Jul 29, 2008

Children Desiring God

I came across this good website on Children Ministry, Children Desiring God, which was initiated by the Michaels who direct Parenting and Children's Discipleship at Bethlehem Baptist Church in Minneapolis, Minnesota (which John Piper pastors). Their children bible study materials are biblically thoughtful, age appropriate, and contemporary, and I think will benefit every parent and every individuals involved in childrens' ministry.

The website offers free downloadable audio files and handouts on various aspects of children ministry in the church, including their conference sessions which includes speakers like John Piper, CJ Mahaney, and Wayne Grudem. Some of the sessions delivered by the CDG staff which interest me:
- Presenting the Gospel to Children
- Encouraging God-esteem in a culture of self-esteem
- Great Truths for Small People: Teaching the Sovereignty of God to Children

Jul 27, 2008

Bebas dari Ikatan Pornografi

David Powlison menulis sebuah artikel yang baik berjudul Breaking Pornography Addiction di website Christian Counseling & Educational Foundation. Berikut cuplikan dari apa yang ia tulis:
Going in the right direction in your struggle with pornography means learning to fight your temptation to sin, to handle your guilt when you fail, and to understand and avoid the circumstances in which you are tempted. Making progress in these three areas does not mean you will suddenly get teleported from the mire in which you now live to the mountaintop of freedom from all temptation. Change in these areas means taking many small, incremental steps in the right direction. For example:

A decrease in the frequency of a sin is progress. It’s not good that you are still indulging in pornography, but if you are doing it less, you are going in the right direction.

A change in the actual nature of the sin is progress. If you are no longer having an affair or premarital sex, and now you are battling pornographic fantasy, it’s good that your struggle has changed from your actions to your imagination.

A change in the battleground is progress. When your battle has moved from purchasing materials or going onto explicit internet sites to battling the old fantasy tapes that are still in your mind, that’s movement in the right direction.

HT: Challies

Jul 26, 2008

Seminar Pdt Benny Solihin - Sesi 3

Di sesi terakhir, pak Benny menyampaikan kotbah tentang Pelayan yang berkenan di hati Allah yang didasari dari Lukas 10: 38-42 dan Yohanes 12:1-8 dengan fokus kepada Maria. Kotbah ini dilandasi dengan sebuah concern bahwa banyak orang Kristen yang merasa bahwa ia telah dipakai Allah, namun berapa yang sungguh-sungguh diperkenan Allah. Jika kita rindu menjadi pelayan yang bukan hanya dipakai Allah, namun juga diperkenan Allah, maka ada tiga hal yang perlu kita perhatikan:

1. Memiliki prioritas, duduk dekat di kaki Allah 

Permulaan pelayanan adalah mendengar suara Allah. Ini adalah bagian terpenting, jauh lebih penting dari doktrin, skill, dan segala hal yang kita lakukan sebagai hamba Allah. Semua hamba Allah di Ibrani 11 memiliki prioritas untuk saat teduh mendengar suara Allah. Yang tidak melakukannnya dalam Alkitab adalah para nabi palsu.

Namun realita hari ini samasekali berbeda. Sebagai seorang dosen di seminari, Pak Benny mengatakan betapa sulit melatih mahasiswa seminari untuk bersaat teduh. Kalau dari alumni seminari Alkitab yang setelah lulus dan jadi full-timer, 10% saja masih memiliki kebiasaan setiap hari duduk di kaki Allah, itu sudah sangat bagus. Dengan jujur pak Benny mengatakan bahwa selama 21 tahun melayani sebagai full-timer, inilah bagian yang paling sulit dilakukan. Dia menggarisbawahi bahwa berkotbah lebih gampang daripada duduk di kaki Allah.

Yesus tidak menegur Marta sampai ia mengeluh. Kalau kita tidak memiliki relasi yang erat dengan Allah, dan kita mulai mengeluh mengkritik sana-sini, mendingan kita tutup mulut dan masuk ke kamar menangis bersama Allah.

2. Motivasi pelayanan yang jelas
Dalam Yohanes 12:1-8, kita dapat membayangkan bahwa Maria sekampung-kampungnya dia, sebagai seorang wanita ia pasti peka akan resiko yang dia akan terima saat ia harus menerobos kerumunan pria yang memenuhi ruangan yang tidak besar itu untuk menuang minyak narwastu ke kaki Yesus. Mungkin ada yang berbisik “Ada hubungan apa dia dengan Yesus” atau “Kok cari muka banget sih”. Disini kita belajar tentang motivasi pelayanan. Maria tidak peduli dengan pendapat orang lain, karena kasihnya kepada Kristus berkobar dari dalam hatinya.

Pak Benny mengutip pernyataan AW Tozer yg ia ingat-ingat terus dalam pelayanannya kepada Tuhan. Tozer mengatakan bahwa pada hari penghakiman terakhir pertanyaan yang terpenting yang Allah akan tanyakan kepada kita bukan “apa yang telah engkau lakukan bagiKu”, tetapi “dengan motivasi apa kamu melakukannya bagiKu?”

Point penting yang Pak Benny sampaikan adalah bahwa sepanjang dia mengetahui Alkitab, tidak ada hamba Tuhan dalam Alkitab yang dipuji karena prestasi pelayanannya. Petrus yang berkotbah 3000 orang bertobat tidak dipuji karena keberhasilannya tersebut. Kalau soal prestasi, Yunus lah yang harus dipuji karena ia paling hebat. Tiga hari dia berkotbah asal-asalan, “Kalau kamu tidak mau bertobat, Tuhan akan membalikkan kota ini” tanpa peduli dengan kondisi orang-orang Niniwe. Malah Yunus berharap tidak ada seorang yang bertobat. Namun hasilnya, 120.000 bertobat. Kalau soal prestasi, Nuh lah yang paling gagal. Nuh 120 tahun menginjili berapa yang berhasil dimenangkan? Enam orang, itupun anggota keluarga sendiri. Namun Tuhan tidak melihat prestasi keberhasilan pelayanan. Yang dipuji adalah kasih dan ketaatan para hamba Allah terssebut.

3. Selalu berusaha memberi yang terbaik bagi Tuhannya
Minyak narwastu murni dituangkan Maria ke kaki Yesus. Padahal semua orang saat itu tahu bahwa minyak wangi tersebut disimpannya untuk hari pernikahannya, karena setiap wanita Yahudi bekerja keras untuk dapat menabung membeli minyak tersebut. Jika 1 hari gaji kita 1 dinar, dan harga minyak itu 300 dinar, dan Maria bisa menabung 1/3 dari gajinya, maka minyak tersebut dibelinya dengan gaji dari 3 tahun kerja.

Dia merasa tidak layak untuk meminyaki kepala Yesus, maka dia mencari area yang paling rendah yaitu kaki. Namun sampai disitu pun, ia masih merasa tidak cukup, dan ia memakai rambutnya untuk menyeka kaki Yesus. Pak Benny mengatakan beberapa tahun lalu ketika merenungkan firman sampai ke bagian ini di depan komputer ia menangis. Maria memilih yang terbaik yang ia miliki dan bisa berikan dan ia persembahkan itu di kaki Tuhannya.

Apa yang terbaik dalam diri kita? Allah sudah memberi yang terbaik, yaitu Kristus bagi kita. Mengapa kita selalu berhitung dengan Tuhan? Kita berpikir kalau ikut pelayanan, waktu dengan keluarga, indeks prestasi, pendapatan menjadi berkurang. Sudahkah engkau memberi yang terbaik kepada-Nya?

Keseluruhan seminar ini ditutup dengan challenges yg disampaikan pak Benny kepada mereka yang mau re-dedikasi kepada Allah, menjadi hambaNya di segala bidang sesuai dengan jati diri kita, dan menjadi hamba Allah penuh waktu. Banyak yang angkat tangan sore tadi untuk mendedikasikan hidupnya bagi Tuhan di berbagai profesi masing-masing. Dua orang menangkat tangan untuk menjadi hamba Tuhan penuh waktu. Praise the Lord.

Di akhir seminar, kita berjabat tangan untuk berpisah. Namun sebelum itu saya sudah sempat bertanya mengundang dia datang kembali ke Melbourne tahun depan. Beliau juga meminta saya untuk membaca naskah buku yang ia akan publikasikan tentang homiletik, dan memberi masukan. Buku homiletika di Indonesia memang hampir tidak ada, dan tentu buku beliau akan menjadi sumbangsih penting bagi umat Kristiani Indonesia.

Seminar Pdt Benny Solihin - Sesi 2

Dalam Sesi 2, Pak Benny membawakan sesi tentang Tiga Karakteristik Pelayan yang Efektif.

1. Memiliki identitas diri yang jelas.
Paulus seorang penginjil, pengkotbah, penulis, dan pebisnis (tent-maker), namun dia tidak memakai berbagai posisi tersebut untuk menjelaskan siapa dirinya. Ia melihat dirinya sebagai hamba, sebagai budak dari Kristus Yesus (Roma 1:1; Efesus 1:1; Filipi 1:1))

Pak Benny menceritakan bagaimana sebelum ia menjadi hamba Tuhan full-timer, ia bekerja sebagai profesional. Dia memulai bersama rekan-rekannya sebuah persekutuan kantor di hari Jumat, yang lalu membuat rekan-rekannya memberi dia label ‘Pendeta Benny’. Dia diejek oleh kasir di perusahaan setiap kali mereka bertemu, namun suatu hari saat si kasir ini jatuh sakit, justru dia mencari pak Benny karena ingin minta didoakan. Melalui cerita ini Pak Benny mengingatkan agar kita tidak perlu malu terhadap identitas kita sebagai hamba Allah. Dimanapun dan kapanpun kita perlu bersikap dan bertingkah laku sepadan dengan jati diri kita tersebut.

2. Hidup digerakkan oleh Kehendak Allah (Kisah 18:21; 21:10-13).
Allah memanggil dia menjadi hamba Tuhan full-time ketika pak Benny bekerja di Indomobil. Dia berpikir bahwa bukankah ia sudah pelayanan 4x seminggu: Mengajar sekolah Minggu dan pra-remaja dan persektuuan kantor Jumat, dan pengurus persekutuan hari Kamis. Namun jika itu adalah kehendak Allah, maka ia belajar taat dan menyerahkan diri masuk ke seminari meski itu berarti ia harus meninggalkan karirnya.

3. Punya ketergantungan yang penuh terhadap Roh Kudus (1 Kor 2:1-5)
Pak Benny bercerita bahwa sebelum naik mimbar untuk berkotbah ia selalu berdoa dari 1 Korintus 2:1-5, khususnya ayat yang 4 dan 5: "Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh supaya iman kamu jangan bergantung kepada hikmat manusia, tetapi kepada kekuatan Allah." Jika Rasul Paulus yang begitu hebat pun bergantung pada Roh Kudus, apalagi kita. Pengalaman pelayanan seringkali membuat kita begitu mudah mengandalkan diri kita sendiri. Tanpa persiapan hati, kita nekad melayani Tuhan. Jika ini yang kita lakukan, kita tidak akan pernah melihat pekerjaan Roh Kudus dinyatakan ditengah-tengah dan melalui kita.

Seminar Pdt Benny Solihin - Sesi 1

Hari ini ada pembicara tamu dari Indonesia yg melayani di Melbourne, meski bukan di gereja kami, yaitu Pdt Benny Solihin. Saya pernah mendengar kotbah beliau dalam retreat pekerja Perkantas Jawa Timur dan sangat diberkati dengan firman Tuhan yang disampaikan. Itu sebab hari ini saya datang ke seminar pelayanan yang ia pimpin di gereja EBC yang diadakan dari Sabtu pagi-sore selama 3 sesi. Bersama saya juga datang sekitar 10 orang dari gereja kami. Karena saya bawa Macbook kesana, maka saya bisa nge-blog kotbah beliau (meski bukan live blogging), dengan izin dari Pak Benny.

Pak Benny tampil memakai kemeja khas Indonesia, batik. Saya sempat ngobrol singkat sebelum ia memulai sesi, karena memang baru pertama kali saya secara formal berkenalan. Dan dia sempat bilang pernah baca buku saya, dan senang akhirnya bisa ketemu. Padahal yang lebih senang adalah saya bisa bertemu hamba Tuhan yg bagi saya adalah salah satu pengkotbah Indonesia terbaik, yang pernah membuat kesan yg mendalam dalam diri saya dua belas tahun lalu.

Beliau datang ke Melbourne didampingi istrinya Ibu Mega yg ternyata baru menyelesaikan MA di Counseling di Calvin Seminary. Setelah puji-pujian pendek, pak Benny membacakan Efesus 2:10 sebagai dasar pembahasan sesi pertama, yang berfokus kepada keunikan jati diri anak-anak Allah. Ada tiga point penting yang ia sampaikan dari eksposisinya thd Efesus 2:1-10.

1. ‘Karena kita ini buatan Allah’
Frase tersebut mengingatkan kita kepada Kejadian 1:1 yang memberitahu bahwa Allah adalah pencipta dan penggerak utama dan pertama dunia dan segala isinya. Saat Allah yang akbar itu mencipta manusia, Paulus memakai kata ‘poema’ untuk kata ‘buatan Allah’, dimana kita mendapat turunan kata ‘poem’ atau puisi. Seperti kata pemazmur: "Aku bersyukur kepada Allah karena kejadianku dahsyat dan ajaib." Fearfully and wonderfully made.

Pak Benny menceritakan masa remajanya saat ia merasa samasekali tidak unik dan tidak khusus. Sebaliknya ia merasa sangat minder dalam soal fisik, ekonomi, dan intelektual. Dibanding adik kakaknya, paras mukanya paling sering dilewati orang. Keluarganya hidup pas-pasan, mamanya memiliki warung yang buka dari pagi sampai malam meski tidak banyak pengunjung. Papanya seorang polisi yang karena jujur segan untuk meniup sempritan untuk dapat uang sogokan. Di kelas, pak Benny berkata ia selalu mendapatkan Juara Dua (dari belakang!). Nilai matematika tidak pernah lebih dari 6. Namun dibalik semua itu, di kemudian hari dia sadar bahwa dia tetap adalah seorang yang unik karena Allah memakai dia menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu.

2. ‘Diciptakan dalam Kristus Yesus’

Keunikan orang Kristen adalah bahwa kita diciptakan dua kali. Bukan karena 'puisi' ciptaan Allah kurang baik, karena Allah berkata bahwa manusia ciptaannya ‘sangat baik’ dalam kitab Kejadian. Alasan kita diciptakan dua kali adalah karena kita jatuh dalam dosa (Ef 2:1-2). Status kita sebelum kenal Kristus adalah kita mati. Dua karakteristik orang mati, tidak berdaya melawan dosa dan mengalami kebusukan. Kita tidak berdaya terhadap dosa, bukan saja kita dipengaruhi untuk berbuat dosa, kita sendiri menghidupkan dosa dalam hidup kita. Tetapi Yesus Kristus memungut kita lagi, menulis kembali puisi tersebut dengan tetesan darah-Nya, dan kita dicipta ulang. Bukan di recycle, tetapi dicipta ulang sama sekali baru, kembali menjadi sebuah masterpiece.

3. 'Untuk melakukan pekerjaan baik'

Salvation is not by works, but it is for works. Ketika dia ingin masuk seminari untuk studi teologia menjadi full-timer, senior-nya mengatakan “Sorry, saya sudah kenal kamu 10 tahun. Dan jujur saja, kamu tidak ada bakat jadi pengkotbah.” Kalimat tersebut sangat mengecilkan dan menyedihkan hatinya. Namun pak Benny berkata, bahwa jika Allah hanya mau dia melayani di satu desa, dan hanya untuk melayani satu keluarga di desa tersebut, dan hanya 1 orang dari keluarga tersebut yang dimenangkan bagi Allah, tidak apa-apa. Karena jika itu yang diinginkan Allah untuk ia lakukan dalam hidupnya, dan ia mentaatinya, berarti 100% kehendak Allah digenapkan dalam dirinya.

Pak Benny lalu menceritakan kondisi di Indonesia yang membutuhkan partisipasi orang Kristen yang telah menerima berkat yang begitu besar dari Allah. Kita diberkati untuk menjadi berkat. Kita bukan waduk berkat, tapi kita saluran berkat. Channel of blessing.

Bagi saya mendengar sesi ini sangat encouraging, bukan karena isinya yang sangat biblikal, tetapi juga karena beliau membawakan expository preaching. Tidak banyak pengkotbah yang hari ini meng-eksposisikan firman Tuhan, dan dari jumlah yang sedikit itu, lebih sedikit lagi yang dapat membawakannya dengan kepekaan terhadap tingkat kedewasaan biologis dan kerohanian dari jemaat.

Pembicara Tamu

Karena kebeneran saya mesti ke Shanghai dan Seoul beberapa waktu lalu, maka saya off dari mimbar selama 6 minggu, dan selama itu mimbar gereja dilayani oleh beberapa pembicara tamu: Pdt Henk de Waard, Pdt Daniel Lukas, Pdt Douglas Robertson, Pdt Yung Tik Yuk. Dua minggu lagi kami juga kedatangan Pdt Stephanus Theophilus dan Ev Yuzo Adhinarta. Jadi seru juga nich bulan Juli-Agustus banyak dapat berkat rohani. Yang paling menarik saya dapat kesempatan untuk mengamati corak dan gaya penyampaian firman Tuhan yang berbeda-beda. Dan saat saya bertanya kepada jemaat, lucu nya setiap orang punya selera yang berbeda-beda. Karena hal tersebut, saya terbeban untuk membawakan mini seri 2-sesi kotbah di gereja tentang "What is a good sermon?" di bulan September.

Jul 23, 2008

Hati yang Melihat Allah

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” Matius 5:8

Ucapan bahagia Tuhan Yesus yang ke-6 ini barangkali yang tersulit untuk dimengerti. Mari kita perhatikan beberapa kata kunci dalam ayat diatas

Apa yang dimaksud dengan “melihat Allah”? Di dalam 2 Korintus 4:3-5, Paulus menulis tentang “cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus” yang tidak dapat “dilihat” oleh mereka yang dibutakan oleh ilah zaman ini. “Melihat” disitu berarti melihat Allah dengan mata rohani – suatu perjumpaan pribadi antara kita dengan Tuhan. Helen Keller, seorang wanita buta yang tulisannya banyak mempengaruhi dunia pernah mengucapkan kalimat berikut: “What would be worse than being born without sight? Being born with sight, and have no vision.” Betapa malang kita jika kita menyebut diri orang Kristen namun tidak pernah dapat melihat kemuliaan Allah yang Ia nyatakan dalam firmanNya. Hanya mereka yang “suci hatinya” yang dapat “melihat” Allah.

Apa arti “suci hatinya”? ‘Hati’ disini bukan hanya berarti perasaan atau emosi (a heart that feels), tetapi menunjuk pada totalitas diri manusia. Pengamsal berkata: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23). Dari dalam hati juga, keluar segala segala yang najis! Yesus berkata: “… dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang.” (Mt 15:19-20a). Yeremia mengeluh betapa liciknya hati manusia.

Kata “suci” yang dipakai Kristus adalah kata katharos di dalam bahasa aslinya. Salah satu turunan kata tersebut sering dipakai dalam dunia media, yaitu Catheter, sebuah alat medis berbentuk selang tipis yang berfungsi untuk menghisap cairan yang menyumbat di dalam tubuh kita. Sebuah proses pembersihan yang sangat menyakitkan. Inilah makna lugas dari kata tersebut, yaitu bersih. Jadi hati yang suci adalah hati yang bersih dari berbagai kotoran, seperti yang Yesus katakan akan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi: “Celakalah kamu … hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkan dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.” (Mt 23:25-26). John Owen di dalam bukunya Mortification of Sin in Believers berkata: “Be killing sin…, or it will be killing you!” Bagai penyakit kanker, dosa menggerogoti hati kita dan membuat kita menjadi hamba dosa, menjauhkan kita akan ketergantungan kepada Tuhan.

Arti kedua hati yang suci adalah hati yang tidak bercabang dua. Yesus berkata bahwa “tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan.” (Mt 6:24) Tidak ada jalan tengah. Mesti pilih salah satu: Allah atau Mamon. Karena jika kita mengaku orang Kristen tetapi ambisi, prioritas, keinginan hati kita adalah uang, uang, dan uang, kita tidak akan pernah melihat Allah. Pemazmur menulis bahwa hanya mereka yang “bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu” yang boleh “naik ke atas gunung Tuhan” (Mzm 24:3-4).

Jika kesucian hati menjadi prasyarat kita untuk melihat Allah, bagaimana kita dapat memiliki kesucian hati? Puji Tuhan, karena hal tersebut tidak tergantung atas usaha manusia. Allah menciptakan kesucian itu bagi kita dan di dalam kita sehingga kita bisa mengejar kesucian hati kita. Disinilah tekanan Yesus dalam kotbah di bukit.

Jika Anda dan saya menganggap diri Kristen, melakukan berbagai tindakan religius, tetapi tidak pernah memiliki kerinduan untuk mengejar kesucian hidup, kita perlu memeriksa dengan serius iman percaya kita kepada Kristus. Allah menyucikan kita terlebih dahulu, baru kita punya kerinduan untuk hidup suci, dan saat itulah kita melihat Allah, menangkap isi hati-Nya, merasakan kehadiran-Nya, mengutamakan kemuliaan-Nya.

Tanda kita sungguh-sungguh telah disucikan Allah (dan adalah orang percaya), kita akan terus rindu seperti Daud yang berseru, “Create in me a clean heart, O God” (Mazmur 51:10). Kita menjaga hati kita dengan firman Allah (Mzm 119:9-11). Seorang Kristen bersaksi bahwa di halaman depan Alkitab-nya, ia menulis: “Either this book will keep you from sin, or sin will keep you from this book!"

Firman Allah menjaga hati kita suci dihadapan Allah, dan sekaligus memampukan kita untuk melihat Allah karena Ia menyatakan diri-Nya dalam firman-Nya.

Jul 22, 2008

Karakter dan Kasih dalam Pelayanan

Tanpa karakter dan kasih, pelayanan kita kepada Allah akan menjadi sebuah lelucon yang tidak lucu yang kita lakukan secara rutin untuk mengelabui diri kita sendiri:

Karakter
Allah membentuk para hambaNya. Sebelum Allah memakai hamba-hambaNya, Ia membentuk mereka terlebih dahulu. Training Yusuf untuk menjadi PM Mesir: 13 tahun. Training Musa menjadi pemimpin massa: 80 tahun. Training Saulus di seminari Arabia untuk menjadi rasul Paulus: 3 tahun. Dengan kata lain, karakter terlebih dahulu, baru kompetensi dibangun lewat pelayanan. Apapun jenis pelayanan yang Allah berikan kepada kita – mengajar, menasihati, memimpin pujian – kita tidak dapat memberikan kepada orang apa yang kita sendiri tidak memiliki. Karakter adalah fondasi dari pelayanan.

Tanpa karakter, pelayanan hanya menjadi komedi putar rohani, bahkan menjadi ‘religious business’ yang sangat destruktif bagi jiwa kita. Orang Farisi berpikir apa yang mereka lakukan adalah pelayanan, Yesus menyebutnya kemunafikan. Karena orang Farisi lebih mengutamakan reputasi, dan bukan karakter. Mereka lebih mencari pujian dari manusia daripada kesukaan dari Allah. Apakah karakter Anda telah dibentuk oleh Allah sebelum Anda ambil bagian dalam pelayanan, dan selama Anda melayani? Mari kita menjaga diri agar pelayanan kita tidak menjadi hobby atau rutinitas yang mungkin kelihatan ‘wah’ di mata orang, namun dinilai ‘nol besar’ di hadapan Allah.

Kasih
Allah menuntut dari hambaNya. Ukuran kesetiaan seorang pelayan bukan berapa banyak orang yang bekerja dibawah dia, bahkan bukan berapa banyak orang yang dilayaniNya, namun kualitas kasih yang mendorong kita untuk melayani orang lain (termasuk mereka tergolong tipe “orang menjengkelkan”). Bukan berarti kita lalu menjadi kosetan kaki. Karena yang kita layani sebenarnya adalah Allah, dan itu terkadang membuat kita harus menolak ide dan keinginan sesama kita. Namun di lain pihak, kita harus melayani manusia. Bukan dengan hati yang ngegrundel, tapi dengan kasih terhadap mereka, kasih yang tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa. Karena kasih tersebut muncul sebagai buah dari hidup yang dipimpin Roh Kudus.

Tanpa kasih, berkotbah, main musik, atau memimpin pujian di hadapan jemaat tidak ada bedanya dengan sebuah stage performance. Tanpa kasih, mudah sekali seorang hamba mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan pribadinya. Tugas pelayanan menjadi kesukaan saat itu dipenuhi oleh kasih. Anak sulung dalam cerita Yesus melayani dengan taat, namun dia tidak memiliki kasih terhadap ayahnya. Ia akhirnya marah, pahit, dan kehilangan sukacita. Tanpa kasih, karunia dan talenta menjadi penghambat pelayanan kita, karena semua itu meninggikan pemiliknya, dan tidak membangun jemaat. Apakah Anda mengasihi orang yang Anda layani dalam jemaat gereja maupun di luar gereja?

Jul 21, 2008

Tak Semua Pria Buta Soal Wanita

Hal-hal apa saja sih yang pria ketahui tentang wanita? Buku di sebelah kiri ini dengan sangat unik membahas jawaban pertanyaan tersebut. Yaitu dengan halaman-halaman kosong. Benar! Semua halamannya kosong sama sekali. Saya kaget waktu lihat buku ini di Monash University bookshop.

Selain sebuah pemborosan yang tidak bertanggung jawab mencetak buku setebal 120 halaman kosong yang berakibat buruk pada lingkungan, asumsi 'lucu' dibalik buku ini juga yah, sebatas lucu saja.

Setelah menikah 8 tahun, saya tahu sih (meski dikit kali) tentang wanita. Jadi daripada buang-buang duit beli buku tsb yang toh pasti akan mengkoleksi debu di rak buku setelah kita dibuat tersenyum 10 detik, mendingan nanya ke saya tentang 'everyhing thing men know about women' sambil traktir saya minum kopi.

Jul 19, 2008

Bahaya Menjadi Seorang Reformed

Saya tidak akan ragu mengaku bahwa saya seorang Calvinist, dan berpijak kepada teologi Reformed. Namun konfiksi seperti ini saya sadar betul dapat dengan mudah membawa seseorang menjadi arogan dan membuatnya merasa superior dibanding orang yang berseberangan. Tanpa sadar, bahaya tersebut mempersempit konsepsi kita tentang tubuh Kristus, sehingga pola pikir kita menjadi binary: Either kamu reformed atau bukan reformed. Tidak beda dengan label-label lain yg sama fatal-nya seperti "Orang Kristen yang penuh Roh Kudus atau tidak ada Roh Kudus" yang beredar di kalangan Karismatik.

Ray Ortlund menulis sebuah artikel tentang isu diatas dengan menarik persamaan dengan apa yang terjadi dengan jemaat Galatia yang begitu membanggakan keliwat batas trademark mereka: Sunat. Berikut cuplikan artikelnya:
I believe in the sovereignty of God, the Five Points of Calvinism, the Solas of the Reformation, I believe that grace precedes faith in regeneration. Theologically, I am Reformed. Sociologically, I am simply a Christian – or at least I want to be. The tricky thing about our hearts is that they can turn even a good thing into an engine of oppression. It happens when our theological distinctives make us aloof from other Christians. That’s when, functionally, we relocate ourselves outside the gospel and inside Galatianism.

The Judaizers in Galatia did not see their distinctive – the rite of circumcision – as problematic. They could claim biblical authority for it in Genesis 17 and the Abrahamic covenant. But their distinctive functioned as an addition to the all-sufficiency of Jesus himself. Today the flash point is not circumcision. It can be Reformed theology. But no matter how well argued our position is biblically, if it functions in our hearts as an addition to Jesus, it ends up as a form of legalistic divisiveness.

My Reformed friend, can you move among other Christian groups and really enjoy them? Do you admire them? Even if you disagree with them in some ways, do you learn from them? What is the emotional tilt of your heart – toward them or away from them? If your Reformed theology has morphed functionally into Galatian sociology, the remedy is not to abandon your Reformed theology. The remedy is to take your Reformed theology to a deeper level. Let it reduce you to Jesus only. Let it humble you. Let this gracious doctrine make you a fun person to be around. The proof that we are Reformed will be all the wonderful Christians we discover around us who are not Reformed. Amazing people. Heroic people. Blood-bought people. People with whom we are eternally one – in Christ alone.
John Piper memberi beberapa tips yang penting ttg bagaimana kita dapat mengkotbahkan dan mengajar Calvinism tanpa kedengaran seperti orang paling arogan didunia. Tiga point yang menurut saya perlu digarisbawahi adalah sbb:

- Speak of your own brokenness in regard to these things (ie., Calvinistic teachings like TULIP) and how they are precious to you and why and how they minister to your soul and help you live your life.

- Make Spurgeon and Whitefield your models rather than Owen or Calvin, because the former were evangelists and won many people to Christ in a way that is nearer to our own day.

- Work the five points out from the "I" in tulip not the "U". That is, show people that they don't really want to take final credit for their coming to Christ. They don't want to stand before God at the judgment day and respond to the question, "Why did you believe and others with your opportunities didn't?" with the answer, "Well, I guess I was smarter, or more spiritual." They want to say, "By grace I was brought to faith." Which is "irresistible grace." That is, grace that triumphs over all resistance in the end.

iPhone dan iMan Kristen

Sebuah artikel pendek mengomentari tentang teknologi (iPhone, etc.) dari perspektif iman Kristen. Ditulis oleh Vern S. Poythress, Professor of New Testament Interpretation, Westminster Theological Seminary, berikut beberapa cuplikan yang menarik. Bagi yang masih bergumul tentang iPhone, mungkin Anda perlu membaca artikel selengkapnya disini:
A capable cell phone today has more computing power than the computer that took the Apollo astronauts to the moon. It gives instant access not only to your friends' voices but to all the information on the internet. Are you keeping up or falling behind in the race for the latest electronic fashions?

Science and technology get a lot of attention because of the new gadgets they spin out. I love science, because it displays God's wisdom (Proverbs 8:22-31). I love technology, because it shows what great gifts God has given to us, and what great human capacity God has given us to exercise dominion (Genesis 1:28-30). But I see hopes placed in science and technology that they cannot fulfill. Science, it is said, will solve the problems of world hunger. It will bring world peace. And more and better technology will solve the problems introduced by lesser technology.

Well, sometimes; and in some ways. Maybe science will find an efficient way to harness nuclear fusion to produce clean power—or maybe not. But we can be awash in technology and still be hate-filled or lonely. You can have 200 friends on Facebook and have no one who really knows you, no one who loves you.

Sometimes science only increases the problem. If, instead of seeing the wisdom of God in it, you listen to the propaganda of scientism, it will solemnly assure you that you inhabit a faceless, lonely, materialistic universe that is heading only toward ultimate death. And the gadgets of technology become Band-Aids to cover spiritual wounds and empty hearts. One more electronic game or one more DVD movie or one more pop song holds back the slide into boredom and depression. We search for one entertainment after another to keep back the dread of facing the hollow inside.

Gejala 4G: Goblok Gara-Gara Google

Beberapa waktu lalu, di blog ini saya posting cuplikan sebuah artikel menarik karangan Andrew Sullivan dalam artikelnya di The Australian berjudul Stupefied by the Info Superhighway. Artikel tersebut terinspirasi dari artikel lain karangan Nicholas Carr di The Atlantic berjudul Is Google Making Us Stupid?. Berikut potongan tulisan Carr yang bagi saya sangat menggelitik:
Over the past few years I’ve had an uncomfortable sense that someone, or something, has been tinkering with my brain, remapping the neural circuitry, reprogramming the memory. My mind isn’t going—so far as I can tell—but it’s changing. I’m not thinking the way I used to think. I can feel it most strongly when I’m reading. Immersing myself in a book or a lengthy article used to be easy. My mind would get caught up in the narrative or the turns of the argument, and I’d spend hours strolling through long stretches of prose. That’s rarely the case anymore. Now my concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety, lose the thread, begin looking for something else to do. I feel as if I’m always dragging my wayward brain back to the text. The deep reading that used to come naturally has become a struggle.
Perubahan pola berpikir ini disebabkan oleh kebiasaan kita menggali informasi dari dunia Internet. Coba perhatikan pola berikut: Kita meng-‘google’ sebuah info yang kita butuhkan, lalu klik beberapa hyperlinks, lalu menemukan sekilas info yang kita temukan dari Wikipedia dan berbagai blog. Sepuluh detik kemudian, kita beralih membaca dan menulis email, lalu membuka TheAge.com untuk menyapu semua headlines yang ditulis dengan huruf besar. Dan belum sampai separuh kita membaca sebuah artikel di site tersebut, kita merasa bosan. Lalu kita memutuskan untuk check beberapa video di YouTube atau mendengar podcasts, sambil chatting di MSN, sambil kirim SMS text ke beberapa fans setia, sambil berlompat-lompat dari satu link ke link berikutnya mirip katak yang kegirangan saat hujan turun, sambil mencoba membaca Management textbook yang selama tiga jam terakhir tergeletak terbuka dicuek-in disamping komputer.

Gejala diatas ini terjadi pada jutaan makhluk yang disebut mahasiswa dan makhluk sejenis lainnya (saya termasuk dalam species tersebut). Kita menjadi info-junkie, yang selalu kecanduan informasi Sepintas kelihatannya kita lebih piawai memproses info lebih cepat dan simultan, dan lebih tahu banyak hal. Tapi benarkah demikian?

Tahu Banyak, Ngerti Dikit
Beberapa tahun lalu saya membaca buku karangan Neil Postman yang terkenal, Amusing Ourself to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Dalam buku tersebut, ia menganalisa reaksi orang modern di era informasi ini. Ia menulis bahwa informasi yang kita terima setiap hari dari televisi, koran, dan sumber lain adalah informasi yang (1) terfragmentasi, (2) inkoheren, dan (3) tidak memiliki arti. Yang kita serap setiap hari adalah cuplikan informasi yang seringkali disajikan diluar konteks yang ada sehingga menjadi tidak berarti. Seirama dengan pendapat diatas, Marva Dawn menulis bahwa we were left with a world loaded with ‘information’ that is meaningless because it has no context, can lead no response, and has no connection to everything else in our arsenal of ‘facts’. Dengan kata lain, apa yang kita anggap sebagai sebuah informasi atau pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari sebuah data, atau bahkan seringkali sebuah noise!

Konsekuensi logis dari fenomena diatas adalah informasi yang kita serap setiap hari memberi kita bahan untuk dijadikan topik pembicaraan sambil lalu (basa-basi) namun jarang sekali itu menghasilkan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh, apalagi membuahkan sebuah aksi yang konkrit dan sistematis. Itulah sebabnya mengapa terjadi kesenjangan yang amat lebar antara informasi dan aksi.

Jauh sebelum Google menjadi konsumsi sehari-hari kita, kita sudah terbiasa menonton berita televisi. Disana kita melihat pemboman yang terjadi di Tel Aviv. Belum sempat kita mengunyah berita tersebut lebih dalam, detik berikutnya kita disuguhi berita terjadinya kerusuhan di gara-gara sengketa tukang ojek dan polisi. Setengah menit kemudian, kita dijejali lagi berita kelahiran seekor anak panda di sebuah kebun binatang di Cina. Disusul dengan berita kelahira anak kembar Angelina Jolie dan Brad Pitt. Setelah mendengar potongan berbagai berita tersebut, apakah kita menjadi well-informed? Atau malah, well-noised? Dan thanks to Google, pola ini berlanjut lebih kental lagi di Internet. Kita mungkin tahu lebih banyak, tapi ujung-ujungnya kita mengerti lebih sedikit.

Dampaknya pada Studi?
Imbas dari pengkondisian pikiran akibat pola konsumsi info ala Google diatas adalah timbulnya penyakit psikologis yang disebut Attention Deficit Disorder (ADD). Kita menjadi mudah bosan. Coba perhatikan saja sikap kita saat membaca textbook atau artikel ilmiah dari jurnal. Baru saja membaca dua atau tiga paragraf, tiba-tiba seperti diperintah oleh otak, jari-jari kita bergerak serentak meraih keyboard lalu untuk melihat Inbox email atau melongok siapa yang online di Messenger.

Permasalahannya bukan kita tidak punya waktu untuk membaca textbook atau journal article tersebut. Tetapi karena pikiran kita telah dikondisikan untuk menolak setiap bacaan yang memakai ruang berlembar-lembar. Jadi saat membaca textbook, yang kita cenderung lakukan adalah membolak balik halaman textbook untuk membaca footnotes di bagian bawah, lalu melihat references di belakang, lalu menyapu headings dan sub-headings dalam bab tersebut, lalu menghitung jumlah halaman dalam bab tersebut, dan seterusnya. Yang kita tidak lakukan adalah menenggelamkan diri dalam paragraf-paragraf tersebut secara serius untuk memahaminya dengan menyeluruh.

Gejala ini fatal akibatnya bagi proses belajar di universitas. Yang hilang bukan hanya kemampuan untuk analisa dan sintesa ide-ide yang besar dan berat (yang biasanya memakan belasan bahkan puluhan lembar halaman jurnal) tetapi juga kapasitas untuk menghargai dan (bahkan) menikmati sebuah bacaan yang bermutu. Zaman dulu buku menjadi sebuah rekreasi yang luar biasa nikmat, yang dapat mengundang senyum, tawa, air mata, rasa ingin tahu, dan berbagai respon emosi yang begitu mendalam yang membentuk karakter pembacanya. Jika hari ini buku dan artikel yang baik kehilangan daya tariknya, maka ketergantungan kita pada Google, Wikipedia, Merriam-Webster Online akan semakin tinggi. Setahun terakhir ini semakin banyak saya temukan mahasiswa yang memakai Wikipedia sebagai reference dalam essay mereka, meskipun sudah dilarang berkali-kali.

Belajar dari Carly Fiorina
Carly Fiorina, seorang pemimpin karismatis ex-CEO Hewlett Packard yang sangat efektif dan produktif, dalam salah satu pidato yang ia sampaikan di sebuah upacara wisuda membagikan pengalaman pribadinya sebagai berikut:

“Kelas yang paling berharga yang saya pernah saya tempuh di Stanford bukan Economics. Bukan International Business. Bukan Strategic Management. Tetapi, percaya atau tidak, adalah Christian, Islamic and Jewish Political Philosophies of the Middle Ages. Setiap minggu, kami harus membaca satu karya besar dari filsuf abad pertengahan seperti Aquinas, Bacon, Abelard, dst. Karya-karya mereka ini begitu tebal, kami membaca sekitar 1,000 halaman setiap minggu. Dan di akhir minggu, kami harus membuat intisari filosofi mereka dalam dua halaman. Pertama, kami mencoba untuk membuat ringkasan sepanjang 20 halaman. Lalu kami harus meng-edit-nya menjadi 10 halaman. Lalu 5 halaman. Dan akhirnya 2 halaman. Dalam 2 halaman tersebut, seluruh lemak dari tubuh ide filosofis itu telah dibuang, yang tersisa adalah inti dasar yang paling esensial dari ide tersebut. Minggu depannya kami memulai lagi proses yang sama dengan buku lain yang tebalnya sama.”

“Kapasitas untuk memeras ide yang kompleks, kemampuan untuk menyaring ide yang abstrak, itulah pembelajaran yang sejati. Bertahun-tahun saya bekerja, saya selalu mengaplikasikan kemampuan tersebut dalam peran saya sebagai seorang eksekutif –menjalani sebuah proses mental untuk analisa-sintensa, dan mencapai kepada inti dari segala sesuatu yang paling esensial.”

Filsuf Descartes pernah berkata, “I think, therefore I am.” Hari ini motto tersebut berubah menjadi “I google, therefore I am.” Perlahan tapi pasti Google (dan berbagai teknologi sejenis) berkonspirasi untuk me-reboot cara berpikir manusia modern untuk lebih tahu lebih banyak, tahu lebih cepat, tetapi tidak untuk tahu lebih dalam.

Bagaimana dengan Anda? Have you been googled lately?

Sop Buntut di Seoul

Hari Kamis lalu adalah hari terakhir di Korea, dan saya menyempatkan untuk lunch di hotel. Gara-garanya, JW Marriott Seoul sedang menggelar Indonesian Food Festival mulai hari itu selama 10 hari. Mereka mendatangkan secara khusus Chef dari JW Marriott Jakarta. Lucunya, hari Rabu secara tidak sengaja saya bertemu di lift dengan si Chef-nya yang ternyata asal Bandung bernama pak Enok. Kami berkenalan singkat dan saya berjanji untuk makan siang Kamis sebelum bilang au revoir ke Korea.

Keputusan tersebut memang tidak salah! Pak Enok menyajikan beberapa masakan khas Indonesia: Soto Madura, Karedok, Ayam Kecap Saos Inggris, Nasi Goreng, Kolak Pisang, Dodol Garut, dan (my favorite!!!) Sop Buntut yang disajikan lengkap dengan 5 macam sambelnya. Ketika saya tanya tentang sate ayam, pak Enok mengatakan bahwa itu dia simpan untuk menu di hari-hari yg mendatang. Yah, apa boleh buat. Itupun beliau bilang bahwa beberapa bumbu yg ia bawa dari Indo tidak boleh masuk dicegat oleh quarantine pemerintah Korea. Emang sih, siapa yang tahan dengan bau petis, kluwek, dst.

Saat lagi asyik bergumul dengan isi mangkok Sup Buntut, Managing Director hotel datang ke restoran untuk inspeksi dan dari meja saya duduk saya lihat dia sedang brief pak Enok. Maka saya langsung berdiri, berjalan menuju mereka, dan berkata kepada MD tersebut, "This gentleman (Pak Enok) really knows how to cook. It's authentic. It's exquisite!" Mendengar itu, si MD spontan menjawab "Glad you enjoy it. Please let your friends know."

