Aug 31, 2007

Pernikahan Kristen (1)

Pernikahan Kristen: Papan Reklame Kasih Perjanjian Allah

Pertanyaan paling mendasar dan penting yang perlu dipertanyakan oleh setiap pasangan Kristen yang hendak dan sudah menikah adalah:
Apakah pernikahan Anda merefleksikan budaya dunia sekuler atau dibangun diatas kebenaran firman Allah?

Salah satu cara menjawab pertanyaan ini adalah memikirkan pandangan kita tentang perceraian. Sebagai contoh, hari ini dunia menawarkan apa yang disebut prenuptial agreement, yaitu sebuah kontrak yang ditandatangani oleh kedua calon mempelai sebelum menikah yang mengatur tentang soal pembagian harta apabila pernikahan tersebut tidak dapat lagi diteruskan. Inilah konsep kawin kontrak. Menikah selama masih ada cinta, menikah selama masih rasa cocok.

Dalam kitab Maleakhi 2:16, Allah berkata dengan tegas: “Aku membenci perceraian ... maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!” Hal ini kembali diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil (Markus 10, Matius 19): “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika Yesus datang ke dalam dunia, Ia bukannya meniadakan hukum Taurat / hukum Musa, namun Ia menggenapinya. Dalam Alkitab Yesus digambarkan sebagai mempelai pria dan gerejaNya sebagai mempelai wanita. Ketika Yesus datang ke dalam dunia, dengan kasih yang berkorban Ia datang untuk mati bagi mempelai wanitaNya yang telah menghianati dan meninggalkan Dia. Pola ini sebenarnya telah muncul sejak dari Perjanjian Lama. Allah tidak pernah menyerah memanggil kembali umatNya, mempelaiNya yang telah melacurkan diri kepada ilah lain (lihat secara khusus kitab Hosea). Dalam PB, hal ini didemonstrasikan dengan konkrit oleh Kristus yang mati diatas salib bagi mempelaiNya.

Itu sebabnya kita harus mengerti pernikahan Kristen sebagai simbol dari kasih Kristus yang rela berkorban bagi gerejaNya.

Saat sepasang suami-istri Kristen menikah, mereka sedang membuat sebuah statement kepada dunia: “Inilah kasih perjanjian Allah yang Ia nyatakan pada gerejaNya, kasih yang tak akan dapat dipatahkan.” Setiap suami-istri Kristen tak ubahnya seperti sebuah papan reklame hidup yang diarak keliling kota mempromosikan kasih perjanjian Allah yang tak berkesudahan terhadap umatNya.

Itu sebab pernikahan Kristen bukan hanya tentang cinta romantis antara suami-istri. Jatuh cinta memang penting di masa pacaran, dan komitmen untuk terus mencintai memang krusial saat perasaan jatuh cinta itu sudah tidak ada lagi dalam masa pernikahan. Tetapi pernikahan Kristen lebih dari semua itu. Pernikahan Kristen adalah tentang komitmen untuk memegang perjanjian cinta yang dibuat oleh suami dan istri dihadapan Allah. Karena komitmen tersebut menunjuk kepada perjanjian cinta Allah kepada gerejaNya.

Alkitab secara bulat menyatakan bahwa hanya kematian yang dapat memisahkan perjanjian kasih suami-istri. Itu sebab dalam janji pernikahan yang tradisional, ada kalimat “till death do us part” atau “as long as we both shall live.” Bahwa kematian suami atau istri mengakhiri janji pernikahan di dunia ini ditegaskan oleh Alkitab karena dalam tubuh kebangkitan di surga nanti, tidak ada lagi pernikahan (Mat 22:30).

Dari beberapa prinsip ini kita dapat menarik beberapa hal yang sering menimbulkan kebingungan diantara orang Kristen:

1. Kalau seorang suami atau istri meninggal dunia, bolehkah pasangannya menikah lagi? Boleh. Karena kematian mengakhiri perjanjian nikah tersebut, dan Paulus menulis tentang para janda bahwa “lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu” (1 Kor 7:9).

2. Kalau suami atau istri bukan orang percaya, dan dia minta cerai, bagaimana? Paulus mengatur dalam 1 Kor 7:15 bahwa jika keinginan cerai itu muncul dari orang yang tidak beriman, maka tidak ada jalan lain. Namun keingingan cerai tersebut tidak boleh muncul dari orang yang percaya/beriman, karena bukan tidak mungkin Allah menyelamatkan jiwa suami/istri yang tidak percaya tsb melalui hidup suami/istrinya yang percaya.

3. Setelah diceraikan oleh suami/istri yang tidak percaya tersebut, dan ia masih hidup, bolehkah orang yang percaya tesebut menikah lagi? Paulus mengajarkan bahwa menikah lagi dalam konteks ini adalah sebuah perzinahan di mata Allah (Lukas 16:18; 1 Kor 7:10-11).

3 comments:

k. novianto said...

Trimz Mas Sen, tulisan ini semakin mengukuhkan dan memotivasi saya. Sangat memberkati. Maklum saya baru nikah 4 bln kemarin. hi...hi..hi...

Anonymous said...

How do we know if he or she is the right for us?

Anonymous said...

Mas,,
Aku Protestan, apakah aku boleh nikah dengan Katolik?

Mohon pencerahan..

GBU