Aug 12, 2008

Pemimpin dan Kejatuhan Moral

Saat mata seluruh dunia terpaku sajian kolosal pembukaan Olimpiade pada tanggal 08/08/08 kemarin, ada sebuah berita yang tidak kalah heboh. John Edward, salah seorang kandidat Presiden US, mengakui dihadapan publik akan penyelewengan di luar nikah, extra-marital affair, yang ia lakukan. Meski tadinya peluang Edwards menjadi presiden sangat tipis, ia memiliki kesempatan untuk menjadi Wakil Presiden dari Obama, namun harapan itu kini menguap karena affair yang ia lakukan di tahun 2006.

Berikut pernyataan publik yang dimuat selengkapnya di situs Politico:
In 2006, I made a serious error in judgment and conducted myself in a way that was disloyal to my family and to my core beliefs. I recognized my mistake and I told my wife that I had a liaison with another woman, and I asked for her forgiveness. Although I was honest in every painful detail with my family, I did not tell the public. When a supermarket tabloid told a version of the story, I used the fact that the story contained many falsities to deny it. But being 99% honest is no longer enough.

I was and am ashamed of my conduct and choices, and I had hoped that it would never become public. With my family, I took responsibility for my actions in 2006 and today I take full responsibility publicly. But that misconduct took place for a short period in 2006. It ended then. I am and have been willing to take any test necessary to establish the fact that I am not the father of any baby, and I am truly hopeful that a test will be done so this fact can be definitively established. I only know that the apparent father has said publicly that he is the father of the baby. I also have not been engaged in any activity of any description that requested, agreed to or supported payments of any kind to the woman or to the apparent father of the baby.

It is inadequate to say to the people who believed in me that I am sorry, as it is inadequate to say to the people who love me that I am sorry. In the course of several campaigns, I started to believe that I was special and became increasingly egocentric and narcissistic. If you want to beat me up – feel free. You cannot beat me up more than I have already beaten up myself. I have been stripped bare and will now work with everything I have to help my family and others who need my help.

I have given a complete interview on this matter and having done so, will have nothing more to say.


Saya pernah diskusi dengan Pdt Yung Tik Yuk apakah dosa kejatuhan seksual sebagai dosa yang lebih besar, lebih berat, lebih rendah, daripada dosa gosip, sombong, dst. Alkitab memang berkata bahwa ada hukum Allah yang lebih penting dibanding hukum yang lain (Mat 5:17-20; 22:37-39), dan sebagai implikasinya, ada dosa yang berat dibanding dosa yang lain. Di mata Allah, memang semua dosa, kecil atau besar, tetap adalah dosa. Pertanyaannya, kenapa dosa moral harus membuat seorang pemimpin seperti Edwards harus mundur, sementara dosa-dosa pemimpin lain (kesombongan, memanipulasi bawahan, konspirasi memfitnah orang lain, dst) tidak membuat dia merasa disqualified dari peran dan posisi kepemimpinan tersebut? Dengan kata lain, isunya adalah: Apa ada sih sesuatu yang unik tentang dosa seksual yang begitu ampuh merontokkan seorang pemimpin tiada hentinya dari waktu ke waktu?

1. Extra-marital affair tentu tidak menjadi a powerful disqualifier karena dosa tersebut lebih jarang terjadi baik secara intensitas maupun frekuensi dibanding dosa lain (gosip, fitnah, manipulasi, etc.). Meski mungkin itu persepsi banyak orang. Karena dosanya 'malu-maluin', jadi kalau ada pemimpin besar yg terpeleset ke sana, langsung mesti turun atau menurunkan diri.

Saya mencoba melihatnya dari 1 Korintus 6 dimana rasul Paulus menulis keunikan dosa percabulan: "Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: "Keduanya akan menjadi satu daging . . . Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri" (6:16, 18). Di ayat-ayat diatas, kita tahu bahwa Paulus jelas mengkategorika dosa tersebut sebagai dosa yang serius yang menodai untuk selamanya institusi pernikahan yang Allah tetapkan. Karena orang yg melakukan dosa tersebut menjadi satu tubuh dengan dua orang wanita (atau dua orang pria) yang berbeda. Itu sebab dosa percabulan harus dilihat menjadi dosa yg serius.

2. Edwards mengakui bahwa dosa percabulan yang ia lakukan terkait dengan dosa kesombongan: "In the course of several campaigns, I started to believe that I was special and became increasingly egocentric and narcissistic." Persepsi diri merasa spesial dan layak diperlakukan secara khusus, sehingga muncul konsep diri yang narsisis berkontribusi pada dosa percabulan, dalam kasus Edwards (dan banyak kasus pemimpin lain). Sebenarnya kesombongan inilah yang sering menjadi faktor utama penyebab kejatuhan pemimpin, mulai dari sejak zaman PL (Raja Uzia misalnya) sampai hari ini dalam kasus Edwards.

Peringatan Spurgeon kepada para hamba Tuhan, para pengkotbah, tetap perlu diulang terus-menerus di zaman ini: "When a preacher of righteousness has stood in the way of sinners, he should never again open his lips in the great congregation until his repentance is as notorious as his sin" (Lectures to My Students, p. 14). Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah kalimat tsb dapat diterapkan ke dalam lingkaran yang lebih besar: Elders, majelis, pengurus komisi, pemimpin Kristen di perusahaan, dst?

No comments: