Sep 17, 2006

Rendah Hati karena Berarti

Tanggal 12-16 Agustus lalu, saya menghadiri Academy of Management 2006 Conference di Atlanta. Konven manajemen tahunan yang terbesar di dunia ini dihadiri oleh lebih dari 6,000 peserta dari 73 negara. Mereka mem-presentasikan 4,677 makalah akademis dalam 1,329 sesi yang berbeda!

Setiap sesi berlangsung sekitar 90 menit, dimana empat makalah dipresentasikan masing-masing selama 15 menit dan sisanya untuk tanya jawab. Bahkan semua hotel di sekitar CBD dan seluruh persediaan data projector di seluruh kota ludes dimonopoli oleh para peserta konven.

Yang menarik, 4,677 makalah yang dipresentasikan di konven tersebut adalah makalah-makalah yang lolos seleksi dengan sangat ketat. Bagaimana tidak ketat, kalau acceptance rate-nya hanya 30%? Berarti ada sekitar 9,000 makalah lebih yang tidak lolos seleksi.

Tidak heran kalau konven ini dihadiri oleh the gurus di berbagai bidang manajemen seperti Peter Senge (org. learning), Bernard Bass (leadership), Geeft Hofstede (national culture), Denise Rousseau (psych. contract), Linda Trevino (business ethics), dan berbagai pakar lain. Mendengar, bertemu, dan berinteraksi dengan mereka dalam acara tersebut sungguh suatu kebanggaan tersendiri.

Giliran saya presentasi adalah Selasa sore (setelah menunggu 2 tahun makalah saya ditolak berturut-turut di konven ini!). Celakanya, sesi saya dihadiri oleh nama-nama besar yang karyanya menjadi bacaan wajib saya semasa kuliah dan riset doktoral: Avolio, Mumford, Gardner, dan beberapa nama lain. Lima belas menit presentasi di depan mereka bagi saya seperti main basket dengan Michael Jordan dan Shaq O’Neal atau menyanyi dinilai oleh Pavarotti dan Celine Dion. Saya sempat minta kalau bisa Tuhan membuat saya super-hebat waktu itu atau membuat mereka super-bloon, karena lutut ini tiba-tiba lemas rasanya.

Dari semua proses diatas, saya belajar betapa berharganya apa yang disebut dengan proses peer-review. Sesuatu yang sangat jarang ditemui di Indonesia. Kita sering merasa lebih hebat (lebih bergelar, lebih pengalaman, lebih terampil, lebih sukses, dll) ketimbang orang lain. Masalahnya, siapa yang kita jadikan acuan untuk membentuk konsep diri yang ‘wah’ tersebut? Dibandingkan dengan orang lain yang ada dibawah kita dari sisi pengalaman, gelar, pengetahuan, posisi, informasi, akses, dan seterusnya, tentu saja kita lebih hebat.

Guru dibanding murid tentu lebih hebat guru karena murid belum selesai sekolah.

Orang tua tentu lebih hebat dari anak karena orang tua pernah jadi anak, sedang anak tidak pernah jadi orang tua.

Dokter lebih hebat dari pasien karena pasien tidak pernah jadi mahasiswa kedokteran.

Pendeta lebih hebat dari jemaat karena jemaat tidak pernah seminari teologi.

Tidak jarang guru, dokter, ortu, dan pendeta suka petantang petenteng di depan para ‘pengikut’ mereka yang polos dan lugu tersebut. Tapi coba guru diatas dinilai oleh sesama guru lainnya di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, dan internasional? Demikian juga orang tua, dokter, dan pendeta tersebut diuji oleh para kolega mereka di level internasional di bidang yang sama? Apa mereka masih hebat?

Sayang pasien tak pernah ke konven dokter, jemaat ogah ke konven pendeta, dan seterusnya.

Yesus dimusuhi oleh para ahli Taurat dan orang Farisi antara lain karena Ia menunjukkan kualitas dan otoritas dalam pengajaran dan pelayananNya. Ia lolos proses peer-review. Namun kepada rakyat kecil yang berbondong mengikut Dia, Ia tidak pernah memandang rendah, apalagi memanipulasi mereka. Justru kepada mereka, Ia menunjukkan kerendahan hati dan berkata: “Belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati.”

1 comment:

Anonymous said...

miley cyrus nude [url=http://www2.iuav.it/moodle/user/view.php?id=3500&course=1]miley cyrus nude[/url] miley cyrus nude [url=http://blogcastrepository.com/members/wreetgh.aspx]miley cyrus nude[/url] miley cyrus nude [url=http://my.wsbtv.com/service/displayKickPlace.kickAction?u=14041727&as=6690]miley cyrus nude[/url]