Jul 19, 2008

Gejala 4G: Goblok Gara-Gara Google

Beberapa waktu lalu, di blog ini saya posting cuplikan sebuah artikel menarik karangan Andrew Sullivan dalam artikelnya di The Australian berjudul Stupefied by the Info Superhighway. Artikel tersebut terinspirasi dari artikel lain karangan Nicholas Carr di The Atlantic berjudul Is Google Making Us Stupid?. Berikut potongan tulisan Carr yang bagi saya sangat menggelitik:
Over the past few years I’ve had an uncomfortable sense that someone, or something, has been tinkering with my brain, remapping the neural circuitry, reprogramming the memory. My mind isn’t going—so far as I can tell—but it’s changing. I’m not thinking the way I used to think. I can feel it most strongly when I’m reading. Immersing myself in a book or a lengthy article used to be easy. My mind would get caught up in the narrative or the turns of the argument, and I’d spend hours strolling through long stretches of prose. That’s rarely the case anymore. Now my concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety, lose the thread, begin looking for something else to do. I feel as if I’m always dragging my wayward brain back to the text. The deep reading that used to come naturally has become a struggle.
Perubahan pola berpikir ini disebabkan oleh kebiasaan kita menggali informasi dari dunia Internet. Coba perhatikan pola berikut: Kita meng-‘google’ sebuah info yang kita butuhkan, lalu klik beberapa hyperlinks, lalu menemukan sekilas info yang kita temukan dari Wikipedia dan berbagai blog. Sepuluh detik kemudian, kita beralih membaca dan menulis email, lalu membuka TheAge.com untuk menyapu semua headlines yang ditulis dengan huruf besar. Dan belum sampai separuh kita membaca sebuah artikel di site tersebut, kita merasa bosan. Lalu kita memutuskan untuk check beberapa video di YouTube atau mendengar podcasts, sambil chatting di MSN, sambil kirim SMS text ke beberapa fans setia, sambil berlompat-lompat dari satu link ke link berikutnya mirip katak yang kegirangan saat hujan turun, sambil mencoba membaca Management textbook yang selama tiga jam terakhir tergeletak terbuka dicuek-in disamping komputer.

Gejala diatas ini terjadi pada jutaan makhluk yang disebut mahasiswa dan makhluk sejenis lainnya (saya termasuk dalam species tersebut). Kita menjadi info-junkie, yang selalu kecanduan informasi Sepintas kelihatannya kita lebih piawai memproses info lebih cepat dan simultan, dan lebih tahu banyak hal. Tapi benarkah demikian?

Tahu Banyak, Ngerti Dikit
Beberapa tahun lalu saya membaca buku karangan Neil Postman yang terkenal, Amusing Ourself to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Dalam buku tersebut, ia menganalisa reaksi orang modern di era informasi ini. Ia menulis bahwa informasi yang kita terima setiap hari dari televisi, koran, dan sumber lain adalah informasi yang (1) terfragmentasi, (2) inkoheren, dan (3) tidak memiliki arti. Yang kita serap setiap hari adalah cuplikan informasi yang seringkali disajikan diluar konteks yang ada sehingga menjadi tidak berarti. Seirama dengan pendapat diatas, Marva Dawn menulis bahwa we were left with a world loaded with ‘information’ that is meaningless because it has no context, can lead no response, and has no connection to everything else in our arsenal of ‘facts’. Dengan kata lain, apa yang kita anggap sebagai sebuah informasi atau pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari sebuah data, atau bahkan seringkali sebuah noise!

Konsekuensi logis dari fenomena diatas adalah informasi yang kita serap setiap hari memberi kita bahan untuk dijadikan topik pembicaraan sambil lalu (basa-basi) namun jarang sekali itu menghasilkan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh, apalagi membuahkan sebuah aksi yang konkrit dan sistematis. Itulah sebabnya mengapa terjadi kesenjangan yang amat lebar antara informasi dan aksi.

Jauh sebelum Google menjadi konsumsi sehari-hari kita, kita sudah terbiasa menonton berita televisi. Disana kita melihat pemboman yang terjadi di Tel Aviv. Belum sempat kita mengunyah berita tersebut lebih dalam, detik berikutnya kita disuguhi berita terjadinya kerusuhan di gara-gara sengketa tukang ojek dan polisi. Setengah menit kemudian, kita dijejali lagi berita kelahiran seekor anak panda di sebuah kebun binatang di Cina. Disusul dengan berita kelahira anak kembar Angelina Jolie dan Brad Pitt. Setelah mendengar potongan berbagai berita tersebut, apakah kita menjadi well-informed? Atau malah, well-noised? Dan thanks to Google, pola ini berlanjut lebih kental lagi di Internet. Kita mungkin tahu lebih banyak, tapi ujung-ujungnya kita mengerti lebih sedikit.

