Dec 16, 2007

The School of Christ: The Prerequisite

Minggu lalu firman Tuhan dalam Ef 4:17-21 mengingatkan kita bahwa tanpa Kristus, kita adalah manusia celaka. Diluar Kristus, setiap manusia secara natural berhadapan dengan masalah yang telah mendarah daging dalam dirinya, yaitu hati yang bebal. Yang kebal. Mati rasa, tanpa sensitivitas terhadap perbuatan dosa, sehingga berbuat dosa bagi kita adalah sesuatu yang sangat normal seperti gosok gigi dua kali sehari. Kita begitu menikmati dosa, terikat pada dosa, diperhamba oleh dosa, sehingga pikiran kita menjadi sia-sia, pengertian kita menjadi gelap, pikiran kita menjadi tumpul. Begitu bobrok moralitas manusia diluar Kristus sehingga hati nurani kita mennjadi bisu. Secara moral, kita menjadi orang tuli, orang budeg yang tidak mampu dan tidak akan pernah mampu mendengar suara Tuhan. Hasilnya apa? kita semakin dalam tenggelam masuk ke pusaran kesia-siaan hidup yang ujungnya tidak lain adalah api neraka.

Namun puji Tuhan. Ia mencurahkan anugerahNya dalam Kristus. Yesus berkata, “Sesungguhnya saatnya akan tiba dan sudah tiba, bahwa orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah, dan mereka yang mendengarnya, akan hidup” (Yoh 5:25). Saudara, anugerah Allah ini seperti sinar yang menerobos hati kita yang keras, gelap, dan dingin. “Ia juga yang membuat terangNya bercahaya di dalam hati kita” (2 Kor 4:6). Itu sebab Paulus menulis dalam Ef 4:17: “Jangan lagi hidup sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah.” Mengapa?

Ayat 20 dan 21 mencatat “Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus.” Apa yang Paulus katakan? Kita sekarang telah masuk dalam proses belajar dalam sekolah Kristus. Hari ini kita akan melihat dua hal yang kita perlu ketahui untuk belajar dalam sekolah Kristus tersebut. Yang pertama, prerequisite atau prasyaratnya. Kedua, kurikulumnya.

Saudara, ayat 22-24 dalam Efesus 4 ini berlaku bagi orang Kristen. Untuk dapat masuk ke sekolah Kristus, belajar tentang Kristus, syaratnya bukan angka rapormu mesti bagus. Rapor perbuatan baik, rapor moralitas, rapor keanggotaan gereja tertentu, rapor tingkah laku agama, semua itu tidak akan membuat kita belajar tentang Kristus.

Anda dan saya tidak akan masuk ke sekolah Kristus kalau bukan Allah yang beranugerah memilih kita. Anda dan saya baru dapat mendaftar di sekolah Kristus apabila kita telah dengar-dengaran terhadap suara Kristus Yesus yang membangkitkan kita dari kematian rohani. Itu sebabnya Yesus berkata, “Barangsiapa mempunya telinga untuk mendengar, hendaklah Ia mendengar” Baru setelah itu kita bisa mengikuti program sekolah Kristus yang akan makan waktu seumur hidup.

Dec 13, 2007

Lari kepada TUHAN !

“Nama Tuhan adalah menara yang kuat. Kesanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat” (Amsal 18:10)

Beda orang Yahudi dengan orang Indonesia adalah orang Yahudi pada umumnya memiliki nama yang sangat penuh makna, misalnya Daniel (Allah adalah hakimku), Yeremia (Allah akan meninggikan), sementara banyak orang Indonesia memiliki nama tanpa makna yang mendalam, misalnya Budi, Iwan, Wati (maaf deh kalau ada yang namanya Budi, Iwan, Wati. Bahkan nama saya sendiri tidak ada artinya kok).

Bagi orang Yahudi nama mencerminkan karakter orang tersebut. Itu sebab Allah juga memperkenalkan diri kepada umat Israel secara progresif dengan berbagai nama dalam Perjanjian Lama. Dalam ayat diatas, pengamsal menulis bahwa nama-nama Tuhan tersebut adalah menara yang kuat. Di zaman dahulu, menara dibangun sebagai benteng pertahanan kota. Ketika musuh menyerang, maka penduduk serta-merta berlari menyelamatkan diri mereka ke menara tersebut untuk berlindung. Kota yang tidak memiliki menara mudah sekali diduduki musuh, karena dari menara itulah semua strategi bertahan dan menyerang diluncurkan.

Bagaimana orang benar berlari kepada menara tersebut? Orang benar dalam ayat diatas bukan hanya berarti orang yang telah dibenarkan oleh Allah dalam Kristus Yesus, tapi orang yang terus menerus hidup benar di hadapan Allah. Saat badai kehidupan menerpa orang tersebut, ia melepaskan segala sesuatunya dan berlari kepada Allah dalam doa dan iman.

Hasilnya? Ia menjadi selamat! Selamat disini berarti bukan berarti masalah hidup menjadi hilang, dan semuanya kembali lancar. Tetapi selamat disini berarti mendapat perspektif dan pengharapan yang baru. Kita dimampukan untuk menghadapi masalah tersebut karena Allah dan bersama dengan Allah.

Itulah sebabnya kita perlu mengenali Allah kita, yang memperkenalkan dirinya kepada umat Israel dengan beberapa nama sebagai berikut:

1. JEHOVAH-JIREH: "The Lord will Provide." Gen. 22:14.
2. JEHOVAH-ROPHE: "The Lord Who Heals" Ex. 15:22-26.
3. JEHOVAH-NISSI: "The Lord Our Banner" Ex. 17:15.
4. JEHOVAH-M'KADDESH: "The Lord Who Sanctifies" Lev. 20:8.
5. JEHOVAH-SHALOM: "The Lord Our Peace" Judges 6:24.
6. JEHOVAH-TSIDKENU: “The Lord Our Righteousness” Jeremiah 23:6
7. JEHOVAH-ROHI: “The Lord is my shepherd” Psalm 23:1

Jika kita melihat setiap nama diatas dalam konteks ayat dimana nama tersebut muncul, kita akan melihat bahwa Allah memperkenalkan diriNya dalam konteks yang tepat. Misal, Jehovah-Jireh muncul dalam konteks dimana Abraham diperintahkan Allah untuk mempersembahkan Ishak anak kesayangannya. Ketika Abraham dengan ketaatannya yang luar biasa hendak melaksanakan perintah Allah yang tidak masuk akal sehat itu, malaikat Tuhan menghentikannya. Lalu tiba-tiba muncullah seekor domba jantan untuk menggantikan Ishak sebagai korban bakaran. Dari sana Abraham mengerti sebuah pelajaran yang hari ini kita harus ingat tentang Allah kita, yaitu pada waktu kita taat pada Allah meski kita tidak yakin bagaimana kebutuhan hidup kita akan tercukupi, ingatlah bahwa Allah akan menyediakan.

Itu sebabnya pengamsal menulis orang benar berlari kepada Allah yang sedemikian. Menarik diayat selanjutnya pengamsal menulis ‘Kota yang kuat bagi orang kaya adalah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya’ (Amsal 18:11). Betapa kontras!

Yang satu menara, dan yang lain kota. Yang satu nama Allah, dan yang lain harta benda. Yang satu adalah kepastian mendapat selamat, dan yang lain hanyalah menurut anggapannya. Orang benar berlari kepada benteng pertahanan yang terbukti kokoh yaitu Allah YHWH. Orang fasik berlari kepada tempat berlindung yang dia pikir dapat diandalkan yaitu kekayaannya.

Hari ini kemana kita berlari saat bermasalah? Kepada rekening bank kita, deposito, super-annution kita, atau kepada Allah? Kapan kita terakhir datang kepada Allah dalam doa-doa kita dan beroleh perspektif baru melihat masalah & kekuatan baru untuk melewatinya?

Persoalan kita: kita hanya tahu siapa Allah kita sebatas teori, sebatas pengetahuan otak. Rasul Paulus menulis pada Timotius ‘Aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakanNya kepadaku hingga pada hari Tuhan’ (2 Tim 1:12). Dia bukan hanya tahu Allah, tapi dia yakin akan Allah. Yang pertama dia memahami siapa Allah, yang kedua siapa Allah menguasai dirinya. Itu sebab ia berani menderita sebagai rasul dan tidak malu atas penderitannya.

Menjelang akhir tahun 2007 dan memasuki tahun 2008 ini, mari kita berdoa agar Allah memberi kita pengalaman2x yg mungkin tidak enak agar kita paham bahwa ‘Umat yg mengenal Allahnya akan tetap kuat & akan bertindak’ (Dan 11:32b).

Incarnation

The Maker of man became man

that He, Ruler of the stars,
might be nourished at the breast;

that He, the Bread,
might be hungry;

that He, the Fountain,
might thirst;

that He, the Light,
might sleep;

that He, the Way,
might be wearied by the journey;

that He, the Truth,
might be accused by false witnesses;

that He, the Judge of the living and the dead,
might be brought to trial by a mortal judge;

that He, Justice,
might be condemned by the unjust;

that He, Discipline,
might be scourged with whips;

that He, the Foundation,
might be suspended upon a cross;

that Courage might be weakened;

that Security might be wounded;

that Life might die

~ St. Augustine, Sermons on the Liturgical Seasons, Trans. Sister Mary Sarah Muldowney, R.S.M., Vol. 38 in The Fathers of the Church, ed. Roy Joseph Deferrari (New York: Fathers of the Church, Inc.), p. 28.

Sleeping with a Mosquito

If you think something small cannot make a difference,
try going to sleep with a mosquito in the room.
~anon