May 16, 2008

Dukacita yang Membawa Sukacita

Kita menangis untuk banyak hal. Kita menangis bila kita ditinggal pergi oleh orang-orang yg kita kasihi. Kita menangis jika kita gagal dalam ujian. Kita menangis jika kita diputuskan oleh pacar. Kita menangis bila kita difitnah oleh rekan kerja kita atau dimanipulasi oleh bos kita. Kita menangis bila disalahmengerti oleh suami, istri, anak, pacar kita. Kita menangis bila ada kesulitan menimpa hidup kita. Kita menangis bila tubuh kita menderita penyakit tertentu. Kita menangis dalam semua hal itu. Dan itu wajar. Itu manusiawi.

Abraham menangis ketika istrinya meninggal (Kej 23:2). Pemazmur menangis saat ia merasa sendirian ditinggalkan Allah dalam penderitaannya (Mz, 42:1-3). Timotius menangis saat ia merasa BT, frustrasi dalam pelayanan (2 Tim 1:3-4).Dan saat kita datang kepada Allah, Ia yang adalah sumber penghiburan akan menghibur kita. Namun penghiburan Allah dalam semua hal itu tidak datang bersama dengan pernyataan Allah bahwa Ia berkenan kepada kita. Air mata kita bukan air mata yg membuat kita disebut berbahagia. Our tears are not blessed tears.

Air mata yang diberkati Allah adalah air mata yang kita cucurkan meratapi dosa-dosa kita dan dosa-dosa orang lain.

Apakah kita menangisi dosa kita sebagai perwujudan natural penyesalan kita dan komitmen kita meninggalkan dosa tersebut? Menangisi dosa adalah respon emosional yang menjadi tanda konkrit sikap hati kita terhadap dosa. Jika kita tidak pernah meratapi dosa kita sendiri, mungkin kebencian kita terhadap dosa tidak pernah menyentuh aspek kehendak (affect) kita, namun hanya sebatas retorika "Orang Kristen harus membenci dosa". Jadi di kepala kita benci dosa, di hati kita sangat toleran terhadapnya. Jika dalam deklarasi kebahagiaan yang pertama "Berbahagilah mereka yang miskin dihadapan Allah" adalah sebuah sikap intelektual, maka deklarasi kedua "Berbahagilah mereka yang berdukacita" adalah respon emosional yang muncul secara natural terhadap dosa. Kalau kita tidak pernah menangisi dosa sendiri, saya pikir sulit bagi kita untuk dapat menangisi dosa orang lain.

Pemazmur menulis, “Air mataku berlinang seperti aliran air, karena orang tidak berpegang pada TauratMu" (Mzm 119:136). Saya bayangkan ketika pemazmur menulis doanya kepada Allah, hatinya sedang berpikir tentang orang-orang yang hidup di luar Allah, tidak peduli terhadap Allah, dan merasa tidak butuh Allah, dan air matanya menetes, dan menetes, dan terus menetes, membasahi halaman-halaman buku doanya. Hal yang sama dialami oleh Yeremia yang menangisi orang-orang yg akan dihakimi Allah karena dosa-dosa mereka “Sekiranya kepalaku penuh air dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh” (Yer 9:1). Terhadap guru-guru palsu yang berkeliaran di gereja-gereja Tuhan, yang perkataannya menjalar seperti penyakit kanker, mengacaukan jemaat, rasul Paulus berkata, “Kunyatakan pula sekrang sambil menangis, banyak orang hidup sebagai seteru salib Kristus.” Dalam 2 Korintus 12:21, rasul Paulus menulis kepada jemaat korintus ttg kekuatirtannya: “Aku kuatir … bahwa aku akan banyak berdukacita terhadap banyak orang yang dimasa yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan tidak kesopanan yang mereka lakukan.” Sejarah gereja dipenuhi dengan linangan air mata orang-orang seperti Calvin, Whitefield, Wesley, Wilberforce, dst.

Bagaimana dengan Anda dan saya? Seringkali kita hanya cuek akan dosa dunia, dosa orang-orang yang terjadi di sekeliling kita, Atau kita ikut mengutuki dosa mereka. Kita menyatakan kejijikan kita atas dosa-dosa mereka. Tetapi perhatikan sikap Yesus di Matius 23. Yesus memang mengutuki orang-orang Farisi yang merasa diri benar dan tidak butuh Allah. Namun sikap tersebut tidak keluar dari hati yang pahit dan benci terhadap mereka. Di akhir pasal tsb, Yesus berkeluh kesah, menangisi Yerusalem: ”Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu. Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya dibawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau”

Bagaimana dengan Anda dan saya? Jujur saja bahwa tidak seperti pemazmur, buku doa saya basah bukan karena linangan air mata, tetapi karena kopi saya tumpah kesenggol. Bahkan buku doa saya itu banyak halaman kosongnya, karena saya tidak pernah pakai buku doa syafaat. Memiliki compassion terhadap orang lain sbgmana Yesus melihat kerumunan orang banyak seperti domba yang lelah dan terlantar tidak bergembala adalah sebuah kapasitas rohani yang penting. Dan itu salah satu area dimana saya perlu banyak belajar.

Bagaimana kita dapat bertumbuh dan belajar dalam area tersebut? Berikut kutipan dari Don Carson dari bukunya Jesus’ Sermon on the Mount:
The Christian is to be the truest realist. He reasons that death is there, and must be faced. God is there, and will be known by all as Savior or Judge. Sin is there, and is unspeakably ugly and black in light of God’s purity. Eternity is there, and every living human being is rushing toward it. God’s revelation is there, and the alternatives it presents will come to pass: life or death, pardon or condemnation, heaven or hell. There are the realities that will not go away. The man who lives in the light of them, and rightly assesses himself and his world in the light of them, cannot but mourn. He mourns for the sins and blasphemies of his nation. He mourns for the erosion of the very concept of truth. He mourns over the greed, the cynicism, the lack of integrity. He mourns that there are so few mourners.

No comments: