Sep 3, 2007

Pernikahan Kristen (3)

“Suami, Kasihilah Istrimu”

Bagaimana kita mengerti peran suami terhadap istri dalam pernikahan Kristen?

Bila pernikahan Kristen adalah sebuah drama hidup yang melukiskan relasi Kristus terhadap gerejaNya, maka peran suami terhadap istri seharusnya adalah fotocopy dari peran Kristus terhadap gerejaNya. Demikian juga peran istri terhadap suami juga mestinya fotocopy dari peran gereja terhadap Kristus. Inilah misteri terbesar dalam pernikahan Kristen.

Dari Efesus 5:21-33, ada beberapa hal yang kita bisa pelajari tentang peran suami, dari kacamata paradigma Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan.

1. Penciptaan.

Alkitab jelas mengajarkan bahwa suami adalah kepala dan istri adalah tubuh. Dan memerintahkan agar suami mengasihi istri dan istri tunduk kepada suami dalam segala hal (Ef 5:23-25). Hal ini ditulis bukan karena Paulus seorang chauvinist yang selalu memandang rendah wanita, bukan juga karena budaya Yahudi atau Yunani pada waktu itu yang juga menganggap wanita hanya sebagai ‘aset’.

Kita tahu hal itu karena Paulus mendasarkan tulisannya bukan pada pendapat pribadinya atau budaya saat itu, tetapi pada penciptaan (Ef 5:31; 1 Kor 11:7-12; 1 Tim 2:13). Ketika Yesus ditanya orang Farisi tentang perceraian, Yesus juga mengembalikan konsep pernikahan kepada penciptaan (Markus 10:6-8). Intinya, bahwa suami adalah kepala atas istri dan keluarganya adalah design Allah dari sejak awal.

Status dan harga diri pria dan wanita sama dimata Allah. Yang berbeda adalah peran dan tanggung jawab suami dan istri. Jika kita mengakui bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang diinspirasikan olehNya, kita percaya bahwa design Allah ini adalah yang terbaik bagi kebahagiaan hidup manusia. Dan betapa banyak kasus-kasus riil yang merujuk kepada realita bahwa Allah menciptakan dalam diri wanita sebuah kerinduan batin yang terdalam berharap suami menjadi pemimpinnya seperti Kristus yang berkorban sampai titik akhir mengasihi gerejaNya. Tidak ada wanita yang menolak suami yang sedemikian.

2. Kejatuhan.

Design Allah tersebut telah dirusak oleh dosa.

Suami yang semestinya mengasihi istrinya dengan kasih yang berkorban berubah menjadi salah satu dari jenis berikut:
(a) suami otoriter yang abusive atau
(b) suami yang tidak peduli dengan istri dan keluarganya.

Istri yang semestinya tunduk pada suaminya dengan sukacita dan sukarela berubah
(a) merasa tidak butuh suami dan mendominasi suaminya atau
(b) tunduk karena ada maunya, ada niat hati yang manipulatif.

Karena dosa, muncullah gerakan feminisme (women’s liberation), yaitu protes terhadap suami/pria yang mengecilkan status istri/wanita. Perjuangan menghapus berbagai perlakukan ekstrim yang dialami oleh wanita di berbagai belahan dunia seharusnya perlu didukung oleh gereja. Namun kesalahan kaum feminis adalah saat mereka berjuang melawan kesewenang-wenangan pria, mereka bukan saja menggeser pria tetapi juga mengambil tempat pria sebagai kepala. Inilah akibat dosa yang membuat design Allah terbolak-balik.

3. Penebusan.

Penebusan Kristus di atas kayu salib menjadi titik balik yang mengembalikan peran suami dan istri sebagaimana mestinya sesuai design Allah. Seperti Kristus, suami mengasihi istrinya dan menyerahkan diri baginya, memimpinnya untuk hidup kudus dan tak bercela, mengasuh dan merawatnya seperti tubuhnya sendiri (Ef 5:25-29).

Konkritnya suami perlu menjadi pemimpin dalam area spiritual dan fisikal. Suami memiliki tanggung jawab utama (meski bukan satu-satunya) membawa istri dan anak-anaknya hidup bergaul dengan Tuhan dalam firman dan doa. Suami tidak bisa cari alasan dan berkata pada istrinya, “Gini deh, gua yang bagian cari duit, yang realistis, lu yang urus soal rohani-rohani, yang idealis.”

Suami juga bertanggung jawab memberikan perlindungan rohani bagi istri dan anaknya dengan berdoa senantiasa bagi mereka tanpa putus, agar mereka terjaga dari segala tipu daya Iblis, dunia, dan diri mereka sendiri. Salah satu implikasi konkrit adalah suami perlu berinisiatif untuk melakukan rekonsiliasi setiap kali ada konflik antar dia dan istrinya, atau dia dan anak-anaknya, meski yang salah bukan sang suami (Ef 4:26-27). Karena seperti Kristus yang terus-menerus berinisiatif mencari dan berdamai dengan gerejaNya, demikian suami berinisiatif untuk rekonsiliasi.

Dalam area fisikal, suami memiliki tanggung jawab utama (tapi bukan satu-satunya) untuk bekerja mencukupkan kebutuhan keluarganya. Tentu tidak salah bila baik suami maupun istri dua-duanya bekerja. Namun bila istri kerja sementara suami tidak (karena penyakit atau studi atau lain hal), ada sebuah bagian penting dalam diri pria yang hilang dan berakibat fatal bagi persepsinya dan persepsi orang lain terhadap dirinya. Ada sesuatu yang tidak selaras dengan design Allah bila pria tidak bekerja.

Suami juga berperan menjaga istri dan anak-anaknya dari berbagai bahaya-bahaya fisik, itu sudah jelas. Dia harus berada di garis paling depan, siap mengorbankan nyawanya demi istrinya. Bukan karena romantis, tetapi karena Kristus meneladankan hal tersebut saat Ia berkorban bagi gerejaNya.

Dalam kasus-kasus penyelewengan istri yang melibatkan PIL (Pria Idaman Lain), ketika ditanya apa yang menyebabkan si istri tertarik pada pria lain, jawaban yang paling sering muncul adalah “Dia membuat aku merasa seperti wanita lagi, dikasihi, diperhatikan, dan dilindungi.” Komentar seperti ini menyedihkan, dan tidak perlu terjadi apabila setiap suami menjalankan perannya seperti Kristus.

No comments: