Sep 2, 2008

Tiga Kriteria Kotbah yang Baik

Jemaat Allah perlu memahami kriteria kotbah yang baik agar dapat menjadi seperti jemaat Berea yang dipuji karena mereka bukan hanya “menerima firman itu dengan segala kerelaan hati” dari Paulus dan Silas, tetapi “setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian” (Kisah 17:11).

Menurut saya, minimal ada 3 kriteria kotbah yang baik:

1. Memberitakan Firman Allah dengan meng-eksposisi seluruh maksud Allah dalam Alkitab (the whole counsel of God).

Rasul Paulus dalam pesan utamanya pada Timotius memberi sebuah tekanan: Beritakanlah firman (2 Tim 4:1-2). Berkotbah (preach the Word) berbeda dengan mengajar. Dalam 2 Tim 1:10-11 Paulus membedakan perannya sebagai seorang pengkotbah, rasul, dan guru. Kata yang dipakai untuk ‘beritakanlah’ adalah “kerusso” (bhs. Yunani) kata yang dipakai untuk utusan yang hendak menyampaikan perintah raja. Utusan tersebut harus menyampaikan dengan otoritas, intensitas, dan kesungguhan karena yang dipertaruhkan adalah otoritas yang mengutus. Demikian halnya dengan kotbah.

Paulus menulis di ayat sebelumnya: “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya” (2 Tim 4:1). Kita berkotbah mewakili Allah Bapa dan Allah Anak. Taruhannya adalah surga dan neraka. Tidak ada organisasi/ instusi lain yang membahas tentang surga/neraka, keselamatan/kebinasaan, dosa/pengampunan, kecuali gereja. Celaka kalau gereja tidak lagi memberitakan hal tersebut, karena kotbah adalah means of grace, sarana Allah menurunkan anugerah-Nya dan melahir-barukan kita. Richard Baxter menekankan sentralitas dan urgensi dari kotbah ketika ia menulis "I preach as never sure to preach again, and as a dying man to dying men."

Kotbah yang baik, karenanya adalah kotbah eksposisi, meng-ekspose jemaat pada apa yang Allah katakan. “Expose” berarti menundukkan pikiran kita dibawah Firman Tuhan, berbeda dari “impose” yang berarti menaruh pikiran, pendapat, dan minat pribadi di atas Firman Tuhan, atau memakai Firman sebagai pendukung pendapat dan pikiran pengkotbah. Kalimat Haddon Robbison harus selalu diingat oleh setiap pengkotbah:
"Whether or not a minister does biblical preaching starts with the honest answer to the question: "Do I, as a preacher, endeavor to bend my thought to the Scriptures, or do I use the Scriptures to support my thought?"

Kotbah yang baik juga harus menyampaikan the whole counsel of God (Kis 20:27) yang berarti seluruh ajaran, perintah, kehendak Allah yang Ia wahyukan untuk disampaikan pada jemaat-Nya. Sementara bagian jemaat adalah menerima semua wahyu Allah, tanpa pilih-pilih. Inilah yang disampaikan dalam seluruh pengajaran Rasul Paulus selama 2.5 tahun di gereja Efesus. Tentu dalam waktu yg relatif singkat itu, dia tidak membahas ayat per ayat dari Perjanjian Lama, tetapi dia membahas seluruh apa yang disebut DA Carson sebagai "the burden of the whole of God's revelation" yaitu:
- God's purposes in the history of redemption (truths to be believed and a God to be worshiped),
- an unpacking of human origin, fall, redemption, and destiny (a worldview that shapes all human understanding and a Savior without whom there is no hope),
- the conduct expected of God's people (commandments to be obeyed and wisdom to be pursued, both in our individual existence and in the community of the people of God), and
- the pledges of transforming power both in this life and in the life to come (promises to be trusted and hope to be anticipated)
(Challenges for the Twenty-first-century Pulpit, in Preach the Word, pp. 177-178)

2. Membukakan kemuliaan Allah, memaparkan Kristus, dan berfokus pada Injil.

2 Kor 4:3-6 menegaskan bahwa Injil mewartakan kemuliaan Kristus yang adalah gambaran Allah. Seringkali kotbah yang dianggap baik adalah yang relevan, yang banyak pakai ilustrasi. Rasul Paulus mengingatkan bahwa ada orang-orang yang memang tidak akan menerima berita Injil, sehingga pengkotbah tidak perlu tergoda menjadikan keinginan jemaat sebagai penentu arah kotbah demi untuk relevan.

Jika kita hanya mencari pengkotbah yang lucu, daripada mendengar kotbah, lebih baik kita menonton Seinfeld atau Everybody Loves Raymond. Jika kita hanya mencari pengkotbah yang memberi cerita-cerita yang mengharukan dan menggerakkan hati, kita akan lebih puas mendapatkannya dari Oprah atau Dr Phil ketimbang pengkotbah manapun. Kotbah yang baik adalah kotbah yang ekspositori, yang menyatakan pikiran Allah, bukan hikmat manusia. Mimbar-mimbar gereja Tuhan akan menyeleweng bila diisi dengan hanya 25% firman Allah, dan 75% filsafat atau psikologi atau sosiologi atau manajemen. Lagi dari Haddon Robinson yang dengan tegas menyatakan:
“If it's not expository and not solidly biblical, I don't care how wonderful the sermon is, I don't care how people line up at the door to tell you it's a great message, and I don't care how many people break down in tears as they listen—if it's not faithful to the Scriptures forget about it. You're not called to be an actor; you're called to be a preacher.”

3. Mentransformasi hidup umat Allah saat mereka melihat dan bersuka dalam kemuliaan Allah.

Allah mengubahkan manusia dengan menyatakan kemuliaan-Nya, sehingga hidup manusia kembali diletakkan dalam perspektif yang tepat di hadapan Allah, dan terus diubahkan dengan kemuliaan yang semakin besar (2 Kor 3:18). Saat kita berhadapan dengan kesucian Allah, kebesaran, kemuliaan, dan keindahanNya, maka kita juga akan diberi hikmat untuk menerapkan Firman Tuhan tersebut dalam konteks hidup kita masing-masing. Inilah cara Allah.

Kotbah yang baik bukan kotbah yang penuh ilustrasi dan aplikasi praktis tetapi kotbah yang membawa kita mengalami personal encounter dengan Allah. Pengkotbah tidak perlu mengkotbah setiap dan seluruh kebutuhan jemaat yang sangat bervariasi. Saat ia setia membukakan jemaat terhadap kemuliaan, kebesaran, keindahan, kesucian, keadilan, dan kedaulatan Allah, disana jemaat akan diubahkan.

Dua contoh yang saya kemukakan disini. Jika dalam jemaat ada para mahasiwa yang sedang kuatir dan resah tentang masa depannya setelah lulus kuliah apakah ia akan mendapat pekerjaan. Apakah pengkotbah mesti membahas tentang "Bagaimana Mencari Pekerjaan Sebagai Anak Allah?" atau "Bagaimana menjadi Konglomerat bagi Allah"? Tentu tidak. Namun jika ia berkotbah tentang kedaulatan Allah, maka disana mahasiswa tersebut akan melihat bahwa masa depannya ada ditangan Allah, dan saat ia kuatir ia sedang tidak mengingkari kebenaran tentang kedaulatan Allah yang akan memelihara hidupnya.

Jika ada sebuah keluarga yang sedang mengalami ketegangan karena suami dan istri merasa tidak cocok, lalu timbul cekcok tiap hari. Bagaimana misalnya kotbah ttg kesucian Allah dapat berbicara kepada mereka? