Jan 20, 2008

Gaya Hidup "Akribos" (part 2)

Sejak Mbah Socrates bilang "An unexamined life is not worth living", maka orang di Barat mulai punya bibit kesadaran bahwa yg namanya hidup itu mesti reflektif. Tanpa refleksi, hidup kita akan mudah jalani sembarangan. Lengah. Orang bilang pengalaman adalah guru yang berharga. Tapi saya kira itu salah lho. Yang menjadi guru berharga itu bukan pengalaman, tapi refleksi terhadap pengalaman-pengalaman. Tanpa refleksi, pengalaman-pengalaman hidup itu lewat begitu saja, kayak angin yang bertiup di sela-sela tubuh kita numpang lewat doang.

Kalau ada yg suka bilang gini: "Saya sudah berpengalaman 10 tahun di bidang pendidikan". Kita mungkin jangan keburu kagum dulu. Karena tanpa refleksi, bisa jadi pengalaman 10 tahun itu cuma pengalaman 1 tahun yang diulang sembilan kali ! Jadi kesalahan yg sama tetap dilakukan. Metode yg sama tetap dilakukan dengan hasil yang itu-itu saja.

Hidup Akribos adalah hidup yang reflektif dalam pengalaman hidup keseharian yang kita anggap sederhana, yang sepele, yang remeh. Namun seringkali semua itu tanpa kita sadari membentuk karakter kita in the long run. Berikut beberapa contoh:

1. Dalam relasi suami-istri kita sudah biasa ngomong ke istri atau suami kita dengan asal-asalan. Ngomong tanpa berhadapan muka. Tapi menjerit dari ruangan sebelah. "Eh, loe besok rencana ke rumah si A Bun jadi ga? Hah, apa? Jawab kencengan dikit kek! Hah, bukan, bukan, gua bukannya ngelarang.....gua nanya soalnya kalo lu jadi, gua mau ikut. Apa? Lu ga denger? GUA MAU IKUTTT!" Ini hal sepele, namun cara komunikasi seperti ini dalam 2-3 tahun akan turut membentuk kualitas relasi antara suami dan istri. Lama kelamaan, cara bicara sekenanya akan menjadi sebuah pola. Akibatnya, seringkali komunikasi sambil lalu itu menghilangkan sensitivitas terhadap perasaan pasangan kita. Ujung-ujungnya, cekcok, berantem, pisah ranjang, etc. Ketika sedang marahan, yang dijadikan kambing hitam adalah urusan klasik (anak, uang, mertua, etc.). Padahal akar masalahnya sepele. Yaitu suami istri tsb tidak pernah duduk merefleksikan cara komunikasi mereka yang semakin lama semakin memburuk. Masalah yang persis sama seringkali terjadi dalam relasi orang tua dan anak.

2. Seorang remaja pria yang mulai coba-coba belajar melakukan masturbasi. "Ah, ini khan masalah sepele. Toh semua remaja usia puber melakukannya" (well, at least menurut dia). "Khan ndak ada yang tahu. Toh aku sudah cukup dewasa dalam iman untuk tidak keliwat batas. Mendingan begini daripada apa yang dilakukan teman-temanku, jauh lebih runyam." Maka sesuatu yang awalnya coba-coba, lama-lama jadi enak, keterusan, ketagihan. Tidak lama kemudian, jadi habit. Habit yang tidak pernah habis. Bahkan sampai remaja tersebut beranjak dewasa, sampai punya pacar, sampai menikah dan punya anak. Ketika menginjak usia senja, pemuda yang sekarang telah menjadi kakek tersebut berkata "Aku sudah tidak tahu lagi siapa diriku, mengapa aku berubah menjadi babi yang selalu ke kubangan dosa. Begitu menjijikkan. Tapi aku tak mampu berhenti."

Perhatikanlah dengan seksama bagaimana kamu hidup, tulis Rasul Paulus. Gejala "coba-coba" yang lalu menjadi habit ini muncul dalam bentuk yang berbeda-beda: rokok, obat-obatan, alcohol abuse, mengumpat, dst.

3. Ken Lay, eks Chairman dari Enron, yang tadinya adalah one of the most innovative/highly respected/top-performing global firms, sebelum divonis hukuman penjara seumur hidup karena turut mendalangi the biggest accounting fraud dalam sejarah bisnis, memulai praktek menyulap angka-angka di pembukuan perusahaan itu secara kecil-kecilan. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Masalah yang paling besar bukan kejahatan kerah putihnya yang semakin menggila, tapi karakternya yang semakin ter-erosi. Sehingga kalau dia membandingkan dirinya di usia 20-an saat dia mulai bekerja di Enron dan di usia 60-an ketika dia divonis oleh pengadilan, dia merasa dia tidak kenal lagi siapa dirinya. Akhir hidupnya begitu mengenaskan, tidak berapa lama setelah ia divonis, ia meninggal karena serangan jantung.

Masih ada banyak contoh lain. Tapi point-nya sudah jelas. Saat kita tidak berhati-hati dengan hal-hal kecil yg kita lakukan setiap hari, yang menjadi taruhannya adalah karakter kita. Apa yang kita lakukan secara konsisten, sekecil apapun hal tersebut, akan mempengaruhi the core of our being.

Permasalahannya, sekitar 95% perilaku kita itu spontan, bukan premeditate. Pikiran, sikap, dan aksi kita meluncur otomatis. Semua itu semacam spillover dari apa yang ada dalam hati kita. “Out of the abundance of the heart the mouth speaks", kata Yesus dalam Mat 12:34. Kalau mobil kita diselip orang, kita tidak pernah menepikan mobil lalu mengerutkan alis dan berpikir, "Gua mendingan ngumpat itu sopir atau ngempet aja dalam hati?" Tapi reaksi kita spontan. Hawa panas naik membakar hati, lalu api tersebut memberi energi kepada sel-sel otot di mulut untuk berkata, "Hey, muke gile loe!" sambil otak memerintahkan kaki untuk injak pedal gas dan tangan untuk menyelip balik sopir gila itu (dan semua itu terjadi dalam dua detik).

Tidak heran apabila Rasul Paulus setelah memaparkan dengan beda manusia lama dan manusia baru, lalu memberikan aplikasi praktis dalam hidup keseharian kita: Jangan berdusta, jangan marah, jangan ada perkataan kotor dari mulutmu, dst. Semua itu adalah spillover dari apa yang ada hati kita.

Itu sebab mari kita hidup dengan Akribos. Perhatikan apa yg kita katakan, pikirkan, perbuat dalam keseharian hidup kita. Karena itu menjadi refleksi apa yang ada di hati kita. Pengamsal dengan arif mengingatkan kita: "Jagalah hatimu dengan kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Amsal 4:23).

No comments: