May 7, 2008

Asumsi Dasar Kotbah di Bukit

Pernahkah Anda berpikir bahwa aktivitas keseharian hidup kita kita mampu lakukan karena kita telah memiliki beberapa pengetahuan yang mendasar tentang hal-hal yang berada disekeliling aktivitas tersebut, karena kita memiliki apa yg disebut sebagai conventional knowledge. Apa itu conventional knowledge? Berikut sebuah contoh sederhana.

Saat Anda memakai credit card membayar barang belanjaan di toko, Anda pasti memiliki conventional knowledge minimal yang mendasar tentang akuntansi dan sistem perbankan, tentang konsep income dan expenses, tentang konsep withdrawal, credit limit, ttg PIN (personal identification number), tentang interest rate, dst. Jika orang yg menjadi sales assistant tidak mengerti semua konsep ini, saat Anda hendak membayar bukan dengan uang cash, tapi dengan kartu plastik kecil, dia akan anggap Anda tidak waras. Sekarang bayangkan Anda hidup sebelum tahun 1950 ketika credit card belum ditemukan, maka Anda memiliki coventional knowledge perlu uang cash. Kemana-mana beli dengan uang tunai. Setelah tahun 1950, maka perilaku dan pola kita berjual-beli berubah drastis. Memakai credit card menuntut kita untuk memiliki pengetahuan, asumsi, pengertian yang baru.

Dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, hal yang sama juga berlaku. Sejak kita mengenal Kristus, seharusnya ada conventional knowledge yang kita miliki. Ada asumsi dan pengertian yang mendasar yang kita perlu terima dan terapkan bila kita ingin hidup menanggalkan manusia lama kita dan mengenakan manusia baru kita di dalam Kristus. Saat kita bekerja, studi, pacaran, mendidik anak, berelasi dengan orang lain, maka kita harusnya memiliki conventional knowledge yang akan mendasari semua aktivitas kita sehari-hari tersebut. Salah satu conventional knowledge tersebut adalah standard nilai apa atau siapa yang kita jadikan patokan atau pegangan dalam semua kegiatan tersebut.

Carson dalam bukunya Jesus’ Sermon on the Mount menulis, “Dunia yang kita tinggal ini milik Allah, oleh sebab itu tidak ada berkat yang lebih besar, yang lebih tinggi dibanding disetujui oleh Allah."

Approved by God. Diberkati oleh Allah. Diperkenan dan direstui oleh Allah. Dipuji dan diberi ucapan selamat oleh Allah. Dinyatakan dan dinilai oleh Allah layak dihadapanNya. Tidak ada sapaan yang lebih indah dan perasaan yang lebih bahagia dan berkat yang lebih besar dibanding mendengar Allah berkata “You are my beloved Son; with you I am well pleased.” Kalimat tersebut diberikan Allah Bapa kepada AnakNya, Yesus Kristus, saat Ia dibaptis, yang dicatat dalam Lukas 3:22.

Mari kita memeriksa diri kita berkat, persetujuan, dan pujian siapa yang kita cari dengan begitu rajin di dunia ini. Jika approval dari bos kita, yang kita anggap sangat penting dan berpengaruh besar terhadap karir kita, kita anggap lebih penting daripada approval dari Allah, maka kita akan begitu peduli dengan Delapan Deklarasi Bahagia dari Allah ini.

Bila kita lebih peduli dengan penerimaan dan persetujuan orang yang kita kasihi dalam hidup kita, suami, istri, anak, orang tua, pacar, si pria atau wanita yang kita sedang impikan menjadi calon teman hidup kita, kita rela berbuat apa saja asal mereka senang dan tidak menolak kita, maka kita tidak akan pusing dengan apa yang Allah katakan dalam Delapan Ucapan Bahagia ini. Allah berkata, Berbahagialah yang orang yang miskin di hadapan Allah, Berbahagialah orang lemah lembut, respon kita: “Who cares?” So What? Siapa peduli? Siapa takut?”

Namun bila Anda berkata dalam hati kecil Anda dengan pribadi dan sungguh-sungguh, “Tuhan, aku mau hidupku yang sementara di dunia yg fana ini, diperkenan oleh Tuhan. Jika aku yg hina, yg berdosa ini, yg remeh ini dapat merindukan Tuhan berkata “Aku berkenan kepadaMu”, itu sebuah anugerah yg besar dan aku ingin hidup didalamNya, sepanjang sisa umurku berjuang untuk menyenangkan hati Tuhan."

No comments: