah yang tidak masuk akal sehat itu, malaikat Tuhan menghentikannya. Lalu tiba-tiba muncullah seekor domba jantan untuk menggantikan Ishak sebagai korban bakaran. Dari sana Abraham mengerti sebuah pelajaran yang hari ini kita harus ingat tentang Allah kita, yaitu pada waktu kita taat pada Allah meski kita tidak yakin bagaimana kebutuhan hidup kita akan tercukupi, ingatlah bahwa Allah akan menyediakan.

Itu sebabnya pengamsal menulis orang benar berlari kepada Allah yang sedemikian. Menarik diayat selanjutnya pengamsal menulis ‘Kota yang kuat bagi orang kaya adalah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya’ (Amsal 18:11). Betapa kontras!

Yang satu menara, dan yang lain kota. Yang satu nama Allah, dan yang lain harta benda. Yang satu adalah kepastian mendapat selamat, dan yang lain hanyalah menurut anggapannya. Orang benar berlari kepada benteng pertahanan yang terbukti kokoh yaitu Allah YHWH. Orang fasik berlari kepada tempat berlindung yang dia pikir dapat diandalkan yaitu kekayaannya.

Hari ini kemana kita berlari saat bermasalah? Kepada rekening bank kita, deposito, super-annution kita, atau kepada Allah? Kapan kita terakhir datang kepada Allah dalam doa-doa kita dan beroleh perspektif baru melihat masalah & kekuatan baru untuk melewatinya?

Persoalan kita: kita hanya tahu siapa Allah kita sebatas teori, sebatas pengetahuan otak. Rasul Paulus menulis pada Timotius ‘Aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakanNya kepadaku hingga pada hari Tuhan’ (2 Tim 1:12). Dia bukan hanya tahu Allah, tapi dia yakin akan Allah. Yang pertama dia memahami siapa Allah, yang kedua siapa Allah menguasai dirinya. Itu sebab ia berani menderita sebagai rasul dan tidak malu atas penderitannya.

Menjelang akhir tahun 2007 dan memasuki tahun 2008 ini, mari kita berdoa agar Allah memberi kita pengalaman2x yg mungkin tidak enak agar kita paham bahwa ‘Umat yg mengenal Allahnya akan tetap kuat & akan bertindak’ (Dan 11:32b).

Incarnation

The Maker of man became man

that He, Ruler of the stars,
might be nourished at the breast;

that He, the Bread,
might be hungry;

that He, the Fountain,
might thirst;

that He, the Light,
might sleep;

that He, the Way,
might be wearied by the journey;

that He, the Truth,
might be accused by false witnesses;

that He, the Judge of the living and the dead,
might be brought to trial by a mortal judge;

that He, Justice,
might be condemned by the unjust;

that He, Discipline,
might be scourged with whips;

that He, the Foundation,
might be suspended upon a cross;

that Courage might be weakened;

that Security might be wounded;

that Life might die

~ St. Augustine, Sermons on the Liturgical Seasons, Trans. Sister Mary Sarah Muldowney, R.S.M., Vol. 38 in The Fathers of the Church, ed. Roy Joseph Deferrari (New York: Fathers of the Church, Inc.), p. 28.

Sleeping with a Mosquito

If you think something small cannot make a difference,
try going to sleep with a mosquito in the room.
~anon

Oct 26, 2007

When winning is losing...

I stumbled upon this interesting article last night.

In it, the author argues that our advances in the church (which are great in and of themselves) have weakened our preaching that is supposedly God-glorifying. Below is my summary of the first three (and in my opinion, most important) advances expressed in my own words:

1. The wide availability of the tools of exposition which preoccupy preachers to the extent that these tools stop becoming our tools and turning into our 'master', so much so that our sermons become dry, mechanistic, and formulaic.

2. The assumed task to make sermon simple and clear often ignores the rich insights in God's inspired words. Christians then have an eschewed understanding of even key concepts such as 'faith in Christ'. Einstein once challenged: How to make things simple, but not over-simplified.

3. The efforts to welcome and retain non-believers in the church services often compels us to dumb down in our preaching, making it as warm, hearer-friendly, non-offensive, non-apologetic, as non-patronizing as possible. No wonder the words hell, sin, repentance, the cross are often low in counts compared to words like forgiveness, happiness, self-confidence, self-esteem, and so on.

Read the entire text here:
http://www.theologian.org.uk/pastoralia/embersofpreaching.html

Oct 20, 2007

Dunia sebagai Kuburan Masal

“I see dead people”
“In your dreams?”
Cole shakes his head no.
“While you're awake?”
Cole nods.
“Dead people like, in graves? In coffins?”
“Walking around like regular people. They don't see each other. They only see what they want to see. They
don't know they're dead.”
“How often do you see them?”
“All the time. ”

Percakapan dari film Sixth Sense diatas mungkin terdengar agak menakutkan saat kita menonton filmnya. Namun percapakan tersebut sebenarnya mengandung kebenaran yang dinyatakan oleh Alkitab dalam Efesus 2:1-2 tentang manusia: “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.”

Alkitab menyatakan bahwa dunia penuh dengan orang-orang mati rohani yang berjalan, beraktivitas, dan berkarya setiap hari dengan hati yang memberontak kepada Allah. Termasuk Anda dan saya sebelum kita mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Itu sebab dalam arti rohani dunia kita bagaikan sebuah kuburan masal berukuran global yang dihuni oleh ratusan juta tubuh yang telah membeku, tidak mampu berespon terhadap stimuli apapun. Kemanapun kita menoleh, kita seharusnya berkata seperti Coles dalam film Sixth Sense diatas: “I see dead people!” Mereka mati rohani karena telinga mereka tidak dapat mendengar suara Allah, mata mereka tidak dapat melihat kemuliaan Allah, dan tangan mereka tidak dapat meraba kebaikan Allah padahal suara Allah, kemuliaan Allah, dan kebaikan Allah telah dinyatakan dalam karya ciptaan Allah (Roma 1:19-21).

Namun Anda akan dianggap aneh, kuper, picik, ofensif bahkan gila kalau Anda berkata kepada rekan kerja Anda di kantor: “Hmm . . . tahu tidak, dimata Allah loe sebenarnya kayak orang mati dan akan menerima murka Allah.”

Jika abad ke-20 kekristenan ditolak karena sulit diterima oleh akal, di abad ke-21 kekristenan ditolak karena ajaran-ajarannya yang dianggap sangat tidak toleran. Tapi inilah firman Allah bagi manusia berdosa. Berita yang perlu disampaikan pada setiap individu yang hidup di luar Kristus, termasuk mereka yang hidup bermoral, beramal, dan berdampak positif bagi orang lain (dokter, filantrofis, sukarelawan, tokoh agama, dst.). Bukan dengan arogansi, tetapi dengan hati yang penuh compassion.

Puji Tuhan berita duka kematian tersebut tidak berakhri menyedihkan. Sebagaimana Kristus dalam Yohanes 11:43-44 berseru dengan suara keras kepada seorang yang telah empat hari dikubur dan berbau busuk: “Lazarus, keluar!” untuk membangkitkannya, demikian pula Allah “telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia kamu diselamatkan” (Efesus 2:5). Inilah the great turning point. Karena kasih karuniaNya, kita diberi iman sebagai alat menerima keselamatan Allah berdasarkan pekerjaan Kristus yang telah genap di atas salib. Berita ini pun perlu kita sampaikan kepada manusia berdosa, sambil terus mengingat (Efesus 2:11) bahwa itulah juga kisah hidup kita yang dahulu sebelum kita mengenal Kristus.

Oct 15, 2007

Apa Artinya Menjadi Orang Kristen?

Saat saya masih duduk di bangku SMA, tidak berapa lama setelah saya menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan saya, seorang teman di sekolah bertanya, “Eh, sekarang khan lu udah jadi orang Kristen, apa ada bedanya lu yang dulu dan yang sekarang?” Karena saat itu saya masih lugu (lucu dan goblok), maka saya cuma bisa jawab begini: “Ga tahu deh. Pokoknya gua sekarang kalo mati pasti masuk surga, bukan neraka!”

Beberapa tahun kemudian, saya baru ngerti bahwa iman Kristen bukan cuma soal pindah jurusan dari neraka ke surga seperti orang ganti jurusan bis kota. Rasul Paulus dalam Efesus 1 menjelaskan apa artinya menjadi orang Kristen, apa keunikan dan implikasi dari iman percaya kepada Kristus. Ada 7 point yg relevan:

1. Allah Bapa telah memilih kita untuk mengenal Kristus sejak sebelum dunia dijadikan. Allah menentukan dalam kekekalan bahwa kita dipilih untuk diselamatkan dalam Kristus Yesus. Keputusan Allah ini bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Namun Allah memilih kita bukan karena kita baik atau pandai atau cantik/ganteng (atau jahat atau bodoh atau jelek). Pemilihan Allah tidak didasarkan atas diri kita, tapi atas kerelaan kehendakNya yang sempurna

2. Allah Bapa menentukan agar dalam Kristus Yesus kita beroleh pengampunan atas dosa-dosa kita oleh penebusan darah Kristus yang tercurah di atas kayu salib, sekali untuk selamanya.

3. Allah Anak mengutus Roh Kudus yang memungkinkan kita untuk percaya kepada Kristus. Karena Roh Kudus, kita menjadi hak milik Allah, bukan lagi Setan, sehingga kita tidak harus hidup dibawah kuasa belenggu dosa. Memang orang Kristen tetap bisa berdosa selama masih hidup di dunia, namun karena Roh Kudus kita sekarang dimampukan untuk hidup berjuang melawan Setan dan untuk menang terhadap dosa, yaitu bila hidup kita dipimpin Roh Kudus.

4. Allah Bapa memberi Roh Kudus kepada setiap orang yang percaya sebagai jaminan (down payment) supaya kita dapat mengecap warisan anugerah rohani yang kita akan terima seluruhnya saat kita bertemu dengan Allah nanti. Jadi beriman dalam Kristus memberi makna baru tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan kita karena apa yang Allah kerjakan.

5. Allah Bapa memilih, Allah Anak menebus, dan Allah Roh Kudus memeteraikan. Ketiga pribadi Allah tritunggal bekerja dalam diri orang percaya untuk satu tujuan: Agar kemuliaan Allah dinyatakan dengan jelas dan terang melalui keselamatan kita dan buah-buah keselamatan yang kita hasilkan secara natural dalam hidup kita. Jadi iman dalam Kristus berasal dari kehendak Allah dan berakhir untuk kemuliaan Allah

6.Setelah percaya Kristus, kita memulai sebuah perjalanan iman untuk semakin mengerti segala kekayaan berkat rohani yang kita terima dalam Kristus. Perjalanan ini perjalanan seumur hidup. Namun semakin kita mengerti betapa mulia panggilan kita dalam Kristus, semakin hidup kita diubahkan, dibentuk, ditransformasi sehingga kita semakin pantas disebut sebagai anak Allah. Mengapa banyak orang Kristen yang hidupnya masih tidak beres? Karena mereka belum mengerti kasih Allah yang merelakan Anak-Nya mati di atas kayu salib yang didalamnya terkandung segala kekayaan kemuliaan Allah dan berkat rohani yang dibutuhkan manusia baik untuk hidup di dunia dan di surga kelak.

7. Beriman kepada Kristus berarti bahwa kita yang tadinya secara natur (a) mati rohani bagaikan sebuah mayat sekarang dihidupkan bersama Kristus, (b) diperbudak oleh Setan, dunia, dan hawa nafsu daging sekarang dimerdekakan untuk hidup penuh dengan sukacita dalam Allah, dan (c) menderita hukuman kekal dibawah murka Allah sekarang menikmati kekayaan karunia Allah yang berlimpah, yang akan dinyatakan dengan menyeluruh di surga nanti.

Itulah iman Kristen. Luar biasa memang. Tidak heran setiap orang Kristen berkumpul, kita tidak henti-henti bernyanyi memuji Allah Tritunggal.

Sep 8, 2007

Pernikahan Kristen (4)

“Istri, Tunduklah kepada Suamimu”

Ayat dari 1 Pet 3:1 dan Efesus 5:22, 24 diatas adalah salah satu ayat yang paling tidak disukai oleh banyak orang, khususnya kaum wanita. Ayat tersebut terdengar sangat kuno, usang, antic. “It’s so 19th century!” Dibalik ayat tersebut ada asumsi bahwa meremehkan, mengecilkan, bahkan menekan wanita itu sah-sah saja. Bagaimana kebenaran firman Tuhan yang timeless dan timely ini kita mengerti dengan akurat?

Spesifik
Perintah istri tunduk terhadap suami punya beberapa hal spesifik. Pertama, baik Rasul Paulus maupun Petrus secara unison memberi perintah tersebut di kitab Efesus dan 1 Petrus dalam konteks relasi suami-istri. Kedua, istri harus tunduk pada dan hanya pada suami sendiri (bukan suami orang lain). Ketiga, istri tunduk pada suami bukan hanya dalam hal-hal tertentu, tapi dalam “segala hal” (Ef 5:24). Keempat, konteks di 1 Pet 3 adalah meski suami bukan orang Kristen, tidak mau taat firman, istri tetap harus tunduk pada suami. Jadi bukan tunduk hanya kalau suami saleh, alim, dan simpatik, tapi juga kalau dia menjengkelkan!

Semua ini kedengarannya tidak nyaman di telinga wanita hyper-modern abad ke-21, apalagi bila mengingat realita hari ini wanita mengungguli pria di semua bidang, di rumah dan di kantor! Tapi pernahkah kita berpikir bagaimana perintah tersebut terdengar di telinga wanita abad ke-1? Mengapa Paulus dan Petrus memerintahkan istri untuk tunduk pada suaminya bila by default wanita memang sudah dikondisikan oleh budaya (baik Yahudi dan Yunani) untuk tunduk pada laki-laki?

Alasan
Sekarang kita lihat beberapa alasan mengapa keempat perintah tersebut diberikan. Pertama, menurut Anda, perintah mana yang lebih sulit: Istri tunduk pada suami, atau suami mengasihi istri? Bahwa istri mesti tunduk pada suami, itu sudah biasa (sesuai budaya saat itu), tetapi bahwa suami mesti mengasihi istri seperti dirinya sendiri dan tidak memperlakukannya seperti barang dagangan, itu luar biasa. Paulus dan Petrus mengajarkan bahwa meski para istri telah memperoleh kemerdekaan dalam Kristus, mereka tetap mesti tunduk pada suami. Mengapa?

Karena alasan kedua. Inilah design Allah yang Ia tetapkan sejak Kitab Kejadian, bahkan dalam kekekalan, sehingga jauh melampaui budaya pada waktu itu. Wanita dicipta dari laki-laki dan untuk laki-laki (1 Kor 11:8-9). Dalam kedaulatanNya, Allah mengatur urutan otoritas yang berlaku dalam empat institusi: Negara (pemerintah terhadap warga negara – 1 Pet 2:13-17), perusahaan (employer terhadap employee – 1 Pet 2:18-25:Ef 6:5-9), gereja (penatua terhadap jemaat – Ibr 13:17), dan keluarga (suami terhadap istri dan orang tua terhadap anak – 1 Pet 3:1-6; Ef 5:22-6:1-4). Ketidaktaatan terhadap tatanan ini akan menimbulkan kekacauan: warga negara menolak aturan lalu lintas, pegawai selalu melakukan aksi demo terhadap boss, jemaat marah-marah saat dinasihati penatua, anak berontak terhadap orang tua.

Jika perintah istri tunduk pada suami harus dibuang karena dianggap tidak relevan dengan zaman, bukan tidak mungkin perintah anak tunduk pada orang tua juga perlu dibuang di masa depan karena anak menganggap itu juga tidak lagi relevan! Mari kita ingat bahwa ini bukan masalah relevan atau tidak relevan, tetapi masalah kedaulatan Allah yang Ia atur sesuai dengan kehendakNya yang sempurna.

Sikap
Ada dua sikap yang perlu dimiliki oleh para istri (dan calon istri). Pertama, bagaimana saya dapat menerima dengan sukacita bahwa design Allah adalah yang terbaik bagi kebahagiaan hidup saya sebagai istri? (Ketika design Allah ini dibuang oleh kaum feminis di abad ke-20, tingkat perceraian meningkat tajam). Sikap tunduk pada suami ini hanya mungkin dilakukan oleh para istri yang “menaruh pengharapannyanya kepada Allah” (1 Pet 3:5), sebuah kecantikan batin yang muncul dari pengenalan dan pengakuan yang mendalam tentang hikmat, kebaikan, dan kedaulatan Allah. Inilah yang membuatnya bergantung bukan pada suaminya, atau penampilan fisiknya, atau pada spirit zaman yang berlaku, tetapi pada Allah. Kekuatan ini muncul natural dari relasi dengan Allah melalui doa dan firman, tanpa itu tidak ada istri yang tunduk pada suami dengan sukarela, apalagi sukacita. Jika hari ini begitu banyak istri-istri Kristen yang sulit untuk tunduk pada suami, barangkali ada sesuatu yang salah dalam relasi mereka dengan Allah.

Kedua, sampai batas apa saya harus tunduk pada suami, khususnya bila suami saya tidak serius dalam imannya pada Tuhan? Prinsipnya adalah jika keputusan suami membuat saya melakukan apa yang firman Tuhan larang, atau tidak melakukan apa yang firman Tuhan perintahkan, maka saya sebagai istri bukan hanya dapat menolak keputusan suami tersebut, namun perlu dan harus menolaknya! Jika suami meminta saya untuk menolong dia untuk korupsi uang, atau suami melarang saya beribadah ke gereja, maka saya harus lebih tunduk pada Allah ketimbang manusia. Di luar itu, Paulus memerintahkan istri untuk tunduk dalam segala hal. Jika ada sebuah keputusan yang setelah lama dibicarakan dan digumulkan dalam doa bersama selama berbulan-bulan antar suami dan istri (dan jelas tidak melanggar firman Tuhan) namun tidak bisa disetujui, istri perlu belajar utk mendukung dan mengkonfirmasi suami sebagai kepala keluarga, taat sebagaimana gereja taat terhadap Kristus.

Inilah rahasia kebahagiaan keluarga yang Allah beberkan kepada manusia ciptaanNya. Suami mengasihi istrinya dengan kasih yang berkorban dan sebagaimana ia mengasihi tubuhnya sendiri, seperti Kristus yang meletakkan nyawaNya bagi gerejaNya. Istri tunduk pada suaminya dalam segala hal dengan sukacita karena ia rindu menyenangkan Allah dan berharap hanya kepadaNya, seperti gereja tunduk kepada Kristus. Dan mendasari kedua perintah tersebut adalah sikap saling menghormati keunikan peran masing-masing, kerendahan hati untuk menerima satu dengan yang lain, kerelaan untuk saling melayani, semuanya karena Kristus. Inilah resep keharmonisan rumah tangga yang dicari-cari orang dunia!

Sep 7, 2007

Why Praising Your Kids is Bad

Occasionally a great article on parenting appears in the media. This one from New York Times magazine, I think, is a must-read for all parents out there:
How Not to Talk to Your Kids: The Inverse Power of Praise
By Po Bronson
http://nymag.com/news/features/27840/

It is a summary in lay terms of studies conducted by renown psychologist Carol Dweck on fifth-graders. Her findings apply to both girls and boys irrespective of their socioeconomic classes. These are a few points that I highlighted from the article (though I encourage you to read the full article yourself):

"When we praise children for their intelligence, we tell them that this is the name of the game: Look smart, don’t risk making mistakes.” And that’s what the fifth-graders had done: They’d chosen to look smart and avoid the risk of being embarrassed."

Parents tend to think that building their kids' self-esteem is very important for their future success in this hyper-competitive world. But meta-analysis on studies on self-esteem show that "having high self-esteem didn’t improve grades or career achievement.It didn’t even reduce alcohol usage. And it especially did not lower violence of any sort. (Highly aggressive, violent people happen to think very highly of themselves, debunking the theory that people are aggressive to make up for low self-esteem.)"

"The continued appeal of self-esteem is largely tied to parents’ pride in their children’s achievements: It’s so strong that “when they praise their kids, it’s not that far from praising themselves.”"

To be effective, researchers have found, praise needs to be:
- specific and process-focused (After soccer games, I praised him for looking to pass, rather than just saying, “You played great.”)
- sincere (Once children hear praise they interpret as meritless, they discount not just the insincere praise, but sincere praise as well.)

A Very Moving Skit from Lifehouse

Sep 3, 2007

Pernikahan Kristen (3)

“Suami, Kasihilah Istrimu”

Bagaimana kita mengerti peran suami terhadap istri dalam pernikahan Kristen?

Bila pernikahan Kristen adalah sebuah drama hidup yang melukiskan relasi Kristus terhadap gerejaNya, maka peran suami terhadap istri seharusnya adalah fotocopy dari peran Kristus terhadap gerejaNya. Demikian juga peran istri terhadap suami juga mestinya fotocopy dari peran gereja terhadap Kristus. Inilah misteri terbesar dalam pernikahan Kristen.

Dari Efesus 5:21-33, ada beberapa hal yang kita bisa pelajari tentang peran suami, dari kacamata paradigma Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan.

1. Penciptaan.

Alkitab jelas mengajarkan bahwa suami adalah kepala dan istri adalah tubuh. Dan memerintahkan agar suami mengasihi istri dan istri tunduk kepada suami dalam segala hal (Ef 5:23-25). Hal ini ditulis bukan karena Paulus seorang chauvinist yang selalu memandang rendah wanita, bukan juga karena budaya Yahudi atau Yunani pada waktu itu yang juga menganggap wanita hanya sebagai ‘aset’.

Kita tahu hal itu karena Paulus mendasarkan tulisannya bukan pada pendapat pribadinya atau budaya saat itu, tetapi pada penciptaan (Ef 5:31; 1 Kor 11:7-12; 1 Tim 2:13). Ketika Yesus ditanya orang Farisi tentang perceraian, Yesus juga mengembalikan konsep pernikahan kepada penciptaan (Markus 10:6-8). Intinya, bahwa suami adalah kepala atas istri dan keluarganya adalah design Allah dari sejak awal.

Status dan harga diri pria dan wanita sama dimata Allah. Yang berbeda adalah peran dan tanggung jawab suami dan istri. Jika kita mengakui bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang diinspirasikan olehNya, kita percaya bahwa design Allah ini adalah yang terbaik bagi kebahagiaan hidup manusia. Dan betapa banyak kasus-kasus riil yang merujuk kepada realita bahwa Allah menciptakan dalam diri wanita sebuah kerinduan batin yang terdalam berharap suami menjadi pemimpinnya seperti Kristus yang berkorban sampai titik akhir mengasihi gerejaNya. Tidak ada wanita yang menolak suami yang sedemikian.

2. Kejatuhan.

Design Allah tersebut telah dirusak oleh dosa.

Suami yang semestinya mengasihi istrinya dengan kasih yang berkorban berubah menjadi salah satu dari jenis berikut:
(a) suami otoriter yang abusive atau
(b) suami yang tidak peduli dengan istri dan keluarganya.

Istri yang semestinya tunduk pada suaminya dengan sukacita dan sukarela berubah
(a) merasa tidak butuh suami dan mendominasi suaminya atau
(b) tunduk karena ada maunya, ada niat hati yang manipulatif.

Karena dosa, muncullah gerakan feminisme (women’s liberation), yaitu protes terhadap suami/pria yang mengecilkan status istri/wanita. Perjuangan menghapus berbagai perlakukan ekstrim yang dialami oleh wanita di berbagai belahan dunia seharusnya perlu didukung oleh gereja. Namun kesalahan kaum feminis adalah saat mereka berjuang melawan kesewenang-wenangan pria, mereka bukan saja menggeser pria tetapi juga mengambil tempat pria sebagai kepala. Inilah akibat dosa yang membuat design Allah terbolak-balik.

3. Penebusan.

Penebusan Kristus di atas kayu salib menjadi titik balik yang mengembalikan peran suami dan istri sebagaimana mestinya sesuai design Allah. Seperti Kristus, suami mengasihi istrinya dan menyerahkan diri baginya, memimpinnya untuk hidup kudus dan tak bercela, mengasuh dan merawatnya seperti tubuhnya sendiri (Ef 5:25-29).

Konkritnya suami perlu menjadi pemimpin dalam area spiritual dan fisikal. Suami memiliki tanggung jawab utama (meski bukan satu-satunya) membawa istri dan anak-anaknya hidup bergaul dengan Tuhan dalam firman dan doa. Suami tidak bisa cari alasan dan berkata pada istrinya, “Gini deh, gua yang bagian cari duit, yang realistis, lu yang urus soal rohani-rohani, yang idealis.”

Suami juga bertanggung jawab memberikan perlindungan rohani bagi istri dan anaknya dengan berdoa senantiasa bagi mereka tanpa putus, agar mereka terjaga dari segala tipu daya Iblis, dunia, dan diri mereka sendiri. Salah satu implikasi konkrit adalah suami perlu berinisiatif untuk melakukan rekonsiliasi setiap kali ada konflik antar dia dan istrinya, atau dia dan anak-anaknya, meski yang salah bukan sang suami (Ef 4:26-27). Karena seperti Kristus yang terus-menerus berinisiatif mencari dan berdamai dengan gerejaNya, demikian suami berinisiatif untuk rekonsiliasi.

Dalam area fisikal, suami memiliki tanggung jawab utama (tapi bukan satu-satunya) untuk bekerja mencukupkan kebutuhan keluarganya. Tentu tidak salah bila baik suami maupun istri dua-duanya bekerja. Namun bila istri kerja sementara suami tidak (karena penyakit atau studi atau lain hal), ada sebuah bagian penting dalam diri pria yang hilang dan berakibat fatal bagi persepsinya dan persepsi orang lain terhadap dirinya. Ada sesuatu yang tidak selaras dengan design Allah bila pria tidak bekerja.

Suami juga berperan menjaga istri dan anak-anaknya dari berbagai bahaya-bahaya fisik, itu sudah jelas. Dia harus berada di garis paling depan, siap mengorbankan nyawanya demi istrinya. Bukan karena romantis, tetapi karena Kristus meneladankan hal tersebut saat Ia berkorban bagi gerejaNya.

Dalam kasus-kasus penyelewengan istri yang melibatkan PIL (Pria Idaman Lain), ketika ditanya apa yang menyebabkan si istri tertarik pada pria lain, jawaban yang paling sering muncul adalah “Dia membuat aku merasa seperti wanita lagi, dikasihi, diperhatikan, dan dilindungi.” Komentar seperti ini menyedihkan, dan tidak perlu terjadi apabila setiap suami menjalankan perannya seperti Kristus.

Pernikahan Kristen (2)

“Telanjang, tetapi tidak Malu”

Dalam drama penciptaan dunia, semua hal yang Allah ciptakan Ia nyatakan sebagai baik adanya. Namun ketika Ia menciptakan manusia pertama, Allah menyatakannya sebagai amat baik (Kej 1:31). Yang menarik adalah dalam proses tersebut yang semuanya baik dan amat baik tersebut, Allah lalu menyatakan bahwa ada satu hal yang tidak baik, yaitu masalah kesepian yang dialami Adam.

Maka dengan kepedulian dan rasa humor, Allah berinisiatif mengadakan sebuah acara khusus "Adam Berburu Pasangan Sepadan." Dalam acara itu, Ia memerintahkan semua binatang untuk berbaris rapi dalam sebuah parade untuk memperagakan kecantikan mereka masing-masing. Namun setelah merak, kangguru, sampai gorilla jungkir-balik mencoba mencuri hati pria idaman tersebut, Adam menemukan bahwa tak satupun dari kecantikan mereka yang menarik hati Adam.

Singkat cerita, Allah intervensi dan membuat Hawa dari rusuk Adam. DisuruhNya Adam tidur ketika semua itu terjadi (total anesthetic pertama kali di dunia!). Perhatikan bagaimana Allah bukan saja kemudian mencipta Hawa dari tulang rusuk Adam, tetapi membawa Hawa kepada Adam. Allah tidak berbeda dengan seorang Father of the Bride yang berjalan menyisir aisle gereja membawa putrinya kepada sang calon suami.

Sungguh Allah kita seorang Wedding Planner yang Agung. Kedua mempelai dinyatakan oleh Alkitab dalam keadaan telanjang, namun tidak merasa malu (Kej 2:25).

Kenapa tidak malu? Dalam pertanyaan inilah terkandung arti penikahan Kristen yang kita coba lihat dari kacamata paradigma Penciptaan (Creation), Kejatuhan (Fall), dan Penebusan (Redemption):

1. Penciptaan.

Dalam taman Eden sebelum dosa ada, mereka tidak malu meski telanjang. Karena Adam dan Hawa memiliki tubuh yang sempurna tanpa harus mengikuti Dr Atkins’ Diet atau mendaftar sebagai anggota gym/fitness centre. Allah menciptakan keindahan tubuh mereka tanpa cacat samasekali, sehingga mereka tidak perlu malu karena tidak ada hal apapun yang dapat membuat mereka malu.

Tetapi hal tersebut bukan alasan utama. Karena perasaan tidak malu di ayat 25, didahului oleh pernytaan “keduanya menjadi satu daging” di ayat 24. Artinya suami dan istri menikah bukanlah sebuah eksperimen, dan pernikahan bukan tentang sebuah status saling mencintai. Pernikahan Kristen adalah sebuah perjanjian (covenant) yang dipegang seumur hidup oleh seorang pria dan wanita di hadapan Allah. Karena kasih perjanjian ini, mereka tidak malu dalam hal apapun terhadap satu sama lain. Bukan saja dalam hal seksual, tetapi juga emosional, intelektual, relasional, dsb. Saat seorang pria dan wanita menjadi satu daging dalam institusi pernikahan, maka tidak perlu ada rasa malu. Implikasinya penting sekali bagi suami-istri.

Hari ini suami dan istri tanpa malu dapat curhat mengutarakan kelemahan, mengakui kesalahan, dan menyatakan ketakutan dan harapan mereka masing-masing tanpa merasa malu.
“Saya tidak malu bukan karena saya dicipta sempurna maka tidak perlu takut dicemooh atau ditolak olehmu. Saya tidak malu karena meski saya tidak sempurna, saya tahu kita saling mengasihi dengan kasih perjanjian yg kita buat dihadapan Allah.”

2. Kejatuhan.

Segera setelah suami-istri pertama tersebut jatuh dalam dosa, mendadak mereka sadar akan sesuatu: Mereka sedang dalam kondisi telanjang!

Menarik mengamati bahwa konsekuensi pertama dari dosa adalah timbulnya rasa malu (shame) dan rasa bersalah (guilt). Buru-buru mereka mencari daun-daunan dan mencoba bersembunyi dari Allah. Apa yang sebenarnya terjadi?

Fondasi kasih perjanjian itu runtuh. Rasa percaya antar suami-istri dan rasa aman tersebut itu rontok. Mereka merasa exposed, merasa vulnerable baik secara fisik maupun emosional. Saling curiga menyusup masuk dalam pernikahan. Adam berpikir, “Mana mungkin aku bisa percaya lagi pada istriku yang telah mempedaya aku makan buah terlarang itu?” Hawa juga tidak kalah sibuk berpretensi “Suamiku bisanya menyalahkan aku, tidak bakal deh aku percaya lagi sama dia. Aku urus diri sendiri saja!”

Demikianlah sejak saat itu sampai hari ini, keterbukaan dan transparansi hilang dan diganti dengan kecurigaan dan kepentingan diri. Untuk dapat telanjang secara batin terlalu menakutkan, karena akan ada penilaian dan kecaman yang akan memalukan dari sang suami atau istri.

3. Penebusan.

Allah tahu bahwa solusi manusia terhadap dosa akan gagal total. Upaya Adam dan Hawa menutupi keterlanjangan mereka dengan daun tidak akan cukup. Maka kita melihat dalam kitab Kejadian Allah yang penuh belas kasih memberi mereka pakaian dari kulit binatang.

Kulit binatang tersebut adalah sebuah simbol, sebuah statement, sebuah kesaksian bahwa Allah akan membuat segalanya kembali seperti sebagaimana mestinya. Kulit binatang itu melambangkan Anak Domba Allah yang tersembelih untuk menutupi dosa manusia, sehingga kita dimampukan memiliki jubah kebenaran, yaitu Kristus sendiri. Kita mengenakan Kristus, tulis Paulus kepada jemaat Galatia. Kematian Kristus di atas salib bagi gerejaNya menjadi titik balik yang mengembalikan pernikahan Kristen sebagaimana design Allah di awal.

Itu sebab dalam Kej 4:1, kita menyaksikan bagaimana pernikahan dikembalikan oleh Allah kepada status semula. Alkitab Inggris versi KJV menulis sbb: “Adam knew his wife, and she conceived.” Kata “knew” yang dipakai disana untuk melukiskan hubungan seksual memberitahu kita bahwa pengenalan yang paling transparan dan intim itu dapat terjadi dalam (dan hanya dalam) institusi pernikahan antar suami dan istri (bukan suami atau istri orang lain). To be known and still be loved is the supreme goal of marriage. Kita menyatakan segala sesuatu pada diri kita pada suami/istri kita, dan tetap dicintai. Inilah pemulihan Allah pada pernikahan Kristen.

Aug 31, 2007

Pernikahan Kristen (1)

Pernikahan Kristen: Papan Reklame Kasih Perjanjian Allah

Pertanyaan paling mendasar dan penting yang perlu dipertanyakan oleh setiap pasangan Kristen yang hendak dan sudah menikah adalah:
Apakah pernikahan Anda merefleksikan budaya dunia sekuler atau dibangun diatas kebenaran firman Allah?

Salah satu cara menjawab pertanyaan ini adalah memikirkan pandangan kita tentang perceraian. Sebagai contoh, hari ini dunia menawarkan apa yang disebut prenuptial agreement, yaitu sebuah kontrak yang ditandatangani oleh kedua calon mempelai sebelum menikah yang mengatur tentang soal pembagian harta apabila pernikahan tersebut tidak dapat lagi diteruskan. Inilah konsep kawin kontrak. Menikah selama masih ada cinta, menikah selama masih rasa cocok.

Dalam kitab Maleakhi 2:16, Allah berkata dengan tegas: “Aku membenci perceraian ... maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!” Hal ini kembali diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil (Markus 10, Matius 19): “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika Yesus datang ke dalam dunia, Ia bukannya meniadakan hukum Taurat / hukum Musa, namun Ia menggenapinya. Dalam Alkitab Yesus digambarkan sebagai mempelai pria dan gerejaNya sebagai mempelai wanita. Ketika Yesus datang ke dalam dunia, dengan kasih yang berkorban Ia datang untuk mati bagi mempelai wanitaNya yang telah menghianati dan meninggalkan Dia. Pola ini sebenarnya telah muncul sejak dari Perjanjian Lama. Allah tidak pernah menyerah memanggil kembali umatNya, mempelaiNya yang telah melacurkan diri kepada ilah lain (lihat secara khusus kitab Hosea). Dalam PB, hal ini didemonstrasikan dengan konkrit oleh Kristus yang mati diatas salib bagi mempelaiNya.

Itu sebabnya kita harus mengerti pernikahan Kristen sebagai simbol dari kasih Kristus yang rela berkorban bagi gerejaNya.

Saat sepasang suami-istri Kristen menikah, mereka sedang membuat sebuah statement kepada dunia: “Inilah kasih perjanjian Allah yang Ia nyatakan pada gerejaNya, kasih yang tak akan dapat dipatahkan.” Setiap suami-istri Kristen tak ubahnya seperti sebuah papan reklame hidup yang diarak keliling kota mempromosikan kasih perjanjian Allah yang tak berkesudahan terhadap umatNya.

Itu sebab pernikahan Kristen bukan hanya tentang cinta romantis antara suami-istri. Jatuh cinta memang penting di masa pacaran, dan komitmen untuk terus mencintai memang krusial saat perasaan jatuh cinta itu sudah tidak ada lagi dalam masa pernikahan. Tetapi pernikahan Kristen lebih dari semua itu. Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah. Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada gerejaNya.

Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat memisahkan perjanjian kasih suami-istri. Itu sebab dalam janji pernikahan yang tradisional, ada kalimat “till death do us part” atau “as long as we both shall live.” Bahwa kematian suami atau istri mengakhiri janji pernikahan di dunia ini ditegaskan oleh Alkitab karena dalam tubuh kebangkitan di surga nanti, tidak ada lagi pernikahan (Mat 22:30).

Dari beberapa prinsip ini kita dapat menarik beberapa hal yang sering menimbulkan kebingungan diantara orang Kristen:

1. Kalau seorang suami atau istri meninggal dunia, bolehkah pasangannya menikah lagi? Boleh. Karena kematian mengakhiri perjanjian nikah tersebut, dan Paulus menulis tentang para janda bahwa “lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu” (1 Kor 7:9).

2. Kalau suami atau istri bukan orang percaya, dan dia minta cerai, bagaimana? Paulus mengatur dalam 1 Kor 7:15 bahwa jika keinginan cerai itu muncul dari orang yang tidak beriman, maka tidak ada jalan lain. Namun keingingan cerai tersebut tidak boleh muncul dari orang yang percaya/beriman, karena bukan tidak mungkin Allah menyelamatkan jiwa suami/istri yang tidak percaya tsb melalui hidup suami/istrinya yang percaya.

3. Setelah diceraikan oleh suami/istri yang tidak percaya tersebut, dan ia masih hidup, bolehkah orang yang percaya tesebut menikah lagi? Paulus mengajarkan bahwa menikah lagi dalam konteks ini adalah sebuah perzinahan di mata Allah (Lukas 16:18; 1 Kor 7:10-11).

Aug 30, 2007

Positive Psychology Movement

This week and next some of us at Monash interacts with Tal Ben-Shahar, a psych professor at Harvard who attracts thousands of students into his class of Positive Psychology and Psychology of Leadership.

It's one of the latest trends in management research: Positive psychology movement. I had to admit the topic makes fascinating reading. Popularized by psychologists such as Martin Seligman, the concept changes radically the focus of psych research on fixing the bad elements into building the good elements within human beings.

They argue that we should not ask "Why these most people in a certaiin X condition fail?" but "Why do some of these people succeed despite the circumstance they are in?" Focusing on building one's strenghts rather than fixing one's weakness create more sustainable and higher growth in children, students, employees, and so on (a finding that enjoys more empirical research evidence in the last decade)

Some of their stuff are nicely laid out here:
http://www.ppc.sas.upenn.edu/publications.htm

More on this to come...

Leaders of the Future

Seperti apa model kepemimpinan masa depan sedikit banyak akan ditentukan oleh seperti apa konteks perubahan yang sedang berjalan melintasi kita saat ini.

Ada tiga fenomena dunia masa kini...

1. Intensitas manusia bekerja makin bertambah

Sekitar satu dekade lalu muncul sebuah adagium dalam dunia kerja: “ Work smarter, not harder .” Namun hari ini kenyataannya manusia yang telah “ work smarter ” ternyata tetap harus “ work harder ” dan bahkan “ work longer .” Konsep kerja Senin-Jumat 9 pagi-5 sore tidak lagi relevan; batasan antara kantor dan rumah sudah sangat kabur.

Tidak heran, masalah keseimbangan kerja dan hidup menjadi agenda penting hari ini. Dalam dunia bisnis, elemen terpenting hari ini adalah SPEED. Ide setengah matang yang dilaksanakan hari ini jauh lebih baik daripada ide sangat matang yang baru dikerjakan besok. Karena besok sudah sangat terlambat!

2. Semakin senjangnya manusia dalam berbagai segi.

Aset paling berharga suatu negara bukan lagi aset fisik ataupun finansial, namun kapasitas intelektual dan imajinasi manusia. Seiring dengan pertumbuhan industri-industri yang knowledge-intensive , negara-negara maju seperti AS, Kanada, Australia, Inggris, dan Singapura (yang sangat bergantung kepada migrasi) berlomba-lomba menarik ‘ the brightest minds ' untuk hidup dan bekerja di negara-negara mereka. Akibatnya, terjadilah apa yang disebut brain drain (pengurasan kecerdasan) dari negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, dan khususnya negara-negara Afrika.

Salah satu ekses negatifnya: muncul jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin. Human Development Report 2005 mencatat bahwa dalam dunia yang ultramodern ini ternyata masih ada 1.200 anak-anak yang meninggal setiap jamnya karena faktor-faktor yang sebenarnya bisa dicegah, seperti penyakit dan kelaparan. Jika kita prihatin dengan tsunami Desember 2004 lalu, yang menewaskan 300.000 orang sekaligus, seharusnya kita lebih prihatin dengan jumlah anak-anak yang meninggal setiap bulannya, yang sesungguhnya sama dengan tiga tsunami sekaligus. Dan itu terjadi setiap bulan! Statistik ini seharusnya membuat kita tidak bisa tidur.

3. Manusia sadar atas kekosongan hidupnya

Sejak peristiwa pemboman 9/11 di AS, masyarakat dunia seakan terbangun dari tidur panjangnya. Mereka sadar, hidup mereka yang sangat kaya materialis ternyata hampa. Kosong, tanpa arti.

Sementara trend terakhir di dunia manajemen adalah manajemen spiritualitas. Baik film-film Hollywood terbaru maupun sinetron-sinetron Indonesia dengan cermat menangkap tren spiritualitas ini. Maka tidaklah aneh jika buku Purpose-Driven Life menjadi buku nonfiksi terlaris sepanjang jaman: 26 juta eksemplar ludes hanya dalam tiga tahun! Ini karena buku PDL menawarkan apa yang dicari orang: Arti Hidup!


Implikasi bagi Pemimpin dan Kepemimpinan Masa Depan

Tentu masih banyak fenomena lain yang akan terjadi di masa depan. Namun, tiga yang disebut di atas punya implikasi-implikasi penting bagi para pemimpin, khususnya pemimpin Kristen. Yang jelas, dalam konteks di atas, tugas dan tanggung jawab pemimpin menjadi semakin kompleks, berat, dan melelahkan.

A. Kepemimpinan yang berwawasan multidimensi, namun satu fokus.

Salah satu kapabilitas utama pemimpin masa depan adalah menemukan inti atau esensi di balik berbagai kejadian, pola, dan kompleksitas sekelilingnya. Mantan CEO HP, Carly Fiorina , menulis, perannya memimpin perusahaan raksasa multinasional mengharuskannya terus-menerus melakukan ‘destilasi' untuk sampai kepada inti semua permasalahan (“ the very heart of things ”). Pemimpin masa depan perspektifnya global, namun bisa mendeteksi esensi dari semua itu dan fokus pada esensi tersebut.

Ia juga mengenali tanda-tanda zaman ( zeitgeist ), dan tahu agenda spesifik yang harus ia lakukan. Salah satu jebakan berbahaya bagi pemimpin, khususnya di Indonesia , adalah mencoba mengerjakan banyak hal sekaligus dalam hidupnya. Sejarah membuktikan bahwa seorang pemimpin dengan satu fokus akan jauh lebih efektif dan berhasil dibanding pemimpin dengan sembilan macam ‘fokus'.

B. Kepemimpinan dengan prinsip yang tegas, namun adaptif pada perubahan.

Pemimpin masa depan memiliki pijakan prinsip yang jelas agar tidak mudah goyah, terpeleset, dan jatuh. Ia otoritatif (karena berprinsip), tapi tidak otoriter (karena tidak menganggap dirinya superman atau superwoman ). Dia tahu titik-titik lemahnya dan tidak bermain-main dengan itu.

Ia adaptif, mudah menyesuaikan diri dalam segala kondisi, dan tahan banting. Kesulitan-kesulitan dilalui bersama Tuhan sebagai pengalaman yang membuatnya kian tegar dan bijak. Ia juga mampu bekerjasama dengan orang lain dari berbagai latar belakang dan karakter, memberi mereka kesempatan berkarya secara solo dan kolektif pada waktu yang tepat.

C. Kepemimpinan yang tahu kapan harus bekerja, dan kapan beristirahat.

Pemimpin masa depan tak terjerat fenomena “ I feel guilty when I relax. ” Ia tahu bahwa lingkaran rutinitas kesehariannya dapat dengan mudah mengaburkan arah dan fokus hidupnya. Hidupnya tidak didikte ataupun diperbudak oleh situasi eksternal, karena ia punya ritme yang teratur antara engagement dan withdrawal .

Ia punya waktu untuk bekerja bagi Tuhan, dan waktu untuk berdiam diri di hadapan Tuhan. Dengan demikian, kepemimpinannya akan tahan lama dan tahan banting. Sumber pengharapannya adalah Allah, yang tetap mengasihi dia, terlepas dari keberhasilan dan kegagalannya sebagai pemimpin.

D. Kepemimpinan yang berserah total kepada Allah, namun juga bekerja lebih giat.

Pemimpin Kristen masa depan menyadari bahwa dibanding dengan pemimpin non-Kristen, ia memiliki sebuah keunggulan: Ia tidak lebih baik atau lebih suci atau lebih dikasihi Tuhan, namun ia mengerti bahwa ia hanyalah manusia berdosa dalam dunia yang berdosa. Segala yang melekat pada dirinya adalah anugerah Allah. Otoritas, tanggung jawab, peran, kemampuan, kuasa, posisi, akses, dan fasilitas kepemimpinan yang ia miliki adalah pemberian Allah.

Kebergantungan total kepada belas kasihan Allah itu krusial bagi pemimpin Kristen, karena dari sanalah ia beroleh keberanian untuk berdiri menjawab tantangan zaman dan mendapat kekuatan untuk bekerja mempengaruhi zaman dengan tetesan keringat, air mata, bahkan darah. Seperti Daud: “ia melayani generasi zamannya seumur hidupnya sesuai kehendak Allah sampai dipanggil pulang kembali kepada Bapa” (Kisah Para Rasul 13:36 ).

Tertarik Lebih Jauh Menelusuri Masa Depan? Kunjungilah situs-situs berikut!
1. Institute of the Future http://future.iftf.org/
2. Center for Global Development http://www.cgdev.org/
3. World Competitiveness Center http://www02.imd.ch/wcc/
4. United Nations Human Development Report http://hdr.undp.org/
5. Fast Company http://www.fastcompany.com/

Aug 27, 2007

Berkotbah pada Diri Sendiri

Anda sedang BT, sumpek, mabok, cupet, dan patah semangat?
Cobalah resep ini: Kotbahi diri Anda sendiri !!

Mengomentari Mazmur 42:4-6, Dr Llyod-Jones menulis sebagai berikut dalam bukunya Spiritual Depression (hal 20-21, terjemahan bebas saya):

“Kita kuatir akan diri kita, kita kuatir akan apa yang akan terjadi pada kita . . . Dalam semua itu, kita seringkali membiarkan diri kita berbicara kepada kita dan tidak pernah berkata pada diri kita sendiri . . . Sadarkah Anda bahwa sebagian besar dari ketidakbahagiaan dalam hidup ini terjadi karena Anda mendengarkan diri Anda sendiri, dan tidak berkata pada diri Anda sendiri?"

"[Pemazmur] tidak mengijinkan dirinya berbicara pada dia, tetapi dia berkata pada dirinya sendiri “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Berharaplah kepada Allah!” Anda harus mengingatkan diri Anda sendiri akan Allah, siapa Allah, apa yang Ia telah lakukan di masa lampau, dan apa yang Ia janjikan dihadapan diriNya sendiri. Setelah itu, jangan peduli dengan diri Anda sendiri, orang lain, Setan, dan seluruh dunia, dan berkatalah pada diri Anda: “Sebab aku akan bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku.”

Hidup Gaya Terbalik

Bagaikan sandwich, hidup kita di dunia ini berada diantara tangisan bayi di rumah sakit dan tangisan kesedihan diseputar peti jenazah. Kedua tangisan tersebut menjadi bingkai kehidupan yang mengingatkan kita betapa keras, sulit, dan penuh derita hidup ini.

Namun toh, tujuh puluh atau delapan puluh tahun hidup kita di tengahnya dipenuhi gelak tawa, canda, dan gurau. Dan itulah yang what matters! Bagaimana kita menjalani hidup yang ujung dan akhirnya telah ditentukan dari awal?

Prinsip hidup macam apa yang hari ini membentuk hidup kita? Karena hidup ini menawarkan berbagai kekuatan yang akan menarik, mengarahkan, membentuk hidup kita. Berikut beberapa contoh:

• Hidup itu adalah pengorbanan:
“I believe there's a hero in all of us, that keeps us honest, gives us strength, makes us noble, and finally allows us to die with pride, even though sometimes we have to be steady, and give up the thing we want the most. Even our dreams” (Aunt May pada Peter Parker dalam Spiderman 2).

• Hidup harus selalu fast-paced, penuh adrenaline:
“'If everything seems under control, you're just not going fast enough!” (Mario Andretti, juara dunia Formula 1).

• Hidup itu jangan percaya orang, tapi percaya diri sendiri:
“Only the paranoid survives” (Andy Grove, CEO, Intel, statement yang juga jadi judul bukunya).

• Hidup ini adalah masalah stamina menghadapi kesulitan:
“That which does not kill us makes us stronger” (Nietzsche, filsuf Jerman)

• Hidup ini harus bahagia:
“Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” (Motto sebagian kaum young urban professional Indo)

• Hidup ini mesti ikut apa kata Pencipta kita:
”Wong kuwi kudu tansah eling marang karo sing ndhuwur” (Mbah Sunem – terjemahan: Orang itu mesti selalu ingat sama yang atas.”

• Hidup ini cuma mimpi dan kebohongan:
“The Matrix is everywhere. It is the world that has been pulled over your eyes to blind you from the truth . . . That you are a slave, Neo. Like everyone else you were born into bondage. Into a prison that you cannot taste or see or touch. A prison for your mind.” (Penjelasasn Morpheus pada Neo dalam The Matrix).

Percayalah bahwa masih ada segudang lagi prinsip hidup di dunia ini. Orang digerakkan oleh rasa bersalah, rasa takut, rasa ingin membuktikan diri, dan lain sebagainya. Kalau kita berpikir, “Ah, masa bodoh dengan semua itu. Gua mah kagak peduli. Pokoknya gua jalani aja apa yang ada dalam hidup gua hari ini. Ga perlu prinsip!” Well, itu artinya prinsip hidup Anda adalah hidup tanpa prinsip. Bahasa kerennya: Qui Sera Sera. Whatever will be, will be.

Setiap kita menjalani roda kehidupan dari lahir-sekolah-kuliah-menikah-punya anak-punya cucu-pensiun-mati (ada juga yang pilih untuk nge-jomblo agar hidup lebih efisien). Waktu bayi, kita memakai roda pram. Di masa tua, roda tersebut berbentuk kursi roda. Di tengahnya, kita dapat mengisi hidup ini dengan berbagai macam prinsip, cara, dan gaya hidup.

Stephen Covey dalam bukunya yang laris manis 7 Habits of Highly Effective People menganjurkan pembacanya untuk membayangkan sebuah upacara penguburan. Anda datang ke upacara tersebut, melihat orang yang terisak menangis di sebelah kanan dan kiri peti jenazah. Dan ketika Anda mendekati peti tersebut, Anda begitu kaget. Karena yang terbaring disana adalah Anda sendiri. Belum habis kekagetan Anda, tiba-tiba dipanggil maju ke depan tiga orang bergantian untuk menyampaikan kesan pesan (eulogy) mereka tentang hidup dan diri Anda. Satu orang mewakili kelurga, satu orang mewakili kolega di tempat kerja, dan satu orang lagi mewakili sahabat main.

Covey lalu bertanya, “Hidup macam apa yang Anda harap akan disampaikan oleh ketiga orang penting dalam hidupmu? Legacy macam apa yang ingin Anda tinggalkan?” Latihan mental seperti ini saya kira perlu (meski agak mengerikan ngebayangin-nya). Kita perlu memulai hidup ini dengan mendefinisikan akhir hidup kita terlebih dahulu, lalu menjalaninya dengan terbalik. Mulai dengan akhir, jalani hidupmu dengan terbalik.

Jika kita tidak melakukan itu, mungkin kita akan mengalami perasaan kecewa dan kegagalan di akhir hidup kita. Karena hidup ini tidak kita jalani baik-baik. Itulah yang dialami Napoleon Bonaparte, jendral perang dan kaisar Prancis yang begitu agresif dan sukses membangun kekaisarannya. Saat ia akan mati, menurut legenda, ia meminta agar di peti matinya dibuat sebuah lubang di sebelah kiri dan sebuah lubang di sebelah kanan. Ketika ditanya untuk apa kedua lubang tersebut? Dia berkata bahwa kedua lubang itu untuk tangan kanan dan tangan kirinya. Dia ingin menunjukkan pada dunia, bahwa sama seperti kelahiran, saat kematian tiba, tidak ada satu pun yang dari posisi, materi, kuasa yang ia peroleh di dunia ini dapat ia bawa.

Setiap kali ke Melbourne airport bagian internasional, saya suka memperhatikan respon wajah orang-orang yang sedang menjemput orang-orang yang mereka kasihi. Ada yang siap-siap menjepret dengan kamera. Ada yang membawa bunga. Dan ketika yang ditunggu datang: “Ahhhh!” Teriakan gembira langsung disusul dengan pelukan dan cium kasih bertubi-tubi. Itu di bagian kedatangan.

Di bagian keberangkatan internasional, pemandangan yang jauh berbeda terjadi. Bukannya gelak tawa dan senyum lebar, tetapi air mata dan kesedihan hati yang menghiasi perpisahan orang yang pergi dan yang ditinggal.

Di tengah gelak tawa dan air mata itu, hidup kita di Melbourne kita jalani. Hidup sembarangan atau penuh arti, itu menjadi pilihan kita. Rutinitas studi, kerja, bersosialisasi, dan kegiatan waktu santai, semua itu menjadi refleksi prinsip hidup kita (or the lack of it). Setelah semua kesibukan kita studi dan kerja, shopping di Myer, makan di Ying Thai, ngafe di Starbucks, dan seterusnya, maka yang tersisa adalah sebuah pertanyaan di kepala: Apa sih yang menggerakkan hidup saya hari ini?

Aug 24, 2007

Be Found Spotless!

Haruskah Orang Kristen Memberi Perpuluhan?

Dalam kotbah saya beberapa waktu lalu, saya mengajak jemaat memikirkan bersama dari Maleakhi 3:6-12 sebuah pertanyaan berikut: Apakah perpuluhan, memberikan 10% dari pendapatan kita, hari ini harus dilakukan oleh orang Kristen?

Jawabannya yang pasti bukan 'ya', tetapi bukan juga 'tidak'. Karena dikotomi ya dan tidak akan menjerumuskan kita kepada pemahaman yang malah salah kaprah terhadap konsep ini. Firman Tuhan mengajarkan kepada kita minimal 3 hal berikut

(1) Persembahan perpuluhan menjadi salah satu ukuran ketaatan kita kepada Allah, bagian dari ibadah kita kepada Allah. Memberi perpuluhan adalah sebuah bentuk pengakuan bahwa Ia Allah yang berdaulat yang memelihara hidup kita yang dapat kita andalkan dan sandari. Berita Maleakhi 3:6-12 diberitakan untuk menegur umat Israel yang tidak taat kepada Allah, dalam area memberi perpuluhan (disamping area lain yang ada dalam pasal ke-1 sampai ke-3). Jika bagian ini dikotbahkan agar penerimaan kas gereja naik, kita salah mengerti tujuan utama bagian ini. Kegagalan memberi perpuluhan hanyalah sebuah studi kasus, sebuah contoh riil dari ketidaktaatan umat Israel. Dalam hal tersebut, mereka perlu bertobat.

(2) Memberi dengan standar mutlak 10% berpotensi membuat orang percaya sombong rohani dan legalistik seperti orang Farisi (Mat 23:23). Point Yesus saat menegur orang Farisi adalah bahwa jangan kita memakai perpuluhan sebagai tingkah lagu agama (alasan rohani) agar tidak usah memperhatikan orang lain, khususnya orang-orang yang Tuhan kirimkan kepada kita untuk kita perhatikan. Adalah salah jika kita berpikir bahwa 10% dari pendapatanku adalah milik Tuhan, sisanya 90% milik-ku untuk aku pakai sekehendak hatiku. Padahal seluruhnya 100% adalah milik Allah yang ia titipkan pada kita. Jangan lupa kemampuan untuk kita bekerja dan mendapat gaji, itupun dari Allah.

(3) Perjanjian Baru (PB) tidak mengajarkan Perpuluhan, namun prinsip tentang memberi diajarkan dengan eksplisit dalam beberapa bagian oleh Rasul Paulus. Inti dari seluruh ajaran PB adalah bahwa:

(a) Motivasi kita memberi persembahan adalah untuk berkat rohani dari Allah, agar kita semakin berbuah memuliakanNya (2 Kor 9:8-15)

(b) Ukuran kita memberi persembahan adalah berkat materi dari Allah, agar kita semakin Allah memberkati kita dengan kekayaan materi, semakin besar kapasitas memberi dan menjadi saluran berkat.

Tabel berikut menjadi ringkasan dari seluruh aspek persembahan dalam Perjanjian Baru yang menggenapi ajaran perpuluhan dalam Perjanjian Lama. Saya menyebutnya sebagai Prinsip Persembahan 3S dan 3P

1. Sistematis
Memberi secara teratur, secara mingguan, dua-mingguan, bulanan, dll., tapi bukan secara dadakan
1 Kor 16:1

2. Sukarela
Memberi dengan sukarela, bukan karena rasa bersalah atau rasa terpaksa karena disuruh.
2 Kor 8:2-3; Fil 4:18

3. Sukacita
Memberi dengan hati yang bersukacita karena kasih kepada Allah
2 Kor 9:7

4. Pelayanan
Memberi untuk dapat menjadi saluran berkat Allah, mengasihi orang lain yang membutuhkan
2 Kor 8:9; 9:6

5. Proporsional
Memberi sesuai dengan berkat materi yang Allah tambahkan dalam hidup Anda.
1 Kor 16:2; 2 Kor 8:2-3

6. Pengorbanan
Memberi dengan perngorbanan, bukan ala kadarnya, agar lebih berani bergantung pada Allah, bukan uang.
2 Kor 8:2-3; Fil 4:17-18

Memberi persembahan adalah bagian dari disiplin rohani kita. Mari kita taat menjalankan Prinsip 3S-3P ini. Dan setiap kali kita memberi persembahan kepada Tuhan, kita mengingat dalam doa kita:

"Ya Tuhan, uang ini aku persembahkan bukan sebagai upeti untuk mendapat kasih sayangMu, bukan untuk menyogokMu untuk lebih sayang padaku, bukan untuk menutupi rasa bersalahku akibat perbuatan dosa yang aku lakukan, bukan untuk menciptakan 'good feeling' karena aku telah berjasa bagi gerejaMu, bukan untuk jaga image agar lebih kelihatan rohani, dan bukan sekedar rutinitas agama yang kosong. Uang ini aku persembahkan sebagai pernyataan imanku bahwa Engkaulah Allah yang berdaulat yang telah, sedang, dan akan terus menopang hidupku, bahwa hidupku tidak bergantung pada benda mati ini tetapi hanya padaMu. Biarlah melalui persembahanku, hidupku menyatakan dihadapanMu bahwa aku tidak menyembah berhala Mamon, tetapi menyembah Engkau Allah yang hidup."

Teologi Kenikmatan

Saya pernah ditanya: “Bolehkah orang Kristen menikmati pleasure?”

Jawaban Alkitab adalah “Boleh!” Kok bisa?

Karena segala hal yang baik dalam dunia ini diberikan Allah untuk kita nikmati melalui kelima panca indera kita. Kenikmatan telinga mendengar kicauan burung atau Four Season-nya Vivaldi. Kenikmatan mata mengagumi Niagara Falls atau matahari terbenam di Kuta. Kenikmatan lidah bergoyang menyantap sup kaki kambing Pak Kumis. Dan seterusnya…

Namun ada beberapa prinsip dari Blaise Pascal yang perlu kita perhatikan saat orang Kristen bersentuhan dengan pleasure, agar tidak keblinger dan jatuh ke dalam berbagai macam dosa:

1. Kenikmatan itu bukan tujuan akhir, namun sebuah pointer, sebuah petunjuk ke sesuatu yang lebih bermakna, yaitu kepada Allah, Asal dan Sumber kenikmatan tersebut. Blaise Pascal berdoa pada Allah: “Sempurna segala keinginan-keinginan yang baik yang Engkau berikan dalam diriku, ya Allah. Jadilah Akhir dari semua keinginan itu, sama seperti Engkau telah menjadi Awal dari semua itu.”

Jika kita berharap kenikmatan dunia menjadi sumber bahagia kita, yang kita akan jumpai akhirnya hanyalah kekecewaan (yang mungkin didahului oleh addiction terhadap pleasure).

2. Kenikmatan yang menyegarkan hidup kita tanpa menggangu kita, membelokkan kita, dan menjauhkan kita dari Allah, Asal dan Sumber kenikmatan itu, adalah kenikmatan legitimate. Prinsip ini akan menolong Anda dan saya untuk dapat menikmati pleasure dengan penuh rasa syukur kepada Allah. Dan tidak mengejar kebahagiaan dari kenikmatan dunia, karena semua itu hanya turunan dari kenikmatan akan Allah sendiri.

Blaise Pascal pernah menulis: “Jika manusia tidak diciptakan untuk Allah, mengapa dia berbahagia hanya di dalam Allah? Jika manusia diciptakan untuk Allah, mengapa ia melawan Allah?

3. Kenikmatan manusia manusia yang tertinggi ada di dalam Allah. Saya tidak berkata “dari Allah”, tetapi di dalam Allah. Memang kita dapat menikmati segala pemberian Allah dalam dunia ciptaannya. Namun kenikmatan tertinggi ada dalam diri Sang Pemberi. Alkitab begitu realistis mengakui kebutuhan manusia. Alkitab mengajarkan bahwa semua manusia mencari kebahagiaan, tanpa terkecuali. Apapun cara yang mereka pakai, tujuan akhirnya selalu adalah kebahagiaan.

Blaise Pascal berkata, ”Motivasi dari setiap aksi manusia adalah mencari kebahagiaan, bahkan termasuk mereka yang mati menggantung diri”. Itu sebab Alkitab memerintahkan kita untuk mencari kebahagiaan yang sejati dan tertinggi di dalam Allah.

Salah satu ayat Alkitab favorit saya adalah Mazmur 37:4 “Delight yourself in the Lord and he will give you the desires of your heart.” Pertama kali saya membaca ayat itu, saya pikir: Tuhan akan memberi apapun yg saya inginkan. That is sooo cool! Baru kemudian saya mengerti bagian pertama dari ayat tersebut. Bergembiralah karena Tuhan, bukan karena berkat Tuhan. Saat kita sungguh telah dapat menikmati Tuhan, maka segala keinginan hati kita juga pasti telah diubahkan. Saat kita dapat bersukacita di dalam Tuhan sendiri, segala prioritas hidup kita pasti tertata sebagaimana seharusnya. Sampai kita mengerti kebenaran ini, tidak mungkin kita akan mengubah prioritas hidup kita, dan kita hanya memakai Allah menjadi jongos, menjadi pelayan pemuas bahagia yang fana di dunia ini.

Dengan ketiga prinsip diatas, saya siap untuk pergi menikmati working holiday di Grand Hyatt Coolum, Sunshine Coast, 12-15 Juli 2007 (lihat foto di sebelah) sambil mempresentasikan conference paper di International Society for Research on Emotion Conference. Mau ikut?

Panggilan Allah dalam Konteks Zaman

Dari beberapa minggu tema kotbah Nabi Kecil, yaitu Obaja, Yoel, dan Yunus, ada dua pola yang dengan kuat mengemuka:

1. Frase yang bernada sama sebagai berikut: “The word of the Lord that came to Joel”, “The word of the Lord came to Jonah”, dan “The vision of Obadiah, this is what the Sovereign Lord says.” Panggilan Allah datang kepada Obaja, Yoel, dan Yunus dengan jelas. Mereka dipanggil Allah, bukan karena mereka hebat, bahkan dalam kasus Yunus bukan karena ia taat. Panggilan Allah datang karena Ia dalam kedaulatanNya dan anugerahNya berkenan memilih dan memakai kita menggenapi rencanaNya yang sempurna.

2. Panggilan Allah pada Obaja, Yoel, dan Yunus (serta para nabi lainnya) datang di tengah konteks zaman dimana ada sekelompok besar orang yang membenci dan melawan Allah dan umatNya. Ada tantangan zaman yang mendahului panggilan tersebut, ada dosa dan kejahatan yang merajalela seperti wabah. Yang menarik, manusia tidak menganggap semua itu sebagai dosa dan kejahatan. Namun Allah mengganggap itu hal serius, dan Ia membangkitkan para hambaNya untuk mengumandangkan suara kenabian, membawa orang berdosa kembali kepada Allah yang sejati.

Kedua pola diatas tetap berlaku hari ini. Allah yang memanggil Obaja, Yoel, dan Yunus adalah Allah yang sama yang sampai hari ini bekerja di tengah-tengah dunia. Allah yang sama yang membangkitkan para hambaNya di abad ke-21. Tentu panggilan Allah hari ini tidak datang melalui suara dari langit atau lewat mimpi spektakuler, karena sejak Alkitab ditutup dengan kitab Wahyu, maka Allah berbicara kepada kita melalui firmanNya dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia menaruh konfiksi yang kuat dalam hati kita ketika kita mau dengan sungguh dengar-dengaran terhadap firmanNya.

Kita hidup di abad posmodern, dimana semakin banyak orang yang me-reposisi-kan Allah YHWH hanya sebagai satu dari sekian banyak pilihan menu spiritual di kafetaria agama dunia. Kita hidup di zaman dimana dosa semakin ganas namun subtle memasuki lorong-lorong hidup kita, baik itu di area seksual, finansial, emosional, dan lain sebagainya.

Hari-hari ini adalah hari yang jahat, kata rasul Paulus kepada jemaat Efesus. Dan kita harus menebusnya. Kita tidak diminta menebus hari sebab hari-hari kita pendek dan singkat. Tetapi kita menebusnya sebab itu jahat. Artinya, semakin jahat zaman dimana kita hidup, semakin besar kesempatan untuk para pria dan wanita untuk kembali kepada Allah. Namun siapakah yang akan siap diutus oleh Allah? Siapakah yang siap taat terhadap panggilanNya? Saudara siapkah?

Mungkin kita merasa tidak sanggup, tidak berpengalaman, tidak mampu. Tetapi jangan lupa, itu juga yang dialami oleh para hamba Allah dari PL sampai PB. Ketika Yohanes Pembaptis disudutkan oleh massa, “Siapakah engkau, apakah engkau Elia, apakah engkau nabi?”, dia tahu bahwa jawaban terhadap pertanyaan tersebut sering membawa fokus pada diri yang ditanya.

Kalau kita ditanya, kita sering menjawab “Aku adalah si Anu, aku punya jabatan dan pengaruh A dan B, sukses dalam hal C dan D, dst.” Dengan jawaban yang fokus pada diri kita sendiri, tidak heran bila kita akhirnya merasa tidak mampu menjalankan panggilan Allah. Tapi Yohanes Pembaptis menjawab bahwa dia hanyalah sebuah suara. Dia tidak lebih seperti corong. Sebuah alat milik Allah. Fokusnya bukan diri sendiri, tapi pada Allah. Allah Pencipta yang berdaulat yang memanggil, mengutus, dan menyertai hambaNya.

Church Ads











Aug 23, 2007

A Prayer of Consecration

Charles Spurgeon was saved on January 6, 1850.
On February 1 he wrote the following prayer of consecration:
O great and unsearchable God, who knowest my heart, and triest all my ways; with a humble dependence upon the support of Thy Holy Spirit, I yield up myself to Thee; as Thy own reasonable sacrifice, I return to Thee Thine own. I would be for ever, unreservedly, perpetually Thine; whilst I am on earth, I would serve Thee; and may I enjoy Thee and praise Thee for ever! Amen.

Source: Wycliffe Handbook of Preaching & Preachers, W. Wiersbe, p. 235

Aug 22, 2007

Kisah 2 Kerajaan dan 17 Nabi

Lima bulan terakhir ini saya mengkotbahkan Yoel, Obaja, Yunus, Hosea, Amos, dan Habakuk, Maleakhi. Benang merah yang muncul dalam kitab para nabil kecil tersebut adalah bahwa mereka dipanggil untuk menyampaikan isi hati Allah kepada umatNya.

Setelah umat Israel meminta kepada Allah untuk berubah dari teokrasi menjadi monarki, dan meminta seorang raja (1 Samuel 8), Saul lalu diangkat menjadi raja pertama dari Israel. Setelah Saul, kerajaan beralih ke raja Daud, lalu raja Salomo. Selama 120 tahun kerajaan Israel dipimpin oleh ketiga raja tersebut. Setelah itu kejayaannya mulai sirna.

Bangsa Israel memberontak kepada Allah dan hukum-hukumNya. Tadinya Allah akan memusnahkan seluruh bangsa ini, tetapi Ia sendiri ingat dan setia terhadap janjiNya sendiri kepada Abraham. Janji bahwa seorang Mesias muncul dari keturunan raja Daud. Itu sebabnya umat Israel yang tegar tengkuk tetap disebut sebagai umat perjanjian.

Setelah raja Salomo mati, perang saudara (civil war) antar anak-anak Salomo dan para jendralnya tak dapat dihindari. Pertikaian Rehoboam dan Jeroboam, kedua anak Salomo, berakhir dengan pecahnya kerajaan Israel dengan 12 sukunya menjadi dua bagian. Berikut secara singkat, sejarah mereka.

Kerajaan Selatan (Yudea)
- Dipimpin oleh raja pertama, Rehoboam
- Terdiri dari dua suku, Yudea dan Benyamin
- Bertahan selama tahun 300 tahun dibawah 28 raja, 20 diantaranya melawan Allah
- Penyembahan Baal dan dewa-dewa Kanaan lainnya menjadi bagian penting dalam hidup orang Yudea, yang mendatangkan peringatan dan penghukuman Allah, meski ada beberapa reformasi rohani yang terjadi
- Jatuh ke tangan bangsa Babel tahun 586 BC

Kerajaan Utara (Israel)
- Dipimpin oleh raja pertama, Yeroboam
- Terdiri dari 10 suku Israel
- Bertahan selama 210 tahun dibawah 19 raja yang semuanya melawan dan memberontak pada Allah
- Yeroboam memperkenalkan penyembahan berhala yang sangat mengakar pada kehidupan orang Israel
- Raja Ahab lalu memulai penyembahan dewa Baal selama 30 tahun sebelum dihentikan secara tuntas oleh pelayanan nabi Elia dan Elisa.
- Jatuh ke tangan bangsa Asyur tahun 722 BC

Dalam konteks dua kerajaan inilah, Alkitab mensaksikan melalui pelayanan ke-17 nabi dalam Perjanjian Lama bagaimana Allah begitu mengasihi umatNya yang terus memberontak kepada-Nya. Allah dengan terang-terangkan mencurahkan isi hatinya. Bagai seorang ayah yang ditinggalkan oleh anaknya. Bagai seorang suami yang dikhianati oleh kekasih hatinya. Ia sedih, cemburu, kecewa, marah, terluka, meratap. Ia tak henti-henti berharap dan bertindak agar umat perjanjian dan umat tebusannya kembali kepada-Nya. Dari hidup dan pelayanan para nabi inilah, kita menyelami perasaan hati Allah kita.

Filfuf agnostic Rusia Voltaire dengan nada sinis berkata, ‘Bagaimana mungkin Allah yang maha kuasa dan maha kasih dapat bertoleransi terhadap dunia yang kacau balau ini?’

Jawabannya mencuat dengan kuat dalam kitab para nabi. Yaitu bahwa segala macam permasalahan dunia – perang, kelaparan, kejahatan, kemerosotan moral – disebabkan karena manusia meninggalkan Allah. Kedua, bahwa Allah yang setia adalah Allah yang tetap peduli, tetap berespon, tetap bertindak terhadap umatNya yang Ia kasihi, namun dengan cara dan dalam waktu-Nya sendiri.

Bahwa Allah terus memanggil umat-Nya kembali pada-Nya disampaikan paling kuat barangkali dalam hidup dan nubuat nabi Hosea. Demikian curahan isi hati Allah:
"Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? ... Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak" (Hos 11:8)
Puji syukur kepada Tuhan! Kasih setiaNya tetap selamanya.

May 16, 2007

So you want to preach...?

By now, I have been preaching almost every week for more than two years. And the task is not getting easier. Preparing and writing a sermon takes a lot of hard work. I thought I have done reasonably well... until I read this quote from Walter Burghardt:

'It takes me sixty or seventy hours to shape a fifteen-minute homily. But, I assure you, the results outstrip the price;

for your people, time and again fresh insight into the mind of Christ, often a burning yearning to listen to the Lord and say yes;

for yourself, a continuing education, ever-new experience of the risen Christ, constant conversion. Yes, conversion;

for you shall soon discover that in the first instance you are preaching to yourself. The people will listen more eagerly, to the Lord and his preacher, if the preacher has seen the Lord's face.'

Feb 19, 2007

Fighting the good fight

Pressed with many hardships throughout his ministries, the Apostle Paul declared in his very last writing: "I have fought the good fight." This statement always serves as a reminder in my life to live it wisely by choosing which fights in life we want to fight. Note that he did not write "I have fought well." It was not the fighting, but the fight, that was good.

Life offers us many opportunities, and with opportunities, risk, costs, and heartaches. But not every opportunity is our fight. Engaging ourselves in too many fights is a sure way to turn out as a loser in all those fights. We need to discern the fight(s) God want us to fight, and fight them well.

As an academic, that might mean that not every potential research student is worth supervising, not every unit is worth teaching, not every journal article is worth writing. More generally, not every goal is worth pursuing. Not every project is worth considering. Not every ministry is worth doing. Not every activity is worth attending. Not every committee is worth becoming part of. Because if you are pursuing them carelessly, unlike Paul, later in life you will regretfully say: "I have fought so many fights that were simply bad, trivial, and wrong!"

Jan 23, 2007

Life as a Blank Sheet of Paper

One of my favorite writers, A.W. Tozer, once wrote that people who are crucified with Christ have three distinct marks :

1. They are facing only one direction
2. They can never turn back
3. They no longer have plans of their own

Source: Holy Sweat, Tim Hansel, 1987, Word, 187

The last mark strikes a chord within my heart. It says that we need to have a clean slate. No personal ambition, no future plans of our own making. Our new life in Christ is a like a blank sheet of paper. We should be holding out that blank sheet of paper, signing our name at the bottom, then praying: "God, fill it in as You will.”

Consecrate and Concentrate

A young man once heard British evangelist Henry Varley said in his sermon:
The world has yet to see what God will do with and for and through and in and by the man who is fully and wholly consecrated to Him.

The young man was well on his way to pursue the great American dream, but he can't get that sentence off his mind. Instead he thought:

The evangelist did not say a great man, nor a learned man, nor a rich man, nor a wise man, nor an eloquent man, nor a smart man, but simply a man. I am a man, and it lies with the man himself whether he will or will not make that entire and full consecration.

Finally, he knelt down and prayed to his God to take his life and use it as He pleases. He then wrote:

The first thing a man must do if he desires to be used in the Lord’s work is to make an unconditional surrender of himself to God. He must consecrate and then concentrate. A man who does not put his whole life into one channel does not count for much.

God used Dwight L. Moody as a vessle for noble use, leading countless people to know Christ Jesus.

The lesson for us all is summarized in 2 Tim 2:20-21. In the words of John Stott: "If the promise is to be inherited ('he will be a vessel for noble use'), the condition must be fulfilled ('if anyone purifies himself from what is ignoble')."

Leading By Blogging

Yes, blogging will be a key competency for leaders of the future.

Recently I came across a short forethought piece in the Harvard Business Review where a Sun exec, Jonathan Schwartz, wrote that it is very risky for Sun execs not to have a blog. He argued that leaders' blogs potentially boost employees' morale and loyalty, enhance company's image, and attract new talents to join the company (that is, if the contents of the blog are positive).

Schwartz (2005:30) wrote:

In ten years, most of us will communicate directly with customers, employees, and the broader business community through blogs. For executives, having a blog is not going to be a matter of choice, any more than using e-mail is today. If you're not part of the conversation, others will speak on your behalf -- and I'm not talking about your employees.

Blogging lets you participate in communities you want to cultivate -- whether it's your employees, potential employees, customers, or anyone else--and leverage your corporate culture competitively.