Dampaknya pada Studi?
Imbas dari pengkondisian pikiran akibat pola konsumsi info ala Google diatas adalah timbulnya penyakit psikologis yang disebut Attention Deficit Disorder (ADD). Kita menjadi mudah bosan. Coba perhatikan saja sikap kita saat membaca textbook atau artikel ilmiah dari jurnal. Baru saja membaca dua atau tiga paragraf, tiba-tiba seperti diperintah oleh otak, jari-jari kita bergerak serentak meraih keyboard lalu untuk melihat Inbox email atau melongok siapa yang online di Messenger.

Permasalahannya bukan kita tidak punya waktu untuk membaca textbook atau journal article tersebut. Tetapi karena pikiran kita telah dikondisikan untuk menolak setiap bacaan yang memakai ruang berlembar-lembar. Jadi saat membaca textbook, yang kita cenderung lakukan adalah membolak balik halaman textbook untuk membaca footnotes di bagian bawah, lalu melihat references di belakang, lalu menyapu headings dan sub-headings dalam bab tersebut, lalu menghitung jumlah halaman dalam bab tersebut, dan seterusnya. Yang kita tidak lakukan adalah menenggelamkan diri dalam paragraf-paragraf tersebut secara serius untuk memahaminya dengan menyeluruh.

Gejala ini fatal akibatnya bagi proses belajar di universitas. Yang hilang bukan hanya kemampuan untuk analisa dan sintesa ide-ide yang besar dan berat (yang biasanya memakan belasan bahkan puluhan lembar halaman jurnal) tetapi juga kapasitas untuk menghargai dan (bahkan) menikmati sebuah bacaan yang bermutu. Zaman dulu buku menjadi sebuah rekreasi yang luar biasa nikmat, yang dapat mengundang senyum, tawa, air mata, rasa ingin tahu, dan berbagai respon emosi yang begitu mendalam yang membentuk karakter pembacanya. Jika hari ini buku dan artikel yang baik kehilangan daya tariknya, maka ketergantungan kita pada Google, Wikipedia, Merriam-Webster Online akan semakin tinggi. Setahun terakhir ini semakin banyak saya temukan mahasiswa yang memakai Wikipedia sebagai reference dalam essay mereka, meskipun sudah dilarang berkali-kali.

Belajar dari Carly Fiorina
Carly Fiorina, seorang pemimpin karismatis ex-CEO Hewlett Packard yang sangat efektif dan produktif, dalam salah satu pidato yang ia sampaikan di sebuah upacara wisuda membagikan pengalaman pribadinya sebagai berikut:

“Kelas yang paling berharga yang saya pernah saya tempuh di Stanford bukan Economics. Bukan International Business. Bukan Strategic Management. Tetapi, percaya atau tidak, adalah Christian, Islamic and Jewish Political Philosophies of the Middle Ages. Setiap minggu, kami harus membaca satu karya besar dari filsuf abad pertengahan seperti Aquinas, Bacon, Abelard, dst. Karya-karya mereka ini begitu tebal, kami membaca sekitar 1,000 halaman setiap minggu. Dan di akhir minggu, kami harus membuat intisari filosofi mereka dalam dua halaman. Pertama, kami mencoba untuk membuat ringkasan sepanjang 20 halaman. Lalu kami harus meng-edit-nya menjadi 10 halaman. Lalu 5 halaman. Dan akhirnya 2 halaman. Dalam 2 halaman tersebut, seluruh lemak dari tubuh ide filosofis itu telah dibuang, yang tersisa adalah inti dasar yang paling esensial dari ide tersebut. Minggu depannya kami memulai lagi proses yang sama dengan buku lain yang tebalnya sama.”

“Kapasitas untuk memeras ide yang kompleks, kemampuan untuk menyaring ide yang abstrak, itulah pembelajaran yang sejati. Bertahun-tahun saya bekerja, saya selalu mengaplikasikan kemampuan tersebut dalam peran saya sebagai seorang eksekutif –menjalani sebuah proses mental untuk analisa-sintensa, dan mencapai kepada inti dari segala sesuatu yang paling esensial.”

Filsuf Descartes pernah berkata, “I think, therefore I am.” Hari ini motto tersebut berubah menjadi “I google, therefore I am.” Perlahan tapi pasti Google (dan berbagai teknologi sejenis) berkonspirasi untuk me-reboot cara berpikir manusia modern untuk lebih tahu lebih banyak, tahu lebih cepat, tetapi tidak untuk tahu lebih dalam.

Bagaimana dengan Anda? Have you been googled lately?