Sep 8, 2007

Pernikahan Kristen (4)

“Istri, Tunduklah kepada Suamimu”

Ayat dari 1 Pet 3:1 dan Efesus 5:22, 24 diatas adalah salah satu ayat yang paling tidak disukai oleh banyak orang, khususnya kaum wanita. Ayat tersebut terdengar sangat kuno, usang, antic. “It’s so 19th century!” Dibalik ayat tersebut ada asumsi bahwa meremehkan, mengecilkan, bahkan menekan wanita itu sah-sah saja. Bagaimana kebenaran firman Tuhan yang timeless dan timely ini kita mengerti dengan akurat?

Spesifik
Perintah istri tunduk terhadap suami punya beberapa hal spesifik. Pertama, baik Rasul Paulus maupun Petrus secara unison memberi perintah tersebut di kitab Efesus dan 1 Petrus dalam konteks relasi suami-istri. Kedua, istri harus tunduk pada dan hanya pada suami sendiri (bukan suami orang lain). Ketiga, istri tunduk pada suami bukan hanya dalam hal-hal tertentu, tapi dalam “segala hal” (Ef 5:24). Keempat, konteks di 1 Pet 3 adalah meski suami bukan orang Kristen, tidak mau taat firman, istri tetap harus tunduk pada suami. Jadi bukan tunduk hanya kalau suami saleh, alim, dan simpatik, tapi juga kalau dia menjengkelkan!

Semua ini kedengarannya tidak nyaman di telinga wanita hyper-modern abad ke-21, apalagi bila mengingat realita hari ini wanita mengungguli pria di semua bidang, di rumah dan di kantor! Tapi pernahkah kita berpikir bagaimana perintah tersebut terdengar di telinga wanita abad ke-1? Mengapa Paulus dan Petrus memerintahkan istri untuk tunduk pada suaminya bila by default wanita memang sudah dikondisikan oleh budaya (baik Yahudi dan Yunani) untuk tunduk pada laki-laki?

Alasan
Sekarang kita lihat beberapa alasan mengapa keempat perintah tersebut diberikan. Pertama, menurut Anda, perintah mana yang lebih sulit: Istri tunduk pada suami, atau suami mengasihi istri? Bahwa istri mesti tunduk pada suami, itu sudah biasa (sesuai budaya saat itu), tetapi bahwa suami mesti mengasihi istri seperti dirinya sendiri dan tidak memperlakukannya seperti barang dagangan, itu luar biasa. Paulus dan Petrus mengajarkan bahwa meski para istri telah memperoleh kemerdekaan dalam Kristus, mereka tetap mesti tunduk pada suami. Mengapa?

Karena alasan kedua. Inilah design Allah yang Ia tetapkan sejak Kitab Kejadian, bahkan dalam kekekalan, sehingga jauh melampaui budaya pada waktu itu. Wanita dicipta dari laki-laki dan untuk laki-laki (1 Kor 11:8-9). Dalam kedaulatanNya, Allah mengatur urutan otoritas yang berlaku dalam empat institusi: Negara (pemerintah terhadap warga negara – 1 Pet 2:13-17), perusahaan (employer terhadap employee – 1 Pet 2:18-25:Ef 6:5-9), gereja (penatua terhadap jemaat – Ibr 13:17), dan keluarga (suami terhadap istri dan orang tua terhadap anak – 1 Pet 3:1-6; Ef 5:22-6:1-4). Ketidaktaatan terhadap tatanan ini akan menimbulkan kekacauan: warga negara menolak aturan lalu lintas, pegawai selalu melakukan aksi demo terhadap boss, jemaat marah-marah saat dinasihati penatua, anak berontak terhadap orang tua.

Jika perintah istri tunduk pada suami harus dibuang karena dianggap tidak relevan dengan zaman, bukan tidak mungkin perintah anak tunduk pada orang tua juga perlu dibuang di masa depan karena anak menganggap itu juga tidak lagi relevan! Mari kita ingat bahwa ini bukan masalah relevan atau tidak relevan, tetapi masalah kedaulatan Allah yang Ia atur sesuai dengan kehendakNya yang sempurna.

Sikap
Ada dua sikap yang perlu dimiliki oleh para istri (dan calon istri). Pertama, bagaimana saya dapat menerima dengan sukacita bahwa design Allah adalah yang terbaik bagi kebahagiaan hidup saya sebagai istri? (Ketika design Allah ini dibuang oleh kaum feminis di abad ke-20, tingkat perceraian meningkat tajam). Sikap tunduk pada suami ini hanya mungkin dilakukan oleh para istri yang “menaruh pengharapannyanya kepada Allah” (1 Pet 3:5), sebuah kecantikan batin yang muncul dari pengenalan dan pengakuan yang mendalam tentang hikmat, kebaikan, dan kedaulatan Allah. Inilah yang membuatnya bergantung bukan pada suaminya, atau penampilan fisiknya, atau pada spirit zaman yang berlaku, tetapi pada Allah. Kekuatan ini muncul natural dari relasi dengan Allah melalui doa dan firman, tanpa itu tidak ada istri yang tunduk pada suami dengan sukarela, apalagi sukacita. Jika hari ini begitu banyak istri-istri Kristen yang sulit untuk tunduk pada suami, barangkali ada sesuatu yang salah dalam relasi mereka dengan Allah.

Kedua, sampai batas apa saya harus tunduk pada suami, khususnya bila suami saya tidak serius dalam imannya pada Tuhan? Prinsipnya adalah jika keputusan suami membuat saya melakukan apa yang firman Tuhan larang, atau tidak melakukan apa yang firman Tuhan perintahkan, maka saya sebagai istri bukan hanya dapat menolak keputusan suami tersebut, namun perlu dan harus menolaknya! Jika suami meminta saya untuk menolong dia untuk korupsi uang, atau suami melarang saya beribadah ke gereja, maka saya harus lebih tunduk pada Allah ketimbang manusia. Di luar itu, Paulus memerintahkan istri untuk tunduk dalam segala hal. Jika ada sebuah keputusan yang setelah lama dibicarakan dan digumulkan dalam doa bersama selama berbulan-bulan antar suami dan istri (dan jelas tidak melanggar firman Tuhan) namun tidak bisa disetujui, istri perlu belajar utk mendukung dan mengkonfirmasi suami sebagai kepala keluarga, taat sebagaimana gereja taat terhadap Kristus.

Inilah rahasia kebahagiaan keluarga yang Allah beberkan kepada manusia ciptaanNya. Suami mengasihi istrinya dengan kasih yang berkorban dan sebagaimana ia mengasihi tubuhnya sendiri, seperti Kristus yang meletakkan nyawaNya bagi gerejaNya. Istri tunduk pada suaminya dalam segala hal dengan sukacita karena ia rindu menyenangkan Allah dan berharap hanya kepadaNya, seperti gereja tunduk kepada Kristus. Dan mendasari kedua perintah tersebut adalah sikap saling menghormati keunikan peran masing-masing, kerendahan hati untuk menerima satu dengan yang lain, kerelaan untuk saling melayani, semuanya karena Kristus. Inilah resep keharmonisan rumah tangga yang dicari-cari orang dunia!

Sep 7, 2007

Why Praising Your Kids is Bad

Occasionally a great article on parenting appears in the media. This one from New York Times magazine, I think, is a must-read for all parents out there:
How Not to Talk to Your Kids: The Inverse Power of Praise
By Po Bronson
http://nymag.com/news/features/27840/

It is a summary in lay terms of studies conducted by renown psychologist Carol Dweck on fifth-graders. Her findings apply to both girls and boys irrespective of their socioeconomic classes. These are a few points that I highlighted from the article (though I encourage you to read the full article yourself):

"When we praise children for their intelligence, we tell them that this is the name of the game: Look smart, don’t risk making mistakes.” And that’s what the fifth-graders had done: They’d chosen to look smart and avoid the risk of being embarrassed."

Parents tend to think that building their kids' self-esteem is very important for their future success in this hyper-competitive world. But meta-analysis on studies on self-esteem show that "having high self-esteem didn’t improve grades or career achievement.It didn’t even reduce alcohol usage. And it especially did not lower violence of any sort. (Highly aggressive, violent people happen to think very highly of themselves, debunking the theory that people are aggressive to make up for low self-esteem.)"

"The continued appeal of self-esteem is largely tied to parents’ pride in their children’s achievements: It’s so strong that “when they praise their kids, it’s not that far from praising themselves.”"

To be effective, researchers have found, praise needs to be:
- specific and process-focused (After soccer games, I praised him for looking to pass, rather than just saying, “You played great.”)
- sincere (Once children hear praise they interpret as meritless, they discount not just the insincere praise, but sincere praise as well.)

A Very Moving Skit from Lifehouse

Sep 3, 2007

Pernikahan Kristen (3)

“Suami, Kasihilah Istrimu”

Bagaimana kita mengerti peran suami terhadap istri dalam pernikahan Kristen?

Bila pernikahan Kristen adalah sebuah drama hidup yang melukiskan relasi Kristus terhadap gerejaNya, maka peran suami terhadap istri seharusnya adalah fotocopy dari peran Kristus terhadap gerejaNya. Demikian juga peran istri terhadap suami juga mestinya fotocopy dari peran gereja terhadap Kristus. Inilah misteri terbesar dalam pernikahan Kristen.

Dari Efesus 5:21-33, ada beberapa hal yang kita bisa pelajari tentang peran suami, dari kacamata paradigma Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan.

1. Penciptaan.

Alkitab jelas mengajarkan bahwa suami adalah kepala dan istri adalah tubuh. Dan memerintahkan agar suami mengasihi istri dan istri tunduk kepada suami dalam segala hal (Ef 5:23-25). Hal ini ditulis bukan karena Paulus seorang chauvinist yang selalu memandang rendah wanita, bukan juga karena budaya Yahudi atau Yunani pada waktu itu yang juga menganggap wanita hanya sebagai ‘aset’.

Kita tahu hal itu karena Paulus mendasarkan tulisannya bukan pada pendapat pribadinya atau budaya saat itu, tetapi pada penciptaan (Ef 5:31; 1 Kor 11:7-12; 1 Tim 2:13). Ketika Yesus ditanya orang Farisi tentang perceraian, Yesus juga mengembalikan konsep pernikahan kepada penciptaan (Markus 10:6-8). Intinya, bahwa suami adalah kepala atas istri dan keluarganya adalah design Allah dari sejak awal.

Status dan harga diri pria dan wanita sama dimata Allah. Yang berbeda adalah peran dan tanggung jawab suami dan istri. Jika kita mengakui bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang diinspirasikan olehNya, kita percaya bahwa design Allah ini adalah yang terbaik bagi kebahagiaan hidup manusia. Dan betapa banyak kasus-kasus riil yang merujuk kepada realita bahwa Allah menciptakan dalam diri wanita sebuah kerinduan batin yang terdalam berharap suami menjadi pemimpinnya seperti Kristus yang berkorban sampai titik akhir mengasihi gerejaNya. Tidak ada wanita yang menolak suami yang sedemikian.

2. Kejatuhan.

Design Allah tersebut telah dirusak oleh dosa.

Suami yang semestinya mengasihi istrinya dengan kasih yang berkorban berubah menjadi salah satu dari jenis berikut:
(a) suami otoriter yang abusive atau
(b) suami yang tidak peduli dengan istri dan keluarganya.

Istri yang semestinya tunduk pada suaminya dengan sukacita dan sukarela berubah
(a) merasa tidak butuh suami dan mendominasi suaminya atau
(b) tunduk karena ada maunya, ada niat hati yang manipulatif.

Karena dosa, muncullah gerakan feminisme (women’s liberation), yaitu protes terhadap suami/pria yang mengecilkan status istri/wanita. Perjuangan menghapus berbagai perlakukan ekstrim yang dialami oleh wanita di berbagai belahan dunia seharusnya perlu didukung oleh gereja. Namun kesalahan kaum feminis adalah saat mereka berjuang melawan kesewenang-wenangan pria, mereka bukan saja menggeser pria tetapi juga mengambil tempat pria sebagai kepala. Inilah akibat dosa yang membuat design Allah terbolak-balik.

3. Penebusan.

Penebusan Kristus di atas kayu salib menjadi titik balik yang mengembalikan peran suami dan istri sebagaimana mestinya sesuai design Allah. Seperti Kristus, suami mengasihi istrinya dan menyerahkan diri baginya, memimpinnya untuk hidup kudus dan tak bercela, mengasuh dan merawatnya seperti tubuhnya sendiri (Ef 5:25-29).

Konkritnya suami perlu menjadi pemimpin dalam area spiritual dan fisikal. Suami memiliki tanggung jawab utama (meski bukan satu-satunya) membawa istri dan anak-anaknya hidup bergaul dengan Tuhan dalam firman dan doa. Suami tidak bisa cari alasan dan berkata pada istrinya, “Gini deh, gua yang bagian cari duit, yang realistis, lu yang urus soal rohani-rohani, yang idealis.”

Suami juga bertanggung jawab memberikan perlindungan rohani bagi istri dan anaknya dengan berdoa senantiasa bagi mereka tanpa putus, agar mereka terjaga dari segala tipu daya Iblis, dunia, dan diri mereka sendiri. Salah satu implikasi konkrit adalah suami perlu berinisiatif untuk melakukan rekonsiliasi setiap kali ada konflik antar dia dan istrinya, atau dia dan anak-anaknya, meski yang salah bukan sang suami (Ef 4:26-27). Karena seperti Kristus yang terus-menerus berinisiatif mencari dan berdamai dengan gerejaNya, demikian suami berinisiatif untuk rekonsiliasi.

Dalam area fisikal, suami memiliki tanggung jawab utama (tapi bukan satu-satunya) untuk bekerja mencukupkan kebutuhan keluarganya. Tentu tidak salah bila baik suami maupun istri dua-duanya bekerja. Namun bila istri kerja sementara suami tidak (karena penyakit atau studi atau lain hal), ada sebuah bagian penting dalam diri pria yang hilang dan berakibat fatal bagi persepsinya dan persepsi orang lain terhadap dirinya. Ada sesuatu yang tidak selaras dengan design Allah bila pria tidak bekerja.

Suami juga berperan menjaga istri dan anak-anaknya dari berbagai bahaya-bahaya fisik, itu sudah jelas. Dia harus berada di garis paling depan, siap mengorbankan nyawanya demi istrinya. Bukan karena romantis, tetapi karena Kristus meneladankan hal tersebut saat Ia berkorban bagi gerejaNya.

Dalam kasus-kasus penyelewengan istri yang melibatkan PIL (Pria Idaman Lain), ketika ditanya apa yang menyebabkan si istri tertarik pada pria lain, jawaban yang paling sering muncul adalah “Dia membuat aku merasa seperti wanita lagi, dikasihi, diperhatikan, dan dilindungi.” Komentar seperti ini menyedihkan, dan tidak perlu terjadi apabila setiap suami menjalankan perannya seperti Kristus.

Pernikahan Kristen (2)

“Telanjang, tetapi tidak Malu”

Dalam drama penciptaan dunia, semua hal yang Allah ciptakan Ia nyatakan sebagai baik adanya. Namun ketika Ia menciptakan manusia pertama, Allah menyatakannya sebagai amat baik (Kej 1:31). Yang menarik adalah dalam proses tersebut yang semuanya baik dan amat baik tersebut, Allah lalu menyatakan bahwa ada satu hal yang tidak baik, yaitu masalah kesepian yang dialami Adam.

Maka dengan kepedulian dan rasa humor, Allah berinisiatif mengadakan sebuah acara khusus "Adam Berburu Pasangan Sepadan." Dalam acara itu, Ia memerintahkan semua binatang untuk berbaris rapi dalam sebuah parade untuk memperagakan kecantikan mereka masing-masing. Namun setelah merak, kangguru, sampai gorilla jungkir-balik mencoba mencuri hati pria idaman tersebut, Adam menemukan bahwa tak satupun dari kecantikan mereka yang menarik hati Adam.

Singkat cerita, Allah intervensi dan membuat Hawa dari rusuk Adam. DisuruhNya Adam tidur ketika semua itu terjadi (total anesthetic pertama kali di dunia!). Perhatikan bagaimana Allah bukan saja kemudian mencipta Hawa dari tulang rusuk Adam, tetapi membawa Hawa kepada Adam. Allah tidak berbeda dengan seorang Father of the Bride yang berjalan menyisir aisle gereja membawa putrinya kepada sang calon suami.

Sungguh Allah kita seorang Wedding Planner yang Agung. Kedua mempelai dinyatakan oleh Alkitab dalam keadaan telanjang, namun tidak merasa malu (Kej 2:25).

Kenapa tidak malu? Dalam pertanyaan inilah terkandung arti penikahan Kristen yang kita coba lihat dari kacamata paradigma Penciptaan (Creation), Kejatuhan (Fall), dan Penebusan (Redemption):

1. Penciptaan.

Dalam taman Eden sebelum dosa ada, mereka tidak malu meski telanjang. Karena Adam dan Hawa memiliki tubuh yang sempurna tanpa harus mengikuti Dr Atkins’ Diet atau mendaftar sebagai anggota gym/fitness centre. Allah menciptakan keindahan tubuh mereka tanpa cacat samasekali, sehingga mereka tidak perlu malu karena tidak ada hal apapun yang dapat membuat mereka malu.

Tetapi hal tersebut bukan alasan utama. Karena perasaan tidak malu di ayat 25, didahului oleh pernytaan “keduanya menjadi satu daging” di ayat 24. Artinya suami dan istri menikah bukanlah sebuah eksperimen, dan pernikahan bukan tentang sebuah status saling mencintai. Pernikahan Kristen adalah sebuah perjanjian (covenant) yang dipegang seumur hidup oleh seorang pria dan wanita di hadapan Allah. Karena kasih perjanjian ini, mereka tidak malu dalam hal apapun terhadap satu sama lain. Bukan saja dalam hal seksual, tetapi juga emosional, intelektual, relasional, dsb. Saat seorang pria dan wanita menjadi satu daging dalam institusi pernikahan, maka tidak perlu ada rasa malu. Implikasinya penting sekali bagi suami-istri.

Hari ini suami dan istri tanpa malu dapat curhat mengutarakan kelemahan, mengakui kesalahan, dan menyatakan ketakutan dan harapan mereka masing-masing tanpa merasa malu.
“Saya tidak malu bukan karena saya dicipta sempurna maka tidak perlu takut dicemooh atau ditolak olehmu. Saya tidak malu karena meski saya tidak sempurna, saya tahu kita saling mengasihi dengan kasih perjanjian yg kita buat dihadapan Allah.”

2. Kejatuhan.

Segera setelah suami-istri pertama tersebut jatuh dalam dosa, mendadak mereka sadar akan sesuatu: Mereka sedang dalam kondisi telanjang!

Menarik mengamati bahwa konsekuensi pertama dari dosa adalah timbulnya rasa malu (shame) dan rasa bersalah (guilt). Buru-buru mereka mencari daun-daunan dan mencoba bersembunyi dari Allah. Apa yang sebenarnya terjadi?

Fondasi kasih perjanjian itu runtuh. Rasa percaya antar suami-istri dan rasa aman tersebut itu rontok. Mereka merasa exposed, merasa vulnerable baik secara fisik maupun emosional. Saling curiga menyusup masuk dalam pernikahan. Adam berpikir, “Mana mungkin aku bisa percaya lagi pada istriku yang telah mempedaya aku makan buah terlarang itu?” Hawa juga tidak kalah sibuk berpretensi “Suamiku bisanya menyalahkan aku, tidak bakal deh aku percaya lagi sama dia. Aku urus diri sendiri saja!”

Demikianlah sejak saat itu sampai hari ini, keterbukaan dan transparansi hilang dan diganti dengan kecurigaan dan kepentingan diri. Untuk dapat telanjang secara batin terlalu menakutkan, karena akan ada penilaian dan kecaman yang akan memalukan dari sang suami atau istri.

3. Penebusan.

Allah tahu bahwa solusi manusia terhadap dosa akan gagal total. Upaya Adam dan Hawa menutupi keterlanjangan mereka dengan daun tidak akan cukup. Maka kita melihat dalam kitab Kejadian Allah yang penuh belas kasih memberi mereka pakaian dari kulit binatang.

Kulit binatang tersebut adalah sebuah simbol, sebuah statement, sebuah kesaksian bahwa Allah akan membuat segalanya kembali seperti sebagaimana mestinya. Kulit binatang itu melambangkan Anak Domba Allah yang tersembelih untuk menutupi dosa manusia, sehingga kita dimampukan memiliki jubah kebenaran, yaitu Kristus sendiri. Kita mengenakan Kristus, tulis Paulus kepada jemaat Galatia. Kematian Kristus di atas salib bagi gerejaNya menjadi titik balik yang mengembalikan pernikahan Kristen sebagaimana design Allah di awal.

Itu sebab dalam Kej 4:1, kita menyaksikan bagaimana pernikahan dikembalikan oleh Allah kepada status semula. Alkitab Inggris versi KJV menulis sbb: “Adam knew his wife, and she conceived.” Kata “knew” yang dipakai disana untuk melukiskan hubungan seksual memberitahu kita bahwa pengenalan yang paling transparan dan intim itu dapat terjadi dalam (dan hanya dalam) institusi pernikahan antar suami dan istri (bukan suami atau istri orang lain). To be known and still be loved is the supreme goal of marriage. Kita menyatakan segala sesuatu pada diri kita pada suami/istri kita, dan tetap dicintai. Inilah pemulihan Allah pada pernikahan Kristen.