Sep 3, 2007

Pernikahan Kristen (2)

“Telanjang, tetapi tidak Malu”

Dalam drama penciptaan dunia, semua hal yang Allah ciptakan Ia nyatakan sebagai baik adanya. Namun ketika Ia menciptakan manusia pertama, Allah menyatakannya sebagai amat baik (Kej 1:31). Yang menarik adalah dalam proses tersebut yang semuanya baik dan amat baik tersebut, Allah lalu menyatakan bahwa ada satu hal yang tidak baik, yaitu masalah kesepian yang dialami Adam.

Maka dengan kepedulian dan rasa humor, Allah berinisiatif mengadakan sebuah acara khusus "Adam Berburu Pasangan Sepadan." Dalam acara itu, Ia memerintahkan semua binatang untuk berbaris rapi dalam sebuah parade untuk memperagakan kecantikan mereka masing-masing. Namun setelah merak, kangguru, sampai gorilla jungkir-balik mencoba mencuri hati pria idaman tersebut, Adam menemukan bahwa tak satupun dari kecantikan mereka yang menarik hati Adam.

Singkat cerita, Allah intervensi dan membuat Hawa dari rusuk Adam. DisuruhNya Adam tidur ketika semua itu terjadi (total anesthetic pertama kali di dunia!). Perhatikan bagaimana Allah bukan saja kemudian mencipta Hawa dari tulang rusuk Adam, tetapi membawa Hawa kepada Adam. Allah tidak berbeda dengan seorang Father of the Bride yang berjalan menyisir aisle gereja membawa putrinya kepada sang calon suami.

Sungguh Allah kita seorang Wedding Planner yang Agung. Kedua mempelai dinyatakan oleh Alkitab dalam keadaan telanjang, namun tidak merasa malu (Kej 2:25).

Kenapa tidak malu? Dalam pertanyaan inilah terkandung arti penikahan Kristen yang kita coba lihat dari kacamata paradigma Penciptaan (Creation), Kejatuhan (Fall), dan Penebusan (Redemption):

1. Penciptaan.

Dalam taman Eden sebelum dosa ada, mereka tidak malu meski telanjang. Karena Adam dan Hawa memiliki tubuh yang sempurna tanpa harus mengikuti Dr Atkins’ Diet atau mendaftar sebagai anggota gym/fitness centre. Allah menciptakan keindahan tubuh mereka tanpa cacat samasekali, sehingga mereka tidak perlu malu karena tidak ada hal apapun yang dapat membuat mereka malu.

Tetapi hal tersebut bukan alasan utama. Karena perasaan tidak malu di ayat 25, didahului oleh pernytaan “keduanya menjadi satu daging” di ayat 24. Artinya suami dan istri menikah bukanlah sebuah eksperimen, dan pernikahan bukan tentang sebuah status saling mencintai. Pernikahan Kristen adalah sebuah perjanjian (covenant) yang dipegang seumur hidup oleh seorang pria dan wanita di hadapan Allah. Karena kasih perjanjian ini, mereka tidak malu dalam hal apapun terhadap satu sama lain. Bukan saja dalam hal seksual, tetapi juga emosional, intelektual, relasional, dsb. Saat seorang pria dan wanita menjadi satu daging dalam institusi pernikahan, maka tidak perlu ada rasa malu. Implikasinya penting sekali bagi suami-istri.

Hari ini suami dan istri tanpa malu dapat curhat mengutarakan kelemahan, mengakui kesalahan, dan menyatakan ketakutan dan harapan mereka masing-masing tanpa merasa malu.
“Saya tidak malu bukan karena saya dicipta sempurna maka tidak perlu takut dicemooh atau ditolak olehmu. Saya tidak malu karena meski saya tidak sempurna, saya tahu kita saling mengasihi dengan kasih perjanjian yg kita buat dihadapan Allah.”

2. Kejatuhan.

Segera setelah suami-istri pertama tersebut jatuh dalam dosa, mendadak mereka sadar akan sesuatu: Mereka sedang dalam kondisi telanjang!

Menarik mengamati bahwa konsekuensi pertama dari dosa adalah timbulnya rasa malu (shame) dan rasa bersalah (guilt). Buru-buru mereka mencari daun-daunan dan mencoba bersembunyi dari Allah. Apa yang sebenarnya terjadi?

Fondasi kasih perjanjian itu runtuh. Rasa percaya antar suami-istri dan rasa aman tersebut itu rontok. Mereka merasa exposed, merasa vulnerable baik secara fisik maupun emosional. Saling curiga menyusup masuk dalam pernikahan. Adam berpikir, “Mana mungkin aku bisa percaya lagi pada istriku yang telah mempedaya aku makan buah terlarang itu?” Hawa juga tidak kalah sibuk berpretensi “Suamiku bisanya menyalahkan aku, tidak bakal deh aku percaya lagi sama dia. Aku urus diri sendiri saja!”

Demikianlah sejak saat itu sampai hari ini, keterbukaan dan transparansi hilang dan diganti dengan kecurigaan dan kepentingan diri. Untuk dapat telanjang secara batin terlalu menakutkan, karena akan ada penilaian dan kecaman yang akan memalukan dari sang suami atau istri.

3. Penebusan.

Allah tahu bahwa solusi manusia terhadap dosa akan gagal total. Upaya Adam dan Hawa menutupi keterlanjangan mereka dengan daun tidak akan cukup. Maka kita melihat dalam kitab Kejadian Allah yang penuh belas kasih memberi mereka pakaian dari kulit binatang.

Kulit binatang tersebut adalah sebuah simbol, sebuah statement, sebuah kesaksian bahwa Allah akan membuat segalanya kembali seperti sebagaimana mestinya. Kulit binatang itu melambangkan Anak Domba Allah yang tersembelih untuk menutupi dosa manusia, sehingga kita dimampukan memiliki jubah kebenaran, yaitu Kristus sendiri. Kita mengenakan Kristus, tulis Paulus kepada jemaat Galatia. Kematian Kristus di atas salib bagi gerejaNya menjadi titik balik yang mengembalikan pernikahan Kristen sebagaimana design Allah di awal.

Itu sebab dalam Kej 4:1, kita menyaksikan bagaimana pernikahan dikembalikan oleh Allah kepada status semula. Alkitab Inggris versi KJV menulis sbb: “Adam knew his wife, and she conceived.” Kata “knew” yang dipakai disana untuk melukiskan hubungan seksual memberitahu kita bahwa pengenalan yang paling transparan dan intim itu dapat terjadi dalam (dan hanya dalam) institusi pernikahan antar suami dan istri (bukan suami atau istri orang lain). To be known and still be loved is the supreme goal of marriage. Kita menyatakan segala sesuatu pada diri kita pada suami/istri kita, dan tetap dicintai. Inilah pemulihan Allah pada pernikahan Kristen.

2 comments:

Anonymous said...

Dear,
Bagaimana sebaiknya seorang Kristen yang telah bercerai (krn pasangannya selingkuh & menikah lagi), yang punya keinginan untuk menikah lagi karena kerinduan yg besar untuk dikasihi dan mengasihi, memuliakan Tuhan dan mendapatkan persahabatan?
Dikaitkan dengan pengajaran Rasul Paulus di dalam I Korintus dan Injil Matius ttg pernikahan Kristen, apakah seseorang yg telah bercerai kemudian menikah lagi disebut melakukan berzinah?
Mohon penjelasan..
Terima kasih, Tuhan Yesus Memberkati...

Heince Mangesa

Anonymous said...

Banyak kasus KDRT di alami perempuan terhormat dan simpatik, yang memicu perceraian. Salah satu kekerasan tsb adalah, sang pria berselingkuh, kemudian memperoleh anak dari hasil selingkuhannya. Karena perempuan yg diselingkuhi tidak punya penghasilan sendiri, maka pasangan perempuan meminta cerai supaya pasangan pria nya dpt menikah dgn perempuan yg diselingkuhinya.
Pasangan perempuan ini, harus mengambil keputusan tsb dengan hati yg hancur. Ia begitu mencintai anak-anaknya dan suaminya, sekalipun ia telah dibohongi dan dikhianati. Tetapi ia juga menaruh kasih yang besar kepada perempuan selingkuhan suaminya dan anak hasil seligkuhan suaminya.
Bila ia bertahan, menerima kembali suaminya... siapa yg akan memberi makan perempuan itu dan anaknya? siapa yang akan menjaga mereka?

Saudaraku... 5 tahun lamanya perempuan yang di khianati itu, hidup bertiga saja (2 anak).
Kalau sekarang, ia punya kerinduan untuk menikah lagi, pasangan sebagai teman dalam suka/duka, & memperoleh pendukung dlm hidupnya..
masih bolehkah ia menikah untuk yg terakhir! dengan pasangan yg sungguh-sungguh akan memuliakan dia dan memuliakan Tuhan??

Terima kasih...