Nov 15, 2006

Verbatim on Education

...found these when working on grad cert in higher ed assignments:

Education is what survives when what has been learned has been forgotten (BF Skinner).

Education . . . has produced a vast population able to read but unable to distinguish what is worth reading (GM Trevelyan).

The worth of a book is to be measured by what you can carry away from it (James Bryce).

I am returning this otherwise good essay to you because someone has printed gibberish all over it and put your name at the top (An English professor, Ohio University).

The essence of intelligence is skill in extracting meaning from everyday experience (Author unknown).

I think the world is run 'C' students (Al McGuire).

Do not condemn the judgment of another because it differs from your own. You may be both wrong (Dandemis).

Plagiarism comes from a Latin word plagiarus - plunderer, from plagium - kidnapping.

By necessity, by proclivity, and by delight, we all quote. In fact, it is as difficult to appropriate the thoughts of others as it is to invent (Ralph Waldo Emerson).

Oct 28, 2006

One Real Question

"There is but one truly serious philosophical problem,
and that is suicide. Judging whether life is worth living
amounts to answering the fundamental question of philosophy . . .

I see many people die because they judge that life is not
worth living. I see others paradoxically getting killed for
the ideas or illusions that give them a reason for living
(what is called a reason for living is an excellent reason for
dying). I therefore conclude that the meaning of life is
the most urgent of questions."

-- Albert Camus, The Myth of Sisyphus

Sep 17, 2006

Hati-hati Pencopet Hati !

Anda tentu pernah mendengar atau membaca peringatan ini di airport:
Any piece of luggage found to be unattended will be confiscated and subject to search by the Airport Authority!

Bayangkan kalau ada peringatan serupa dari surga setiap minggu sekali:
Any piece of heart found to be unattended will be confiscated by Satan and subject to search by the Heavenly Authority!

Mungkin Anda akan kaget dan loncat dari kursi Anda.

Cara paling mudah mengetahui letak hati Anda adalah melihat diary dan bank statement Anda. Bagaimana Anda memakai waktu dan uang Anda.

Hitung waktu yang Anda habiskan di tempat kerja, di meja belajar, di depan cermin, dengan keluarga/pacar, untuk rekreasi, untuk olah raga, untuk melayani, dst. Kalkulasi berapa uang yang Anda pakai untuk kebutuhan sehari-hari, entertainment, pengembangan diri, pekerjaan Tuhan, dst. Semua hal ini adalah ukuran yang jujur tentang komitmen hati Anda.

Seorang rekan kerja saya di sebuah perusahaan swasta tempat saya pernah bekerja suatu hari mengajak saya naik mobilnya berkeliling melihat rumah-rumah mewah di daerah elit di Surabaya. Saya tanya ke dia: “Kita lagi ngapain sih?” Jawabnya, “Setiap kali aku merasa down, rumah-rumah mewah ini memompa semangatku lagi untuk bekerja keras demi sukses!”

Apa yang memompa semangat Anda dalam 6 bulan terakhir ini kemungkinan besar menjadi indikator dimana Anda meletakkan hati Anda dalam kehidupan ini. Mungkin bukan rumah mewah. Tapi barangkali karir dan promosi jabatan, relasi dengan pacar, ingin diterima & dihormati orang lain, atau self-entertainment.

Atau Anda menjawab: Tidak ada yang memompa. Entah hati saya ada dimana. Pokoknya jalani rutinitas saja tiap hari. Kosong. Entahlah ...

Rasul Paulus menasihati orang Kristen Efesus: “Perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup.” Lalu dia memberi kontras antara orang yang bijak dan orang yang bodoh. Bedanya sederhana: Yang bijak mengerti kehendak Tuhan. Dan yang bodoh...kehendaknya sendiri.

Orang bijak mempergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Mengapa? Bukan karena waktu itu singkat, tapi karena jahat. Jahat, karena kita hidup di zaman dimana manusia mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang (2 Tim 3:2). Dalam konteks tersebut, betapa mudah bagi kita untuk perlahan menggeser hati kita dari Allah ke diri kita sendiri: I, ME, MINE, MYSELF.

Dan yang mendominasi frekuensi gelombang hati adalah suara si jahat: Everyone does this! No one will know! You deserve this! Saat ’selfish gene’ kita kembali bertahta dalam hati, pintu untuk dosa menyelinap masuk terbuka lebar, dan dengan mudah ia tampil dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan kita. Aneh memang. Ketika orang lain berdosa, kita kaget, namun ketika kita sendiri yang melakukan dosa tersebut, rasanya itu sangat natural.

Pemikir Rusia Alexander Solzhenitsyn menulis:
If only there were evil people somewhere insidiously committing evil deeds, and it were necessary only to separate them from the rest of us and destroy them . But the line dividing good and evil cuts through the heart of every human being. And who is willing to destroy a piece of his own heart?

Itu sebab Pengamsal mengingatkan kita “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Tahun 2006 akan segera berlalu, mungkin kita perlu memeriksa apakah hati kita masih ada di tempat yang seharusnya. Awas Copet!

Nurani yang Bisu

Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia (Kisah 24:16)

Dalam program rehabilitasi 12-langkah Alcoholics Anonymous, salah satu langkah tersulit yang harus dijalani oleh pecandu alkohol adalah mengakui pengalaman ketidakberdayaan mereka terhadap alkohol di depan sesama pecandu lainnya. Asumsi di belakang langkah tersebut, adalah sbb: “You are as sick as your sickest secret, and you will remain sick as long as it remains secret.”

Menutupi rahasia diri adalah upaya sadar membungkam hati nurani didalam yang berteriak keras memprotes kelihaian kita menipu orang lain, diri kita sendiri, dan Allah. Jika kita rajin membungkam nurani kita, lama-lama ia menjadi bisu.

Apa itu hati nurani? Oswald Sanders mendefinisikannya sbb:
“Conscience is that faculty within me that attaches itself to the highest standard I know, and then continually reminds me of what that standard demands that I do.”
Nurani kita menjadi jendela jiwa kita yang melihat kepada Allah atau kepada sesuatu yang kita anggap memiliki standar tertinggi. Yang penting untuk kita mengerti adalah bahwa nurani kita selalu menuntut kita untuk melakukan apa yang benar yang semestinya kita lakukan, namun ia tidak dapat menentukan sendiri apakah sesuatu tersebut benar atau salah. Itu sebab mengapa setiap orang memiliki nurani yang berbeda, tergantung dari apa yang menjadi standar hidupnya.

Jika kita terbiasa memegang teguh standar Allah yang Ia nyatakan dalam firmanNya, maka nurani kita akan senantiasa menuntut kita untuk hidup sesuai dengan hukum Allah yang sempurna itu. Semakin kita hidup bertaut dengan firmanNya, semakin nurani kita merefleksikan standar Allah.

Pertanyaannya, maukah kita mentaatinya? Karena ketaatan adalah satu-satunya cara untuk kita dapat membedakan “manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).

Ketika Raja Daud mulai bermain-main dengan hawa nafsu seks-nya dan berakhir dengan perzinahan dan pembunuhan, ia sadar bahwa dosanya yang begitu tragis itu pada dasarnya adalah relasi yang rusak dengan Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa.” (Mzm 51:6).

Meski ia raja yang berkuasa saat itu, hal memalukan tersebut dia akui dalam dokumen publik (Mazmur 51) yang tentu menjadi konsumsi massa, dan aib nasional. Namun bagi Daud, memperbaiki relasi dengan Tuhannya jauh lebih penting dan serius ketimbang menjaga reputasinya sebagai seorang pemimpin nasional.

Anda dan saya perlu jujur bertanya kepada diri sendiri apakah kita sudah hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. Bagaimana mungkin dalam pelayanan kita dapat menyatakan kebenaran Allah kepada nurani manusia (2 Kor 4:2) sementara kita sedang membungkam nurani kita sendiri?

Karena kemurnian hati nurani adalah prasyarat pelayanan rohani. Nabi Yeremia mengingatkan kita “betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu” (Yer 17:9). Saat kita ceroboh dengan nurani kita, menikmati berbagai dosa tanpa mau bertobat, kita sedang hidup dengan berbagai topeng dan kosmetik yang memberi perlindungan semu.

Orang lain melihat kita suci, namun kita sendiri tahu betapa bejat-nya kita. Dan Tuhan tahu itu. Itu sebab kita perlu akhiri sandiwara dan tanggalkan topeng, lalu kembali pada Tuhan memohon belas kasihNya.

Rendah Hati karena Berarti

Tanggal 12-16 Agustus lalu, saya menghadiri Academy of Management 2006 Conference di Atlanta. Konven manajemen tahunan yang terbesar di dunia ini dihadiri oleh lebih dari 6,000 peserta dari 73 negara. Mereka mem-presentasikan 4,677 makalah akademis dalam 1,329 sesi yang berbeda!

Setiap sesi berlangsung sekitar 90 menit, dimana empat makalah dipresentasikan masing-masing selama 15 menit dan sisanya untuk tanya jawab. Bahkan semua hotel di sekitar CBD dan seluruh persediaan data projector di seluruh kota ludes dimonopoli oleh para peserta konven.

Yang menarik, 4,677 makalah yang dipresentasikan di konven tersebut adalah makalah-makalah yang lolos seleksi dengan sangat ketat. Bagaimana tidak ketat, kalau acceptance rate-nya hanya 30%? Berarti ada sekitar 9,000 makalah lebih yang tidak lolos seleksi.

Tidak heran kalau konven ini dihadiri oleh the gurus di berbagai bidang manajemen seperti Peter Senge (org. learning), Bernard Bass (leadership), Geeft Hofstede (national culture), Denise Rousseau (psych. contract), Linda Trevino (business ethics), dan berbagai pakar lain. Mendengar, bertemu, dan berinteraksi dengan mereka dalam acara tersebut sungguh suatu kebanggaan tersendiri.

Giliran saya presentasi adalah Selasa sore (setelah menunggu 2 tahun makalah saya ditolak berturut-turut di konven ini!). Celakanya, sesi saya dihadiri oleh nama-nama besar yang karyanya menjadi bacaan wajib saya semasa kuliah dan riset doktoral: Avolio, Mumford, Gardner, dan beberapa nama lain. Lima belas menit presentasi di depan mereka bagi saya seperti main basket dengan Michael Jordan dan Shaq O’Neal atau menyanyi dinilai oleh Pavarotti dan Celine Dion. Saya sempat minta kalau bisa Tuhan membuat saya super-hebat waktu itu atau membuat mereka super-bloon, karena lutut ini tiba-tiba lemas rasanya.

Dari semua proses diatas, saya belajar betapa berharganya apa yang disebut dengan proses peer-review. Sesuatu yang sangat jarang ditemui di Indonesia. Kita sering merasa lebih hebat (lebih bergelar, lebih pengalaman, lebih terampil, lebih sukses, dll) ketimbang orang lain. Masalahnya, siapa yang kita jadikan acuan untuk membentuk konsep diri yang ‘wah’ tersebut? Dibandingkan dengan orang lain yang ada dibawah kita dari sisi pengalaman, gelar, pengetahuan, posisi, informasi, akses, dan seterusnya, tentu saja kita lebih hebat.

Guru dibanding murid tentu lebih hebat guru karena murid belum selesai sekolah.

Orang tua tentu lebih hebat dari anak karena orang tua pernah jadi anak, sedang anak tidak pernah jadi orang tua.

Dokter lebih hebat dari pasien karena pasien tidak pernah jadi mahasiswa kedokteran.

Pendeta lebih hebat dari jemaat karena jemaat tidak pernah seminari teologi.

Tidak jarang guru, dokter, ortu, dan pendeta suka petantang petenteng di depan para ‘pengikut’ mereka yang polos dan lugu tersebut. Tapi coba guru diatas dinilai oleh sesama guru lainnya di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, dan internasional? Demikian juga orang tua, dokter, dan pendeta tersebut diuji oleh para kolega mereka di level internasional di bidang yang sama? Apa mereka masih hebat?

Sayang pasien tak pernah ke konven dokter, jemaat ogah ke konven pendeta, dan seterusnya.

Yesus dimusuhi oleh para ahli Taurat dan orang Farisi antara lain karena Ia menunjukkan kualitas dan otoritas dalam pengajaran dan pelayananNya. Ia lolos proses peer-review. Namun kepada rakyat kecil yang berbondong mengikut Dia, Ia tidak pernah memandang rendah, apalagi memanipulasi mereka. Justru kepada mereka, Ia menunjukkan kerendahan hati dan berkata: “Belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati.”

The World's Best Dad?

Gambar di sebelah ini adalah replika hadiah Father’s Day dari Tiffany, anak saya yang berusia 4 tahun, yang ia buat dengan rekan-rekannya di sekolah. Setiap anak diminta oleh gurunya untuk berpikir keras menyelesaikan kalimat “I love Daddy because . . .”

Jawaban Tiffy: "I love Daddy because he keeps me safe always."
(barangkali karena saya sering memperingatkan dia, 'awas Tif', 'ati-ati Tif', 'jangan Tif, itu bahaya', dan berbagai peringatan yang sejenis)

Seorang mentor saya pernah memberitahu bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat menggantikan peran saya sbg ayah bagi anak-anak saya (sementara di gereja, di kantor, pasti ada orang lain yang dapat menggantikan). Dulu sering saya berpikir “Tangan saya terikat karena dua anak ini, mau kerja ini dan itu ga bisa!” Perlahan saya menyadari bahwa betapa unik dan berharga pelayanan saya yang satu ini terhadap anak-anak saya.

Saat ini ayah saya sedang terbaring di rumah sakit dalam masa pemulihan setelah menjalani angioplasty. Dengan anugerah Tuhan, surat izin hidupnya di dunia diperbarui. Sebelum prosedur reparasi jantung tersebut dimulai, ia ngotot minta saya datang untuk menemuinya terlebih dahulu di Singapore, kuatir kalau terjadi apa-apa maka itu akan menjadi saat terakhir bertemu dengan saya. Saat kami sekeluarga berdoa bagi dia beberapa saat sebelum masuk ke ruang operasi, saya merasakan butiran air mata yang mengalir di tengah kalimat doa yang saya ucapkan. Tangan kami bergenggam kuat, merangkum tahun-tahun kebersamaan kami yang penuh dengan nostalgia yang manis. Dan Tuhan yang baik mendengar doa tersebut.

Ayah saya bukan ayah yang sempurna. Dia doyan makan. Makanan lezat plus orang-orang yang ia kasihi di meja makan menjadi kebahagiaan tersendiri, sehingga sering ia makan keliwat banyak. Dia merokok karena saat muda, ia pernah kerja di bisnis tobacco dan mesti berperan sebagai Quality Control. Dia tidak pernah cerita Alkitab ke saya; ia menolak percaya Kristus karena ia ingin mengabdi ke ayahnya yang telah lama meninggal dengan bersembayang menurut kepercayaannya (Hanya beberapa tahun lalu ia bertobat).

Namun ada banyak karakternya yang saya serap. Ia seorang yang sabar, lembut, affectionate, dan compassionate (saya belajar karakter-karakter Allah tersebut dari ayah saya). Seumur hidup hanya sekali saya lihat dia marah besar dan serius, meski tidak jarang saya dulu dimarahinya, itupun ia lakukan sambil menangis. Dan saya ingat betapa menyesal saya telah membuat ia sedih pada saat-saat tersebut.

Tiffany dan Calvin, papamu ini bukan, dan tidak akan pernah menjadi, “The World’s Best Dad”, tapi papa akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu menjaga kamu, mendidik kamu, dan menolong kamu untuk mengenal intim Papa di Surga.

...di hari ayah ini, mari kita ingat ayah kita masing-masing, dan juga mengingat mereka yang tidak memiliki ayah di dunia karena mereka punya Ayah di Surga yg sempurna

Sep 8, 2006


Kalau Anda suka membaca Mazmur, Anda akan memperhatikan bahwa ada sebuah kata pendek yang cukup sering muncul terselip diantara ayat-ayat di buku Mazmur, yaitu Sela. Apa artinya?

Sela berasal dari kata Ibrani calah, yang berarti mengukur. Di abad-abad pertama, orang mengukur nilai dari uang, makanan, dan benda-benda berharga lainnya dengan menggantungkannya pada sesuatu sebagai perbandingan. Tidak heran kata calah ini digunakan juga dalam Ayub 28:16: “Ia [hikmat] tidak dapat dinilai dengan emas Ofir ataupun dengan permata…” Artinya adalah nilai dari hikmat Allah tidak dapat diukur atau dibandingkan nilainya dengan emas atau permata.

Kata Sela seringkali digunakan dalam buku Mazmur lebih dari 70 kali. Kata ini menjadi semacam rambu lalu lintas bagi kita untuk berhenti dan berefleksi. Untuk menimbang-nimbang ayat-ayat yang baru kita baca dan melakukan dialog dengan jiwa kita bersama Allah. Pemazmur seakan memberitahu kita, “Okay, berhentilah di bagian ini dan coba pikirkan, renungkan, dan cermati!” Setiap kali kita bertemu kata Sela, kita sedang berhadapan dengan rambu: STOP & REFLEKSI!

Mazmur 4:5 misalnya berbunyi demikian: “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. Sela.” Kita perlu STOP & REFLEKSI untuk dapat mengerti dan menghargai ayat ini dan ayat-ayat yang mendahuluinya. Kemarahan seringkali menjadi respon mekanisme pertahanan kita saat kita tersinggung atau disakiti. Dan betapa mudah kita jatuh dalam dosa di tengah luapan kemarahan kita. Namun ayat tersebut tidak berkata “Janganlah kamu marah!”, tetapi “Biarlah kamu marah”. Jadi apa maksudnya? Pemazmur bilang bahwa kita dapat menuangkan semua uneg-uneg kita kepada Allah (curhat) dalam konteks doa, termasuk kemarahan kita padaNya, tanpa kita berdosa bersungut2x padaNya atau memaki manusia.

Contoh kedua: Mazmur 62:9: “Percayalah kepadaNya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu dihadapanNya; Allah ialah tempat perlindungan kita. Sela.” Dalam mengarungi badai hidup yang tiada henti menerpa kita, kita memiliki Allah sebagai tempat kita beroleh bukan saja perlindungan, tetapi juga kekuatan baru untuk tidak menyerah melainkan terus melangkah. Namun yang menjadi masalah, menurut Pemazmur, adalah kita seringkali tidak sungguh-sungguh percaya dan berserah kepadaNya. Ini maksud pemazmur.

Tanpa kita STOP & REFLEKSI, mana mungkin kita dapat melakukan dialog batin seperti diatas? Dalam ritme kehidupan yang begitu cepat dan semakin cepat hari ini, kita perlu menginjak rem kehidupan, dan stop! Lalu berkaca diri dengan firman Allah, dan menilai adakah ruangan-ruangan dalam hati kita yang perlu ditata ulang. Kita perlu sering ber-Sela dalam kehidupan kita. Allah ingin kita berdiam diri dihadapanNya, memberi waktu dan ruang bagi Dia untuk berbicara dengan leluasa pada kita, dan menata ulang perspektif hidup dengan mengakui bahwa He is GOD. Tanpa itu kita menjadi budak sistem dunia ini, yang berputar monton bagai pegas sebuah jam, tanpa arti dan tanpa tujuan.

Gereja Bukan Pertandingan Bola !

“Dari pada-Nya lah seluruh tubuh, - yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (Ef 4:16)

Realita dalam gereja-gereja Tuhan hari ini tidak jauh berbeda dengan pertandingan sepak bola Soccerroos dan Greece baru-baru ini: Ada 22 orang yang kecapaian bermain dan butuh istirahat disaksikan oleh 22.000 orang yang duduk menikmati dan butuh olah raga!

Rasul Paulus mengajarkan bahwa gereja adalah tubuh Kristus yang setiap anggotanya harus bertumbuh menuju kedewasaan iman (Ef 4:12). Mencapai kedewasaan iman ini bukan hanya menjadi tugas pendeta, tugas penatua atau majelis atau pengurus gereja. Namun setiap anggota memiliki peran untuk membangun tubuh Kristus tersebut. Dalam kutipan ayat diatas, Paulus menekankan pelayanan oleh setiap anggota tubuh Kristus (each part does its work – NIV). Setiap orang memiliki bagian yang harus ia kerjakan. Itu sebab, dalam 1 Korintus 12 ada beberapa prinsip yang kita perlu pahami:

a. Setiap orang percaya pasti memiliki minimal satu talenta.
Allah menitipkan talenta dan karunia kepada setiap anakNya, tanpa terkecuali.

b. Talenta diberikan oleh Allah untuk kepentingan tubuh Kristus.
Dan bukan untuk kepentingan individu. Dengan kata lain, talenta saya diberikan oleh Allah untuk kepentingan Anda, dan talenta Anda diberikan oleh Allah untuk kepen-tingan saya. Satu hal apakah yang Anda bisa lakukan untuk orang lain hari ini?

c. Talenta tersebut diberikan sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna.
Tidak ada favoritisme. Tidak ada diskriminasi. Semua orang berharga dimata Allah.

Celakanya, ketiga prinsip diatas seringkali diabaikan. Bahkan mayoritas anggota gereja menunjukkan salah satu dari dua gejala berikut:

1. Self-depreciation
Orang tipe ini berkata “I am no good, you don’t need me.” Dia minder, tidak percaya diri, takut ambil tanggung jawab, dan rajin menolak berbagai kesempatan melayani yang Allah gerakkan dalam hatinya. Alasannya macam-macam: Terlalu sibuk, masih belum rohani, diri sendiri masih banyak masalah, dst… Kalau kita baru mau melayani kalau sudah tidak sibuk (nganggur), atau sudah rohani, atau sudah tidak ada masalah dalam hidup, jangan-jangan kita tidak akan pernah sempat melayani Tuhan selama-lamanya.

2. Self-importance
Sebaliknya, orang tipe ini berkata: “You’re no good, I don’t need you.” Dia merasa diri hebat, lebih penting dibanding orang lain. Seakan-akan gereja akan mandeg tanpa dia. Yang ia butuhkan adalah menghargai kontribusi orang lain seberapa besar atau kecil sekalipun.

Mari kita tidak memiliki kedua sikap diatas. Sebaliknya Allah berkata kepada kita “You need each other.” Kita perlu berinisiatif untuk saling melayani satu dengan yang lain. Jangan lupa bahwa suatu hari nanti Sang Empunya talenta akan meminta pertang-gungjawaban dari setiap kita. Sudahkah kita memakai seluruh talenta kita? Jangan simpan itu dibalik bantal. Mari kita bekerja diladangNya selagi masih ada kesempatan.

Apr 11, 2006

Things we didn't do

Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do

Mark Twain

Pink on the Cross of Christ

These words from Arthur Pink can't be better phrased:

God is holy and therefore he will not look upon sin. God is just and therefore he judges sin wherever it is found. But God is love as well: God delighteth in mercy, and therefore infinite wisdom devised a way whereby justice might be satisfied and mercy left free to flow out to guilty sinners. This way was the way of substitution, the just suffering for the unjust.

The Son of God himself was the one selected to be the substitute, for none other would suffice. Through Nahum, the question had been asked, "Who can stand before his indignation"? and who can abide in the fierceness of his anger?" (1:6). This question received its answer in the adorable person of our Lord and Saviour Jesus Christ. He alone could "stand".

One only could bear the curse and yet rise a victor above it. One only could endure all the avenging wrath and yet magnify the law and make it honourable. One only could suffer his heel to be bruised by Satan and yet in that bruising destroy him that had the power of death.

If then God spared not the Lord Jesus when sin was found upon him, what possible hope is there, unsaved reader, that he will spare thee when thou standest before him at the great white throne with sin upon thee?

If God poured out his wrath on Christ while he hung as surety for his people, be assured that he will most certainly pour out his wrath on you if you die in your sins. The word of truth is explicit: "he that believeth not the Son shall not see life; but the wrath of God abideth on him" (John 3:36). God "spared not" his own Son when he took the sinner’s place, nor will he spare him who rejects the Saviour.

Christ was separated from God for three hours, and if you finally reject him as your Saviour you will be separated from God for ever - "Who shall be punished with everlasting destruction from the presence of the Lord" (2 Thess. 1:9).

Churchill on Writing A Book

Writing a book is an adventure. To begin with, it is a toy and an amusement; then it becomes a mistress, and then it becomes a master, and then a tyrant. The last phase is that just as you are about to be reconciled to your servitude, you kill the monster, and fling him out to the public.

Winston Churchill

Apr 5, 2006

Talk, Talk, and Talk

Masyarakat Native America yang hidup di pedalaman memiliki sebuah kebiasaan unik. Mereka setiap hari duduk di atas batu dalam sebuah lingkaran, dan mulai ngobrol. Dan mereka akan ngobrol terus selama berjam-jam, bahkan terkadang sampai berhari-hari. Mula-mula obrolan mulai dengan hal-hal yang sepele, yang remeh sampai akhirnya obrolan yang berisi, yang bermakna, yang dari hati ke hati mulai muncul. Itu sebab dalam budaya mereka, ada istilah yang lalu muncul: We talk and talk until the talk starts.

Mari kita mencoba mengadaptasi budaya orang Native America dalam konteks pertumbuhan iman kita, yaitu dengan menerapkan 3 jenis talk dalam Hubungan Pribadi kita Dengan Tuhan (HPDT):

1. Let God talk to you
Dalam hiruk-pikuk dunia, kita perlu berdiam diri dan belajar mendengar sabda Allah kepada kita secara pribadi. Jika Anda tidak pernah mempersilakan Allah berbicara kepada Anda, maka hidup Anda akan disetir oleh noise dunia yang jauh lebih keras dan lebih dominan, dan menyesatkan. Jangan lupa ‘a person who has no inner life is a slave of his or her surrounding’.
Paulus menulis kepada Timotius tentang empat fungsi firman Allah dalam 2 Tim 3:16, yaitu untuk menyatakan (1) apa yang benar, (2) apa yang salah dengan kita, (3) bagaimana menjadi benar, dan (4) bagaimana terus hidup dalam kebenaran.

2. Let us talk to God
Allah berbicara kepada kita melalui firmanNya, dan kita berespon kepadaNya melalui doa. Ngobrol dengan Allah bagi orang Kristen seringkali tidak seindah ngobrol dengan pacar dan kekasih kita. Untuk memulai kebiasaan doa, kita perlu belajar untuk ‘talk and talk until the talk starts’, belajar untuk dapat berbicara kepada Allah dari hati ke hati, mencurahkan segala kondisi batin dan beban hidup, impian dan ketakutan kita, keluhan dan permohonan kita. Dalam momen-momen itulah, orientasi dan ambisi hidup kita, rencana dan prioritas hidup kita dibentuk seturut dengan kehendakNya yang sempurna.

3. Let us talk to others about God
Talk yang ketiga adalah ngobrol kepada orang lain tentang Allah. Obrolan ini seharusnya menjadi sesuatu yang natural terjadi. Bayangkan, Allah sudah ngobrol dengan kita. Dan kita sudah ngobrol dengan Allah. Mana mungkin obrolan tersebut kita bisa simpan buat kita sendiri? Mulai dari hal-hal yang simple, sampai sesuatu yang spesial yang kita alami bersama Tuhan.

Dengan demikian, kita menjadi pipa saluran berkat bagi orang lain, bukan hanya lewat perkataan tetapi juga sikap dan perbuatan. Karena orang Kristen tidak NATO (No action, Talk-talk-talk Only), tapi aktif terlibat menyatakan kasih Allah di tengah dunia.

ICC Congregation


Foto bersama jemaat ICC 19 Maret 2006 selesai Kebaktian Kebangunan Rohani

J. Edward's Preaching Propositions

I go out to preach with two propositions in mind. First, every person ought to give his life to Christ. Second, whether or not anyone else gives him his life, I will give him mine.
Jonathan Edwards (1703-1758)

Feb 21, 2006

“Pikiranmu seperti Seorang Pelacur”

Sejak zaman pre-modern, para intelektualis tersohor seperti Socrates, Plato, dan Aristotle telah aktif menentang worldview dunia yang menjadi ciri utama dalam budaya Yunani kuno. Meski mereka bertiga tidak mengenal Allah, namun mereka menerima anugerah umum (common grace) untuk memaparkan kebenaran yang merujuk kepada Allah.

Socrates dipaksa untuk meminum hemlock karena dia beragumentasi bahwa tidak ada ilah-ilah; yang ada hanyalah ‘Allah’ yang esa sumber segala kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Plato lalu mengembangkan ide classical idealism bahwa segala idealisme manusia bersumber dari idealisme transenden dalam pikiran Tuhan. Hal ini dikembangkan oleh Aristotle yang menelurkan konsep the Unmoveable Mover, Tuhan yang transenden sumber dari realita eksternal yang ada dalam dunia, tidak dicipta dan digerakkan oleh siapapun.

Dengan fondasi yang sudah dibangun sedemikian, kita membaca dalam Kisah Para Rasul perjalanan misionaris Paulus kepada Yunani kuno yang telah siap dituai bagi Injil. Orang-orang saat itu telah familiar dengan konsep eksistensi ‘Allah’ yang transenden, realita spiritual, dan keabadian jiwa. Disini kita mengerti latar belakang Paulus menemukan altar bagi “Allah yang tidak dikenal” yang lalu diperkenalkan oleh Paulus (Kisah 17:23).

Kemudian muncullah Agustinus yang membangun konsep teologi berdasar konsep Plato, dan Thomas Aquinas berdasar konsep dari Aristotle. Kedua paradigma ini – rasionalisme klasik dan Alkitab – menjadi karakteristik dunia Barat berabad-abad kemudian. Ilmu pengetahuan yang mengalami kemajuan drastis di tahun 1600-an sebenarnya berangkat dari dua paradigma: paradigma Alkitab bahwa alam dicipta dengan baik dan teratur oleh seorang Pencipta yang berkepribadian, dan rasionalisme klasik bahwa ada hukum alam rasional yang memerintah seluruh mekanisme jagad raya.

Pendirian universitas-universitas terkenal di dunia dilakukan berdasarkan paradigma ini. Harvard University, misalnya, didirikan pada tahun 1646 memiliki lambang perisai (tanda iman) dengan tulisan Veritas (kebenaran) dan dikelilingi tulisan Pro Christo et Ecclesiae (bagi Kristus dan GerejaNya). Sedangkan tujuannya adalah: "Every one shall consider the main end of his life and studies to know God and Jesus Christ which is eternal life." Namun sejak abad ke 18, rasionalisme mulai menggerogoti tujuan universitas. Allah digeser dari tahtaNya, seiring dengan merasuknya humanisme sekuler ke sel-sel tubuh universitas. Paradigma Alkitab dicampakkan oleh para ilmuwan. Dan rasio manusia dianggap sebagai ukuran tertinggi kebenaran. Scientific methods diciptakan dengan menihilkan epistemologi diluar rasio manusia. Cendekiawan yang adalah ‘istri’ sang kebenaran menyeleweng, bergaul liar dengan banyak pria idaman lain (PIL) bernama humanisme, rasionalisme, dan sekulerisme. Tidak heran Martin Luther berkata: “Your reason is like a whore.”

(paragraf terakhir diatas diilhami oleh tulisan rekan saya: Yohanes Somawiharja)

Worldview: Creation

What can we learn from the creational worldview?

GOD
We learn about the Creator God who is eternal (which means he is not a created being, as Karl Marx taught), personal (which means the world does not come to be through random chance or evolution, as secular scientists and evolutionists argue), and sovereign (which means he does not leave the world run by itself, as Deism claims). He is the Creator God who created the universe out of nothing (which means he is not part of the created world, as Pantheism claims) in an orderly manner (which means that the creation order is knowable, which is the basis of human epistemology, unlike the secular humanists' view) through his word (which means he is an almighty God who perfect will gets done on earth, despite what atheists believe), as a general revelation of himself (which means human beings have no excuse to be ignorant of God, as Paul wrote to Romans) for all spheres of creation, believers and non-believers, human and non-human (which demonstrates his sovereign rule over all created beings who one day will hold human beings accountable as stewards of his created world).

The Apostolic Confession of Faith summarizes it succintly: I believe in God, the Father, Almighty, Maker of heaven and earth.

MAN
There are six things we can learn about man, among others:
(1) Men and women were created by a personal God in his image, which means as a reflection of God we have personality, intelligence, morality, social capacity, creativity, and self-transcendence, unlike the rest of creation.
(2) Men and women were 'fearfully and wonderfully made', which means we were not mass produced for God knit each of us uniquely in our mother's womb (hence, our respective DNAs), and that we were not results of some random particles slowly evolved for several million years.
(3) The dignity of human beings, regardless their social status, appearance, IQ, etc., is derived from God as reflections of his glory, which should be the basis for everyone fighting for human rights everywhere across the globe.
(4) Men and women as created beings were, are, and will always be below God, the Creator, which means human beings are not the measure of all things (unlike what Protagoras'
teaching of homo mensura), and should always respond to God in obedient gratitude.
(5) Men and women are created to be stewards of the rest of God's creation, a mandate given by God before the Fall, which means the works that we do in all spheres of life should be an
extension God's creative and good works (no excuse for a grumpy face on Monday morning!) and that one day we all be held accountable for this.
(6) The history of mankind is the history of God's work shown directly (through the natural laws and God-ordained institutions such as government and family) and indirectly (through human involvement in politics, art, law, business, education, etc.)
(7) The purpose and meaning of life is found in and only in God alone (the best person to know what a pencil is for is the inventor of pencils; we should use it for writing not tickling our ears).

Biblical Worldview


Just as a miner needs a lamp on his hat to be able to walk around safely in a dark cave, so does Christians need the biblical worldview to be able to live meaningfully in this dark world .

C.S. Lewis in his genius way put it this way: “I believe in Christianity as I believe that the sun has risen: not only because I see it, but because by it I see everything else.”

Biblical scholars use 4 frameworks to understand the biblical worldview: Creation-Fall-Redemption-Consummation. These frameworks contain the biblical perspective on and answers to larger-than-life questions such as:
- how does the world come to be?
- what is the value of a human being?
- what is the meaning and purpose of life?
- what is wrong with the world?
- can the problems in the world be fixed?
- is there a life after death?

Feb 1, 2006

Submission

Submission is the title of my last week sermon.

Submission is also the hardest spiritual discipline I have personally known. When we submit, we will paradoxically experience freedom, that is freedom from the need to "Have It Your Way." Frank Sinatra may disagree as he seems to prefer "I do it my way" approach.

We need to learn like Jesus who submitted to His Father despite His preference to have the cup of God's wrath taken away from Him. That's the reason why He admonished Peter so hardly when Peter tried to lure Jesus away from the cross. "Get away behind me, Satan!" were His exact words addressed to Peter.

When things do not go as we expected or want them to be, we should learn to let them go. That means, we don't have to be angry, grumpy, disappointed, hurt, and so on. We are set free from anger and bitterness when people don't act towards us the way we think they should.

There are many things that are better left alone, and will get worse when we get entangled in them. This attitude acknowledges God as a Sovereign God who providentially and actively works within us and through us. Submission helps us to allow God be the Lord of our lives.

When Brother Lawrence heard someone told him that his boss had a mistaken idea about him and wanted to terminate his employment, he said "I am in the hands of God, He will do with me as He pleases. If I do not serve Him here, I will serve Him elsewhere."

First day of Feb 2006

It's February today.

And it has been 15 days since I wrote here. Definitely not a good sign...
But hopefully this month shows a different pattern.

Jan 15, 2006

Solitude Ransacked

This morning I was working on the finishing touches of my Sunday sermon for the afternoon. The sermon was on 'Solitude'. And I was once again humbled by the experiences of such spiritual giants as Henry Nouwen, Richard Foster, Dallas Willard, and the likes. In my best attempts to 'live' the sermon before delivering them, I was trying to bath myself on the verse from the Psalm 46: "Be still and know, that I am God", attempting to capture the still, small voice of God. You know, the kind that Elijah experienced in Mount Horeb.

All was going well, until my wife came into our study room with a breaking news: "You've got a speeding ticket." It was a $130 ticket for allegedly 4km/hr above the 60 km/hr limit. I was just driving 4 km/hr extra on the boxing day (26th of Dec) and I've got $130 fine! As you rightly guess, my quiet, comtemplative moments before God suddenly evaporated into thin air. My joyful, reflective mood quickly changed into a grumpy, angry mood.

Later it dawned on me that how easy it is for a 'menial' thing (like a speeding ticket) to disrupt my time with the Creator of the Universe. While $130 is far from menial to me, it should not have a huge impact on the attitude of my heart. Well, another area that I need His grace on . . .

Nouwen on Vulnerability


A deep reflection from a favorite author of mine, Henry Nouwen:
Life is precious. Not because it is unchangeable, like a diamond, but because it is vulnerable, like a little bird. To love life means to love its vulnerability, asking for care, attention, guidance, and support. Life and death are connected by vulnerability. The newborn child and the dying elder both remind us of the preciousness of our lives. Let's not forget the preciousness and vulnerability of life during the times we are powerful, successful, and popular.

Jan 11, 2006

Why I like GK Chesterton

Isn't the answer obvious?

Even C.S. Lewis looked to Chesterton as his spiritual father. About him, Lewis wrote:
"The contemporary book that has helped me the most is Chesterton's The Everlasting Man." (God in the Dock, p.260).

Here are some of his thought-provoking, memorable thoughts:

Chesterton on Courage: “Courage is almost a contradiction in terms. It means a strong desire to live taking the form of a readiness to die."

Chesterton on Atheists and God: "The worst moment for the atheist is when he is really thankful and has no one to thank."

Chesterton on Man and Modesty: “In one way man was to be haughtier than he had ever been before; in another way he was to be humbler than he had ever been before. In so far as I am a man I am the chief of creatures. In so far as I am a man, I am the chief of sinners. All humility that had meant pessimism, that had meant man taking a vague or mean view of his whole destiny--all that was to go. We were to hear no more the wail of Ecclesiastes that humanity had no pre-eminence over the brute, or the awful cry of Homer that man was only the saddest of all the beasts of the field. Man was a statue of God walking about the garden. Man had pre-eminence over all the brutes; man was only sad because he was not a beast, but a broken god."

Chesterton on the Failure of the Church: "The Christian ideal has not been tried and found wanting. It has been found difficult and left untried" Yancey's commentary: Chesterton readily admitted that the church had badly failed the gospel. In fact, he said, one of the strongest arguments in favor of Christianity is the failure of Christians, who thereby prove what the Bible teaches about the Fall and original sin. As the world goes wrong, it proves that the church is right in this basic doctrine.

Chesterton on Progress: "Everyone is interested in making things better. But what does "better" mean? Nature cannot answer this question, for nature accepts things as they are without making value judgments. Nor does the mere passage of time guarantee progress. Any meaningful sense of progress must come from a definite vision of how things should be, a point toward which we can move . . . A belief in the inevitability of progress is the best reason not to be progressive. For in that case we need do nothing at all. The best reason for being progressive is that things tend to get worse . . . Christianity answers these three challenges of progress. 1. It fixed the ideal before the foundation of the world. 2. It can give us the complex picture of life toward which we should move. 3. And its doctrine of original sin alerts us to the need to work toward that ideal."

Chesterton on Christian Theology (or Paradox): "Christianity got over the difficulty of combining furious opposites by keeping them both and keeping them both furious." Yancey's commentary: "Throughout church history, Christian leaders have shown an impulse to pin everything down, to reduce behavior and doctrine to absolutes that could be answered on a True/False test . . . Uncomfortable with paradox, Christians tend to tilt in one direction or the other, usually with disastrous consequences . . . The first shall be last; find your life by losing it; work out your salvation with fear and trembling, for it is God who works in you; he who stoops lowest climbs highest; where sin abounds grace abounds more—all these profound principles of life appear in the New Testament and none easily reduces to logical consistency. "Truth is not in the middle, and not in one extreme, but in both extremes," 19th-century British pastor Charles Simeon remarked. With some reluctance, I have come to agree."

Christian Lone Ranger

Christian lone ranger. What an oxymoron!

We were designed to live in a community, just like the Triune God. We were asked to live in an authentic fellowship, not in a superficial, plastic community. How can you tell the difference? Well, think of these 'one anohter' attributes. To what extent are they shown in your community? By others to you? By you to them?

Forbearing one another
Edifiying one another
Loving one another
Looking after one another
Opening up to one another
Welcoming one another
Shouldering one another's burdens
Honoring one another
Inspiring one another
Praying for one another

C.S Lewis once wrote:
“The worldly man treats certain people kindly because he ‘likes’ them. The Christian, trying to treat every one kindly, finds himself liking more and more people as he goes on -- including people he could not even have imagined himself liking at the beginning.

Gereja Hampir Punah?

Beberapa tahun lalu, saya membaca sebuah kalimat yang agak mengganggu:
"The church, as always, is only one generation away from extinction”.
Gereja hampir punah! Di negara maju seperti Australia, gereja semakin kosong dan sepi. The National Church Life Survey yang dilakukan 5 tahun sekali di tahun 2001 melaporkan masa depan yang suram bagi gereja: “Sangat kecil kemungkinan gereja-gereja mainstream yang dipadati dengan jemaat lanjut usia untuk dapat digantikan oleh orang-orang muda.” Kalau hari ini generasi muda stop ke gereja saat mereka berusia 17 tahun, gereja akan terus menyusut dan . . . lenyap! Mengapa hal ini terjadi?

Gereja dianggap tidak relevan, tidak menjawab kebutuhan zaman. Gereja dianggap 3K: kuno, kaku, dan kering. Untuk meresponi ini, gereja mencoba menjadi relevan dengan multimedia presentation, lagu kontemporer, tim musik full band, kotbah yang lucu, enak didengar dan tidak menuntut perubahan hidup, dan beragam spiritual entertainment lainnya. Yang menarik, rasul Paulus menawarkan solusi yang samasekali berbeda.

Justru ditengah banyak orang yang meninggalkan Tuhan, Rasul Paulus menasihati penerusnya Timotius untuk meneruskan ajaran yang sehat secara turun-temurun: “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat” (2 Tim 1:13). David Wells dalam bukunya God in the Wasteland menulis,
“The fundamental problem in the evangelical world today is not inadequate technique, insufficient organization, or antiquated music . . . but that His truth is too distant, His grace is too ordinary, His judgment is too benign, His gospel is too easy.”
Dengan nada yang sama, John Stott menulis:
“I’ve discovered that it’s not hard to biblical if you don't care about being contemporary. And it’s certainly not hard to be contemporary if you don't care about being biblical. Being biblical and temporary – that’s the art of Christian communication.”
Inilah tantangan kita: Menjadi biblikal dan kontemporer. Gereja relevan bukan karena tata ibadahnya, musiknya, kulturnya, atau teknologinya. Gereja relevan saat setiap anggotanya hadir sebagai komunitas alternatif yang menampakkan Kristus secara otentik lewat perkataan dan perbuatan. Gereja relevan saat kita turut bergulat dengan dunia yang gelap bersama segudang masalah manusia abad ke-21: kekosongan hidup, krisis identitas, hidup untuk karir, kemerotan moral, individualisme, gila harta, eksploitasi seks, kemiskinan, hak asasi manusia, dst.

Gereja Sarang Penyamun?

Sudah nonton film trilogi Godfather? Ada sebuah adegan dalam film tersebut yang menunjukkan bagaimana seorang anggota mafia datang beribadah di gereja dengan sangat khusuk setelah membunuh seseorang. Dengan demikian, tidak ada yang menyangka ia seorang mafia berdarah dingin!

Ketika bangsa Israel mengalami ‘pertobatan nasional’ yang superfisial dibawah pemerintahan raja Yosia, semua bentuk berhala dihancurkan (2 Raja-raja 22-23). Tetapi berhala-berhala dalam hati mereka tetap utuh. Dalam konteks inilah Yeremia menyampaikan teguran yang sangat keras dari Tuhan:
“Masakah kamu mencuri, membunuh, berzinah dan bersumpah palsu, membakar korban kepada Baal dan mengikuti allah lain yang tidak kamu kenal, kemudian kamu datang berdiri dihadapan-Ku di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan, sambil berkata: ‘Kita selamat, supaya dapat pula melakukan segala perbuatan yang keji ini.’ Sudahkah menjadi sarang penyamun rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?” (Yeremia 7:10-11).”
Ekspositor Alkitab G. Campbell Morgan menulis bahwa sarang penyamun adalah tempat dimana para penyamun bersembunyi setelah mereka melakukan aksi kejahatan.

Memang cara yang paling aman (dan ironis) untuk menutupi dosa kita adalah dengan pergi ke gereja, mengikuti ibadah, dan melibatkan diri dalam berbagai aktifitas gerejawi. Dengan demikian, kita tetap terlihat rohani meski sebenarnya kita hidup jauh dari Tuhan. Orang di sekitar kita berpikir bahwa kita cinta Tuhan, padahal banyak keputusan yang kita ambil & aksi yang kita lakukan menyedihkan hati Tuhan. Itu sebab jangan heran kalau hari ini kita menyaksikan orang berbondong-bondong datang kepada Tuhan, namun tidak ada perubahan hidup. Jangan kaget kalau gereja penuh dan bermunculan dimana-mana, namun kebejatan moral juga merajalela.

Bukti utama bahwa manusia itu berdosa adalah bahwa ia tidak sadar akan dosanya sendiri, demikian tulis Martin Luther. Seringkali ketika firman Tuhan disampaikan, kita merasa tertantang, tetapi tidak ada perubahan dalam hidup kita. Kotbah yang kita dengar membuat kita merasa tertegur, tapi tidak ada pertobatan. Semakin canggih kita bersandiwara dengan segala tingkah laku rohani kita, semakin terjerumus kita dalam berbagai dosa, dan semakin dashyat penghakiman Allah atas diri kita.

Christmas 2005 in Singapore

Relaxing at the pool side of Marina Mandarin Singapore with my daughter, Tiffany, last Christmas 2005. My wife was having an academic conference there (hence, the luxury hotel!), and I was just tagging along. During my stay in Spore, I spoke at an Indonesian Christian retreat attended by NTU students and alumni from Indonesian Graduate Christian Fellowship.

Learning from the Past: New year's sermon

My sermons on the 25th of Dec and 1st of Jan entitled 'Past, Present, and Future' were focusing on how we as Christians are supposed to respond accordingly towards the past and the future in order to live effectively in the present. Let me first share about our attitudes towards the past:

The Past
I noticed people tend to dwell on the past and/or neglect the past altogether. As much as we wanted to, I think human being are incapable of completely erasing our past memories. And the past will to a certain extent shape who we are today. On the one hand, we should not dwell in the past. It's been well said that we are the products of the past, but should not be the prisoners of the past. On the other hand, we should not neglect the past, but ought to learn from it and change. People say experience is the best teacher. I simply disagree. Reflection on the experience is. We can have many experiences, but never learned a single thing from it.

In Genesis 50 we read the account of Joseph finally met face to face with his brothers. They were all scared to death. Their dad, Jacob, had died, and all they could think of is Joseph's vengeance towards their evil acts. They were even willing to be his slaves. Yet, to their shocking surprise, Joseph said: "You intended to harm me, but God intended it for good to accomplish what is now being done, the saving of many lives."

Joseph was not trapped in the past. He saw his past painful experiences as special ways in which God shaped him for his future. When he was sold as a slave by his brothers, God walked with him. When he was accused by Potifar's wife and jailed, God strengthened him. He did not blame anyone nor the circumstances. When Joseph looked at the past, all he saw is God's faithfulness towards him. All those tough moments in his past has been the 'school of suffering' that God put him into. The purpose? To be the most effective logistic manager/political leader in the entire Egypt.

The Bible chronicles many characters who, in obedience to God's call, had to go through many uncertainties in their lives. Job, for example, was faced with an extreme dose of harsh reality that made him shaken to his core. He did not know how to live in his present time. He groaned, and questioned God. But as Philip Yancey wrote, God did not answer Job, He exploded. Instead He reminded Job of their respective positions as Creator and created, Infinite and finite, God and man.

I can relate easily with Job, but not with Joseph. Whenever things get rough, I remember Job, which reminded me that my problems are no where near his. Not in a million years. Once I tried to seek a satisfying answer from the Bible on how I should live in the midst of the uncertainties. But there were no such answers. What I found was this. God repeatedly introduced Himself as the God of Abraham, Isaac, and Jacob. He kept reminding the Israelites: Remember that I am their God who is sovereign and prove Myself faithful to My promises. Isn't that beautiful? I don't know about you, but drinking on that gives me strength to face the present and future time.

In fact, isn't that what faith is all about? Faith is trusting God for the future on the basis of what He did in the past generations after generations. Don't get bogged down with the past, or anxious about the future. Face the new year with the courage from God knowing that we can hold His sovereign hands.

Jan 10, 2006

Jan 6, 2006

My family

My life would never be the same without these people. My wife LyFie, my daughter Tiffany, and my son Calvin together help maintain my sanity in this frantic world. In between changing nappies and going about doing my daily work, I thank God for these gifts from above.

Hello...

I am still learning this not-so-new tech, but I can finally say to myself: "Go Blog!" (which unfortunately means 'stupid' in Indonesian).