Bagaikan sandwich, hidup kita di dunia ini berada diantara tangisan bayi di rumah sakit dan tangisan kesedihan diseputar peti jenazah. Kedua tangisan tersebut menjadi bingkai kehidupan yang mengingatkan kita betapa keras, sulit, dan penuh derita hidup ini.
Namun toh, tujuh puluh atau delapan puluh tahun hidup kita di tengahnya dipenuhi gelak tawa, canda, dan gurau. Dan itulah yang what matters! Bagaimana kita menjalani hidup yang ujung dan akhirnya telah ditentukan dari awal?
Prinsip hidup macam apa yang hari ini membentuk hidup kita? Karena hidup ini menawarkan berbagai kekuatan yang akan menarik, mengarahkan, membentuk hidup kita. Berikut beberapa contoh:
• Hidup itu adalah pengorbanan:
“I believe there's a hero in all of us, that keeps us honest, gives us strength, makes us noble, and finally allows us to die with pride, even though sometimes we have to be steady, and give up the thing we want the most. Even our dreams” (Aunt May pada Peter Parker dalam Spiderman 2).
• Hidup harus selalu fast-paced, penuh adrenaline:
“'If everything seems under control, you're just not going fast enough!” (Mario Andretti, juara dunia Formula 1).
• Hidup itu jangan percaya orang, tapi percaya diri sendiri:
“Only the paranoid survives” (Andy Grove, CEO, Intel, statement yang juga jadi judul bukunya).
• Hidup ini adalah masalah stamina menghadapi kesulitan:
“That which does not kill us makes us stronger” (Nietzsche, filsuf Jerman)
• Hidup ini harus bahagia:
“Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” (Motto sebagian kaum young urban professional Indo)
• Hidup ini mesti ikut apa kata Pencipta kita:
”Wong kuwi kudu tansah eling marang karo sing ndhuwur” (Mbah Sunem – terjemahan: Orang itu mesti selalu ingat sama yang atas.”
• Hidup ini cuma mimpi dan kebohongan:
“The Matrix is everywhere. It is the world that has been pulled over your eyes to blind you from the truth . . . That you are a slave, Neo. Like everyone else you were born into bondage. Into a prison that you cannot taste or see or touch. A prison for your mind.” (Penjelasasn Morpheus pada Neo dalam The Matrix).
Percayalah bahwa masih ada segudang lagi prinsip hidup di dunia ini. Orang digerakkan oleh rasa bersalah, rasa takut, rasa ingin membuktikan diri, dan lain sebagainya. Kalau kita berpikir, “Ah, masa bodoh dengan semua itu. Gua mah kagak peduli. Pokoknya gua jalani aja apa yang ada dalam hidup gua hari ini. Ga perlu prinsip!” Well, itu artinya prinsip hidup Anda adalah hidup tanpa prinsip. Bahasa kerennya: Qui Sera Sera. Whatever will be, will be.
Setiap kita menjalani roda kehidupan dari lahir-sekolah-kuliah-menikah-punya anak-punya cucu-pensiun-mati (ada juga yang pilih untuk nge-jomblo agar hidup lebih efisien). Waktu bayi, kita memakai roda pram. Di masa tua, roda tersebut berbentuk kursi roda. Di tengahnya, kita dapat mengisi hidup ini dengan berbagai macam prinsip, cara, dan gaya hidup.
Stephen Covey dalam bukunya yang laris manis 7 Habits of Highly Effective People menganjurkan pembacanya untuk membayangkan sebuah upacara penguburan. Anda datang ke upacara tersebut, melihat orang yang terisak menangis di sebelah kanan dan kiri peti jenazah. Dan ketika Anda mendekati peti tersebut, Anda begitu kaget. Karena yang terbaring disana adalah Anda sendiri. Belum habis kekagetan Anda, tiba-tiba dipanggil maju ke depan tiga orang bergantian untuk menyampaikan kesan pesan (eulogy) mereka tentang hidup dan diri Anda. Satu orang mewakili kelurga, satu orang mewakili kolega di tempat kerja, dan satu orang lagi mewakili sahabat main.
Covey lalu bertanya, “Hidup macam apa yang Anda harap akan disampaikan oleh ketiga orang penting dalam hidupmu? Legacy macam apa yang ingin Anda tinggalkan?” Latihan mental seperti ini saya kira perlu (meski agak mengerikan ngebayangin-nya). Kita perlu memulai hidup ini dengan mendefinisikan akhir hidup kita terlebih dahulu, lalu menjalaninya dengan terbalik. Mulai dengan akhir, jalani hidupmu dengan terbalik.
Jika kita tidak melakukan itu, mungkin kita akan mengalami perasaan kecewa dan kegagalan di akhir hidup kita. Karena hidup ini tidak kita jalani baik-baik. Itulah yang dialami Napoleon Bonaparte, jendral perang dan kaisar Prancis yang begitu agresif dan sukses membangun kekaisarannya. Saat ia akan mati, menurut legenda, ia meminta agar di peti matinya dibuat sebuah lubang di sebelah kiri dan sebuah lubang di sebelah kanan. Ketika ditanya untuk apa kedua lubang tersebut? Dia berkata bahwa kedua lubang itu untuk tangan kanan dan tangan kirinya. Dia ingin menunjukkan pada dunia, bahwa sama seperti kelahiran, saat kematian tiba, tidak ada satu pun yang dari posisi, materi, kuasa yang ia peroleh di dunia ini dapat ia bawa.
Setiap kali ke Melbourne airport bagian internasional, saya suka memperhatikan respon wajah orang-orang yang sedang menjemput orang-orang yang mereka kasihi. Ada yang siap-siap menjepret dengan kamera. Ada yang membawa bunga. Dan ketika yang ditunggu datang: “Ahhhh!” Teriakan gembira langsung disusul dengan pelukan dan cium kasih bertubi-tubi. Itu di bagian kedatangan.
Di bagian keberangkatan internasional, pemandangan yang jauh berbeda terjadi. Bukannya gelak tawa dan senyum lebar, tetapi air mata dan kesedihan hati yang menghiasi perpisahan orang yang pergi dan yang ditinggal.
Di tengah gelak tawa dan air mata itu, hidup kita di Melbourne kita jalani. Hidup sembarangan atau penuh arti, itu menjadi pilihan kita. Rutinitas studi, kerja, bersosialisasi, dan kegiatan waktu santai, semua itu menjadi refleksi prinsip hidup kita (or the lack of it). Setelah semua kesibukan kita studi dan kerja, shopping di Myer, makan di Ying Thai, ngafe di Starbucks, dan seterusnya, maka yang tersisa adalah sebuah pertanyaan di kepala: Apa sih yang menggerakkan hidup saya hari ini?
No comments:
Post a Comment