Sep 17, 2006

Hati-hati Pencopet Hati !

Anda tentu pernah mendengar atau membaca peringatan ini di airport:
Any piece of luggage found to be unattended will be confiscated and subject to search by the Airport Authority!

Bayangkan kalau ada peringatan serupa dari surga setiap minggu sekali:
Any piece of heart found to be unattended will be confiscated by Satan and subject to search by the Heavenly Authority!

Mungkin Anda akan kaget dan loncat dari kursi Anda.

Cara paling mudah mengetahui letak hati Anda adalah melihat diary dan bank statement Anda. Bagaimana Anda memakai waktu dan uang Anda.

Hitung waktu yang Anda habiskan di tempat kerja, di meja belajar, di depan cermin, dengan keluarga/pacar, untuk rekreasi, untuk olah raga, untuk melayani, dst. Kalkulasi berapa uang yang Anda pakai untuk kebutuhan sehari-hari, entertainment, pengembangan diri, pekerjaan Tuhan, dst. Semua hal ini adalah ukuran yang jujur tentang komitmen hati Anda.

Seorang rekan kerja saya di sebuah perusahaan swasta tempat saya pernah bekerja suatu hari mengajak saya naik mobilnya berkeliling melihat rumah-rumah mewah di daerah elit di Surabaya. Saya tanya ke dia: “Kita lagi ngapain sih?” Jawabnya, “Setiap kali aku merasa down, rumah-rumah mewah ini memompa semangatku lagi untuk bekerja keras demi sukses!”

Apa yang memompa semangat Anda dalam 6 bulan terakhir ini kemungkinan besar menjadi indikator dimana Anda meletakkan hati Anda dalam kehidupan ini. Mungkin bukan rumah mewah. Tapi barangkali karir dan promosi jabatan, relasi dengan pacar, ingin diterima & dihormati orang lain, atau self-entertainment.

Atau Anda menjawab: Tidak ada yang memompa. Entah hati saya ada dimana. Pokoknya jalani rutinitas saja tiap hari. Kosong. Entahlah ...

Rasul Paulus menasihati orang Kristen Efesus: “Perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup.” Lalu dia memberi kontras antara orang yang bijak dan orang yang bodoh. Bedanya sederhana: Yang bijak mengerti kehendak Tuhan. Dan yang bodoh...kehendaknya sendiri.

Orang bijak mempergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Mengapa? Bukan karena waktu itu singkat, tapi karena jahat. Jahat, karena kita hidup di zaman dimana manusia mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang (2 Tim 3:2). Dalam konteks tersebut, betapa mudah bagi kita untuk perlahan menggeser hati kita dari Allah ke diri kita sendiri: I, ME, MINE, MYSELF.

Dan yang mendominasi frekuensi gelombang hati adalah suara si jahat: Everyone does this! No one will know! You deserve this! Saat ’selfish gene’ kita kembali bertahta dalam hati, pintu untuk dosa menyelinap masuk terbuka lebar, dan dengan mudah ia tampil dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan kita. Aneh memang. Ketika orang lain berdosa, kita kaget, namun ketika kita sendiri yang melakukan dosa tersebut, rasanya itu sangat natural.

Pemikir Rusia Alexander Solzhenitsyn menulis:
If only there were evil people somewhere insidiously committing evil deeds, and it were necessary only to separate them from the rest of us and destroy them . But the line dividing good and evil cuts through the heart of every human being. And who is willing to destroy a piece of his own heart?

Itu sebab Pengamsal mengingatkan kita “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Tahun 2006 akan segera berlalu, mungkin kita perlu memeriksa apakah hati kita masih ada di tempat yang seharusnya. Awas Copet!

Nurani yang Bisu

Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia (Kisah 24:16)

Dalam program rehabilitasi 12-langkah Alcoholics Anonymous, salah satu langkah tersulit yang harus dijalani oleh pecandu alkohol adalah mengakui pengalaman ketidakberdayaan mereka terhadap alkohol di depan sesama pecandu lainnya. Asumsi di belakang langkah tersebut, adalah sbb: “You are as sick as your sickest secret, and you will remain sick as long as it remains secret.”

Menutupi rahasia diri adalah upaya sadar membungkam hati nurani didalam yang berteriak keras memprotes kelihaian kita menipu orang lain, diri kita sendiri, dan Allah. Jika kita rajin membungkam nurani kita, lama-lama ia menjadi bisu.

Apa itu hati nurani? Oswald Sanders mendefinisikannya sbb:
“Conscience is that faculty within me that attaches itself to the highest standard I know, and then continually reminds me of what that standard demands that I do.”
Nurani kita menjadi jendela jiwa kita yang melihat kepada Allah atau kepada sesuatu yang kita anggap memiliki standar tertinggi. Yang penting untuk kita mengerti adalah bahwa nurani kita selalu menuntut kita untuk melakukan apa yang benar yang semestinya kita lakukan, namun ia tidak dapat menentukan sendiri apakah sesuatu tersebut benar atau salah. Itu sebab mengapa setiap orang memiliki nurani yang berbeda, tergantung dari apa yang menjadi standar hidupnya.

Jika kita terbiasa memegang teguh standar Allah yang Ia nyatakan dalam firmanNya, maka nurani kita akan senantiasa menuntut kita untuk hidup sesuai dengan hukum Allah yang sempurna itu. Semakin kita hidup bertaut dengan firmanNya, semakin nurani kita merefleksikan standar Allah.

Pertanyaannya, maukah kita mentaatinya? Karena ketaatan adalah satu-satunya cara untuk kita dapat membedakan “manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).

Ketika Raja Daud mulai bermain-main dengan hawa nafsu seks-nya dan berakhir dengan perzinahan dan pembunuhan, ia sadar bahwa dosanya yang begitu tragis itu pada dasarnya adalah relasi yang rusak dengan Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa.” (Mzm 51:6).

Meski ia raja yang berkuasa saat itu, hal memalukan tersebut dia akui dalam dokumen publik (Mazmur 51) yang tentu menjadi konsumsi massa, dan aib nasional. Namun bagi Daud, memperbaiki relasi dengan Tuhannya jauh lebih penting dan serius ketimbang menjaga reputasinya sebagai seorang pemimpin nasional.

Anda dan saya perlu jujur bertanya kepada diri sendiri apakah kita sudah hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. Bagaimana mungkin dalam pelayanan kita dapat menyatakan kebenaran Allah kepada nurani manusia (2 Kor 4:2) sementara kita sedang membungkam nurani kita sendiri?

Karena kemurnian hati nurani adalah prasyarat pelayanan rohani. Nabi Yeremia mengingatkan kita “betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu” (Yer 17:9). Saat kita ceroboh dengan nurani kita, menikmati berbagai dosa tanpa mau bertobat, kita sedang hidup dengan berbagai topeng dan kosmetik yang memberi perlindungan semu.

Orang lain melihat kita suci, namun kita sendiri tahu betapa bejat-nya kita. Dan Tuhan tahu itu. Itu sebab kita perlu akhiri sandiwara dan tanggalkan topeng, lalu kembali pada Tuhan memohon belas kasihNya.

Rendah Hati karena Berarti

Tanggal 12-16 Agustus lalu, saya menghadiri Academy of Management 2006 Conference di Atlanta. Konven manajemen tahunan yang terbesar di dunia ini dihadiri oleh lebih dari 6,000 peserta dari 73 negara. Mereka mem-presentasikan 4,677 makalah akademis dalam 1,329 sesi yang berbeda!

Setiap sesi berlangsung sekitar 90 menit, dimana empat makalah dipresentasikan masing-masing selama 15 menit dan sisanya untuk tanya jawab. Bahkan semua hotel di sekitar CBD dan seluruh persediaan data projector di seluruh kota ludes dimonopoli oleh para peserta konven.

Yang menarik, 4,677 makalah yang dipresentasikan di konven tersebut adalah makalah-makalah yang lolos seleksi dengan sangat ketat. Bagaimana tidak ketat, kalau acceptance rate-nya hanya 30%? Berarti ada sekitar 9,000 makalah lebih yang tidak lolos seleksi.

Tidak heran kalau konven ini dihadiri oleh the gurus di berbagai bidang manajemen seperti Peter Senge (org. learning), Bernard Bass (leadership), Geeft Hofstede (national culture), Denise Rousseau (psych. contract), Linda Trevino (business ethics), dan berbagai pakar lain. Mendengar, bertemu, dan berinteraksi dengan mereka dalam acara tersebut sungguh suatu kebanggaan tersendiri.

Giliran saya presentasi adalah Selasa sore (setelah menunggu 2 tahun makalah saya ditolak berturut-turut di konven ini!). Celakanya, sesi saya dihadiri oleh nama-nama besar yang karyanya menjadi bacaan wajib saya semasa kuliah dan riset doktoral: Avolio, Mumford, Gardner, dan beberapa nama lain. Lima belas menit presentasi di depan mereka bagi saya seperti main basket dengan Michael Jordan dan Shaq O’Neal atau menyanyi dinilai oleh Pavarotti dan Celine Dion. Saya sempat minta kalau bisa Tuhan membuat saya super-hebat waktu itu atau membuat mereka super-bloon, karena lutut ini tiba-tiba lemas rasanya.

Dari semua proses diatas, saya belajar betapa berharganya apa yang disebut dengan proses peer-review. Sesuatu yang sangat jarang ditemui di Indonesia. Kita sering merasa lebih hebat (lebih bergelar, lebih pengalaman, lebih terampil, lebih sukses, dll) ketimbang orang lain. Masalahnya, siapa yang kita jadikan acuan untuk membentuk konsep diri yang ‘wah’ tersebut? Dibandingkan dengan orang lain yang ada dibawah kita dari sisi pengalaman, gelar, pengetahuan, posisi, informasi, akses, dan seterusnya, tentu saja kita lebih hebat.

Guru dibanding murid tentu lebih hebat guru karena murid belum selesai sekolah.

Orang tua tentu lebih hebat dari anak karena orang tua pernah jadi anak, sedang anak tidak pernah jadi orang tua.

Dokter lebih hebat dari pasien karena pasien tidak pernah jadi mahasiswa kedokteran.

Pendeta lebih hebat dari jemaat karena jemaat tidak pernah seminari teologi.

Tidak jarang guru, dokter, ortu, dan pendeta suka petantang petenteng di depan para ‘pengikut’ mereka yang polos dan lugu tersebut. Tapi coba guru diatas dinilai oleh sesama guru lainnya di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, dan internasional? Demikian juga orang tua, dokter, dan pendeta tersebut diuji oleh para kolega mereka di level internasional di bidang yang sama? Apa mereka masih hebat?

Sayang pasien tak pernah ke konven dokter, jemaat ogah ke konven pendeta, dan seterusnya.

Yesus dimusuhi oleh para ahli Taurat dan orang Farisi antara lain karena Ia menunjukkan kualitas dan otoritas dalam pengajaran dan pelayananNya. Ia lolos proses peer-review. Namun kepada rakyat kecil yang berbondong mengikut Dia, Ia tidak pernah memandang rendah, apalagi memanipulasi mereka. Justru kepada mereka, Ia menunjukkan kerendahan hati dan berkata: “Belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati.”

The World's Best Dad?

Gambar di sebelah ini adalah replika hadiah Father’s Day dari Tiffany, anak saya yang berusia 4 tahun, yang ia buat dengan rekan-rekannya di sekolah. Setiap anak diminta oleh gurunya untuk berpikir keras menyelesaikan kalimat “I love Daddy because . . .”

Jawaban Tiffy: "I love Daddy because he keeps me safe always."
(barangkali karena saya sering memperingatkan dia, 'awas Tif', 'ati-ati Tif', 'jangan Tif, itu bahaya', dan berbagai peringatan yang sejenis)

Seorang mentor saya pernah memberitahu bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat menggantikan peran saya sbg ayah bagi anak-anak saya (sementara di gereja, di kantor, pasti ada orang lain yang dapat menggantikan). Dulu sering saya berpikir “Tangan saya terikat karena dua anak ini, mau kerja ini dan itu ga bisa!” Perlahan saya menyadari bahwa betapa unik dan berharga pelayanan saya yang satu ini terhadap anak-anak saya.

Saat ini ayah saya sedang terbaring di rumah sakit dalam masa pemulihan setelah menjalani angioplasty. Dengan anugerah Tuhan, surat izin hidupnya di dunia diperbarui. Sebelum prosedur reparasi jantung tersebut dimulai, ia ngotot minta saya datang untuk menemuinya terlebih dahulu di Singapore, kuatir kalau terjadi apa-apa maka itu akan menjadi saat terakhir bertemu dengan saya. Saat kami sekeluarga berdoa bagi dia beberapa saat sebelum masuk ke ruang operasi, saya merasakan butiran air mata yang mengalir di tengah kalimat doa yang saya ucapkan. Tangan kami bergenggam kuat, merangkum tahun-tahun kebersamaan kami yang penuh dengan nostalgia yang manis. Dan Tuhan yang baik mendengar doa tersebut.

Ayah saya bukan ayah yang sempurna. Dia doyan makan. Makanan lezat plus orang-orang yang ia kasihi di meja makan menjadi kebahagiaan tersendiri, sehingga sering ia makan keliwat banyak. Dia merokok karena saat muda, ia pernah kerja di bisnis tobacco dan mesti berperan sebagai Quality Control. Dia tidak pernah cerita Alkitab ke saya; ia menolak percaya Kristus karena ia ingin mengabdi ke ayahnya yang telah lama meninggal dengan bersembayang menurut kepercayaannya (Hanya beberapa tahun lalu ia bertobat).

Namun ada banyak karakternya yang saya serap. Ia seorang yang sabar, lembut, affectionate, dan compassionate (saya belajar karakter-karakter Allah tersebut dari ayah saya). Seumur hidup hanya sekali saya lihat dia marah besar dan serius, meski tidak jarang saya dulu dimarahinya, itupun ia lakukan sambil menangis. Dan saya ingat betapa menyesal saya telah membuat ia sedih pada saat-saat tersebut.

Tiffany dan Calvin, papamu ini bukan, dan tidak akan pernah menjadi, “The World’s Best Dad”, tapi papa akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu menjaga kamu, mendidik kamu, dan menolong kamu untuk mengenal intim Papa di Surga.

...di hari ayah ini, mari kita ingat ayah kita masing-masing, dan juga mengingat mereka yang tidak memiliki ayah di dunia karena mereka punya Ayah di Surga yg sempurna

Sep 8, 2006


Kalau Anda suka membaca Mazmur, Anda akan memperhatikan bahwa ada sebuah kata pendek yang cukup sering muncul terselip diantara ayat-ayat di buku Mazmur, yaitu Sela. Apa artinya?

Sela berasal dari kata Ibrani calah, yang berarti mengukur. Di abad-abad pertama, orang mengukur nilai dari uang, makanan, dan benda-benda berharga lainnya dengan menggantungkannya pada sesuatu sebagai perbandingan. Tidak heran kata calah ini digunakan juga dalam Ayub 28:16: “Ia [hikmat] tidak dapat dinilai dengan emas Ofir ataupun dengan permata…” Artinya adalah nilai dari hikmat Allah tidak dapat diukur atau dibandingkan nilainya dengan emas atau permata.

Kata Sela seringkali digunakan dalam buku Mazmur lebih dari 70 kali. Kata ini menjadi semacam rambu lalu lintas bagi kita untuk berhenti dan berefleksi. Untuk menimbang-nimbang ayat-ayat yang baru kita baca dan melakukan dialog dengan jiwa kita bersama Allah. Pemazmur seakan memberitahu kita, “Okay, berhentilah di bagian ini dan coba pikirkan, renungkan, dan cermati!” Setiap kali kita bertemu kata Sela, kita sedang berhadapan dengan rambu: STOP & REFLEKSI!

Mazmur 4:5 misalnya berbunyi demikian: “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. Sela.” Kita perlu STOP & REFLEKSI untuk dapat mengerti dan menghargai ayat ini dan ayat-ayat yang mendahuluinya. Kemarahan seringkali menjadi respon mekanisme pertahanan kita saat kita tersinggung atau disakiti. Dan betapa mudah kita jatuh dalam dosa di tengah luapan kemarahan kita. Namun ayat tersebut tidak berkata “Janganlah kamu marah!”, tetapi “Biarlah kamu marah”. Jadi apa maksudnya? Pemazmur bilang bahwa kita dapat menuangkan semua uneg-uneg kita kepada Allah (curhat) dalam konteks doa, termasuk kemarahan kita padaNya, tanpa kita berdosa bersungut2x padaNya atau memaki manusia.

Contoh kedua: Mazmur 62:9: “Percayalah kepadaNya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu dihadapanNya; Allah ialah tempat perlindungan kita. Sela.” Dalam mengarungi badai hidup yang tiada henti menerpa kita, kita memiliki Allah sebagai tempat kita beroleh bukan saja perlindungan, tetapi juga kekuatan baru untuk tidak menyerah melainkan terus melangkah. Namun yang menjadi masalah, menurut Pemazmur, adalah kita seringkali tidak sungguh-sungguh percaya dan berserah kepadaNya. Ini maksud pemazmur.

Tanpa kita STOP & REFLEKSI, mana mungkin kita dapat melakukan dialog batin seperti diatas? Dalam ritme kehidupan yang begitu cepat dan semakin cepat hari ini, kita perlu menginjak rem kehidupan, dan stop! Lalu berkaca diri dengan firman Allah, dan menilai adakah ruangan-ruangan dalam hati kita yang perlu ditata ulang. Kita perlu sering ber-Sela dalam kehidupan kita. Allah ingin kita berdiam diri dihadapanNya, memberi waktu dan ruang bagi Dia untuk berbicara dengan leluasa pada kita, dan menata ulang perspektif hidup dengan mengakui bahwa He is GOD. Tanpa itu kita menjadi budak sistem dunia ini, yang berputar monton bagai pegas sebuah jam, tanpa arti dan tanpa tujuan.

Gereja Bukan Pertandingan Bola !

“Dari pada-Nya lah seluruh tubuh, - yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (Ef 4:16)

Realita dalam gereja-gereja Tuhan hari ini tidak jauh berbeda dengan pertandingan sepak bola Soccerroos dan Greece baru-baru ini: Ada 22 orang yang kecapaian bermain dan butuh istirahat disaksikan oleh 22.000 orang yang duduk menikmati dan butuh olah raga!

Rasul Paulus mengajarkan bahwa gereja adalah tubuh Kristus yang setiap anggotanya harus bertumbuh menuju kedewasaan iman (Ef 4:12). Mencapai kedewasaan iman ini bukan hanya menjadi tugas pendeta, tugas penatua atau majelis atau pengurus gereja. Namun setiap anggota memiliki peran untuk membangun tubuh Kristus tersebut. Dalam kutipan ayat diatas, Paulus menekankan pelayanan oleh setiap anggota tubuh Kristus (each part does its work – NIV). Setiap orang memiliki bagian yang harus ia kerjakan. Itu sebab, dalam 1 Korintus 12 ada beberapa prinsip yang kita perlu pahami:

a. Setiap orang percaya pasti memiliki minimal satu talenta.
Allah menitipkan talenta dan karunia kepada setiap anakNya, tanpa terkecuali.

b. Talenta diberikan oleh Allah untuk kepentingan tubuh Kristus.
Dan bukan untuk kepentingan individu. Dengan kata lain, talenta saya diberikan oleh Allah untuk kepentingan Anda, dan talenta Anda diberikan oleh Allah untuk kepen-tingan saya. Satu hal apakah yang Anda bisa lakukan untuk orang lain hari ini?

c. Talenta tersebut diberikan sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna.
Tidak ada favoritisme. Tidak ada diskriminasi. Semua orang berharga dimata Allah.

Celakanya, ketiga prinsip diatas seringkali diabaikan. Bahkan mayoritas anggota gereja menunjukkan salah satu dari dua gejala berikut:

1. Self-depreciation
Orang tipe ini berkata “I am no good, you don’t need me.” Dia minder, tidak percaya diri, takut ambil tanggung jawab, dan rajin menolak berbagai kesempatan melayani yang Allah gerakkan dalam hatinya. Alasannya macam-macam: Terlalu sibuk, masih belum rohani, diri sendiri masih banyak masalah, dst… Kalau kita baru mau melayani kalau sudah tidak sibuk (nganggur), atau sudah rohani, atau sudah tidak ada masalah dalam hidup, jangan-jangan kita tidak akan pernah sempat melayani Tuhan selama-lamanya.

2. Self-importance
Sebaliknya, orang tipe ini berkata: “You’re no good, I don’t need you.” Dia merasa diri hebat, lebih penting dibanding orang lain. Seakan-akan gereja akan mandeg tanpa dia. Yang ia butuhkan adalah menghargai kontribusi orang lain seberapa besar atau kecil sekalipun.

Mari kita tidak memiliki kedua sikap diatas. Sebaliknya Allah berkata kepada kita “You need each other.” Kita perlu berinisiatif untuk saling melayani satu dengan yang lain. Jangan lupa bahwa suatu hari nanti Sang Empunya talenta akan meminta pertang-gungjawaban dari setiap kita. Sudahkah kita memakai seluruh talenta kita? Jangan simpan itu dibalik bantal. Mari kita bekerja diladangNya selagi masih ada kesempatan.