Ini foto saya dengan pak Enok (note: foto diambil setelah makan Sop Buntut dan berbagai delicacy tanah air lainnya...). Thanks lo Pak, masakan Anda sedap benar. Dan itu membuat perjalanan Korea ini menjadi berkesan:

Jul 11, 2008

Yang Berkesan dari Seoul

Karena sudah janji di posting sebelumnya, berikut beberapa catatan perjalanan saya tentang hal-hal yang menarik tentang Seoul, ibukota Korea Selatan:

1. Seoul adalah kota yang sangat modern. Di daerah downtown, skyscrapers di bilangan Lotte Town menjadi lambang materialisme dimana retail therapy di mal-mal menjadi budaya. Orang Korea sangat bangga dengan budaya mereka (mirip Jepang, saya kira). Ada toko buku besar dekat hotel dimana semua bukunya berbahasa lokal, dan semua buku Barat yg ada disana diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, mulai dari bukunya Kiyosaki sampai autobiografi-nya Jack Welch. Tidak heran ekses-nya adalah sedikit sekali orang di Seoul yg bisa berbahasa Inggris (jauh lebih banyak orang di Shanghai). Bukti kedua kebanggaan akan budaya sendiri nampak dari proporsi mobil di Seoul yang bermerek "HYUNDAI". Saya menoleh ke kiri dan ke kanan, yang saya lihat hampir 99% Hyundai, lengkap mulai dari taxi sampai limousine, mulai dari Getz, Accent, Sonata, Tuscan, sampai Santa Fe.

2. Hari Minggu saya dan istri ke Somang Presbyterian Church, salah satu gereja Presbyterian terbesar di Seoul. Suasana-nya mirip gereja di Indo, khususnya pas bubaran gereja. Ribuan orang berhamburan keluar. Di Korea Kekristenan memang bertumbuh pesat. Secara jumlah anggota, gereja Methodist terbesar, gereja Presbyterian terbesar, gereja Pentecostal terbesar, semuanya di Seoul. Gereja terbesar di dunia yg digembalakan Yonggi Cho (dengan jemaat 850.000 orang!!!) pun ada di Seoul. Sayang saya tidak ketemu dengan beliau, pengen nanya bgmana ceritanya dia bisa claim disuruh Tuhan ganti nama dari David Yonggi Cho menjadi Paul Yonggi Cho.

Seorang kenalan baru seorang akademik yg ketemu di conference yg juga Kristen mengatakan bahwa pertumbuhan Kekristenan sebenarnya dimulai di Korea Utara. Namun sejak komunisme menguat disana, dan penganiayaan begitu berat terjadi, banyak orang Kristen yg melarikan diri ke Korea Selatan. Sehingga di KorSel lah kekristenan bertumbuh pesat. Yang menarik, justru di tengah penganiayaan iman Kristen bertumbuh. Namun rekan baru tersebut berkata kepada saya bahwa kita perlu berdoa untuk para pemimpin Kristen di KorSel, karena yang sekarang mulai menggejala di Seoul adalah pertumbuhan jumlah yang tidak disertai dengan kualitas iman. Growth without Depth.

Saya lalu teringat bhw Open Doors menaruh KorUt sebagai negara nomer satu yang menganiaya orang Kristen melebihi China dan negara-negara Arab. Bulan Februari tahun ini, Open Door merilis The 2008 World Watch List, dan untuk 6 tahun berturut-turut KorUt menempati rangking teratas sbg negara penganiaya orang Kristen. Baca selengkapnya disini.

3. Seorang rekan ikut tur ke demiliterized zone antara KorUt dan KorSel yg dijaga oleh United Nations Army disamping tentara KorSel dan KorUt. Kedua belah pihak tetap selalu tegang (keduanya by the way punya nuklir, itu sebab US pusing). Teman saya ini diajak tur ke terowongan bawah tanah yang dibangun oleh KorUt untuk memata-matai KorSel. Tour guide nya cerita (dlm bahasa Inggris tentunya) bahwa seorang tentara KorUt yg membelot ke KorSel menceritakan bahwa ada 16 terowongan bawah tanah yg dibangun KorUt, namun dia sendiri tidak tahu dimana. Yang luar biasa, sampai hari ini baru 4 terowongan yang telah ditemukan. Hmmm...

Jul 6, 2008

Seoul

I am currently in Seoul, South Korea with my wife to present our respective papers at an academic business conference. The conference is held at the JW Marriott Hotel in the Seocho-gu area. It's a pretty nice hotel!

(this explain why there has been no posting for the last few days, in fact the last few weeks given all those things I needed to do before leaving for Seoul).

Leaving last Saturday shortly after midnight the SQ flight was quite as expected. Though flying the cattle class, the seat is arguably better than Qantas, and so are the food and the entertainment system. As it was a long-haul flight, a total of 15 hours, I managed to do a few things on the flight: Going through my student's work, watching a new flick "21", played Zuma, and catching up with business magazines (Forbes, Newsweek, BRW, etc.). During the 3-hour transit in Singapore's new terminal (T3), we managed to have a quick breakfast around 7am: Mee Siam! I know it's unusual to have that for brekkie, but I can tell you it's the best of its kind, nothing like it in Melbourne.

I will try to post more about some of the interesting things I found in Seoul.

Jul 2, 2008

Dangdut Rhoma Irama

Seminggu terakhir ini saya tidak sempat nge-blog serius, karena terpendam dibawah timbunan kerjaan kantor: Nulis paper, marking essay, nulis paper, marking exam, nulis paper, ngebimbing tesis, nulis paper, dst. Mestinya akan reda dalam bbrp hari ke depan. Jadi untuk mengisi kekosongan, berikut saya tampilkan tayangan khas Indo: Dangdut! (thanks kepada bang Joas untuk inspirasinya). Selamat menikmati !

Versi Bule: The Cheating Heart



Versi Karaoke Rhoma Irama: Kegagalan Cinta