Aug 19, 2008

Alexandr Solzhenitsyn

Minggu lalu di kelas leadership yang saya asuh, saya mengajak mahasiswa untuk membahas Alexander Solzhenitsyn, salah satu pengarang dari Rusia yang paling berpengaruh di dunia di abad ke-20. Ia baru saja meninggal pada tanggal 3 Agustus yang lalu di usia 89 tahun, namun yang ia tinggalkan kepada dunia tetap hidup jauh melampaui masa hidupnya.

Solzhenitsyn dipenjara antara tahun 1945-1953 gara-gara kritik yang ia lontarkan terhadap tiran Josep Stalin. Ia dijebloskan ke neraka buatan Stalin yang terkenal, The Gulag. Penderitaan yang dia alami dalam kamp konsentasi buatan Stalin begitu hebat, namun ketegarannya menghadapi semua itu begitu luar biasa. Ia mengubah penanya menjadi sebuah pedang dan tulisan-tulisannya menjadi tentara militer, meng-ekspose seluruh kebrutalan eksperimen komunis di Rusia. Penerima Nobel Prize di tahun 1970 ini dikenal sebagai 'one-man resistance movement against Communist Totalitarianism." Dalam teks pidato penerimaan Nobel yang diselundupkan oleh rekannya kepada dunia karena ia tidak menghadiri upacaranya, ia menulis "One word of truth shall outweigh the whole world."

Kekejaman komunisme di Rusia tidak akan pernah diketahui oleh dunia kalau Solzhenitsyn tidak menulis seluruh peristiwa tersebut, dan pengalamannya sendiri, ke sebuah buku setebal 300,000-kata berjudul The Gulag Archipelago. Seorang rekan saya memberi buku tersebut 8 tahun yang lalu. Apa yang ia tulis dalam buku tersebut begitu mencekam, namun begitu riil. Dia menjelaskan dalam buku tersebut mengapa cerita kekejaman komunisme tersebut harus ia paparkan kepada dunia:
"We have to condemn publicly the very idea that some people have the right to repress others. In keeping silent about evil, in burying it so deep within us that no sign of it appears on the surface, we are implanting it, and it will rise up a thousandfold in the future. When we neither punish nor reproach evildoers, we are not simply protecting their trivial old age, we are thereby ripping the foundations of justice from beneath new generations."
Yang luar biasa bagi saya adalah bahwa sebagian besar dari bukunya sebenarnya ia telah tulis di penjara, tepatnya ia telah hafalkan di kepalanya setiap hari, ratusan bahkan ribuan baris kalimat, agar dia dapat menuangkannya dalam bentuk tulisan saat ia dilepaskan dari penjara. Konfiksi ini begitu kuat berada dalam dirinya. Dia dilepaskan dari Gulag pada hari yang sama Stalin meninggal. Namun kemerdekaannya tersebut tidak dia isi dengan hidup berfoya-foya. Ia membuat sebuah resolusi untuk terus menulis dan mengajar. Ia menulis:
"I could have enjoyed myself so much, breathing the fresh air, resting, stretching my cramped limbs, but my duty to the dead permitted no such self-indulgence. They are dead! You are alive: Do your duty. The world must know all about it."
Meski ia mengenali konfiksi hidupnya di usia senja, namun konfiksi tersebut mengubah drastis arah dan fokus hidupnya. Ia merasa begitu berhutang kepada para korban tanpa nama yang tewas di tangan Stalin, dan kemudian memilih untuk menjadikan hal tersebut menjadi misi pribadinya dihadapan Allah.

Erickson yang menulis tentang Solzhenitsyn berpendapat bahwa kunci untuk memahami pemikiran dan pergumulan hati Solzhenitsyn adalah iman Kristiani-nya. Di tengah sekulerisme dan humanisme yang mendominasi elit intelektual dizamannya, ia memegang teguh iman percayanya kepada Kristus. Di tahun 1978, ia diundang oleh Harvard University untuk memberikan pidato wisuda yang begitu terkenal sampai hari ini. Pidato berjudul "A World Split Apart" tersebut berisi kritik yang ia uraikan tentang kebangkrutan moral dan spiritual yang terjadi di Barat akibat sekulerisme dan humanisme. Berikut kutipan dari teks pidatonya di Harvard yang dapat diakses lengkap di sini:
However, in early democracies, as in the American democracy at the time of its birth, all individual human rights were granted because man is God's creature. That is, freedom was given to the individual conditionally, in the assumption of his constant religious responsibility. Such was the heritage of the preceding thousand years. Two hundred or even fifty years ago, it would have seemed quite impossible, in America, that an individual could be granted boundless freedom simply for the satisfaction of his instincts or whims. Subsequently, however, all such limitations were discarded everywhere in the West; a total liberation occurred from the moral heritage of Christian centuries with their great reserves of mercy and sacrifice. State systems were -- State systems were becoming increasingly and totally materialistic. The West ended up by truly enforcing human rights, sometimes even excessively, but man's sense of responsibility to God and society grew dimmer and dimmer.
Melalui kacamata iman Kristen inilah, Solzhenitsyn mengerti bagaimana kejahatan (evil) seperti yang ia alami sendiri dapat dikalahkan. Ia menulis dalam bukunya bahwa garis yang memisahkan antara kebaikan dan kejahatan ada dalam hati manusia:
"It was granted to me to carry away from my prison years on my bent back, which nearly broke beneath its load, this essential experience: how a human being becomes evil and how good. In the intoxication of youthful successes I had felt myself to be infallible, and I was therefore cruel. In the surfeit of power I was a murderer and an oppressor. In my most evil moments I was convinced that I was doing good, and I was well supplied with systematic arguments. It was only when I lay there on rotting prison straw that I sensed within myself the first stirrings of good. Gradually it was disclosed to me that the line separating good and evil passes not through states, nor between classes, nor between political parties either, but right through every human heart, and through all human hearts. This line shifts. Inside us, it oscillates with the years. Even within hearts overwhlemed by evil, one small bridgehead of good is retained; and even in the best of all hearts, there remains a small corner of evil" ((The Gulag Archipelago: 1918-1956, Vol. 2, 615-616).
Ketika ia dipenjara, ia tidak pernah kecewa, marah, apalagi mengutuki Allah. Sebaliknya ia bersyukur kepada Allah untuk pengalaman penjara tersebut karena ia menemukan arti hidupnya ketika ia berada dalam penjara, bahkan imannya mengkristal ketika justru ia berada dalam kegelapan hidup yang paling brutal. Saya sering takjub melihat bagaimana penjara seringkali sebuah training ground yang paling ampuh membentuk konfiksi hidup manusia, mulai dari Yusuf di Mesir, Martin Luther King, Jr., sampai Solzhenitsyn:
"That is why I turn back to the years of my imprisonment and say, sometimes to the astonishment of those about me: “Bless you, prison!” I...have served enough time there. I nourished my soul there, and I say without hesitation: “Bless you, prison, for having been in my life!” (The Gulag Archipelago: 1918-1956, Vol. 2, 617).
Berikut liputan CNN di hari dia meninggal dunia 3 Agustus 2008:

No comments: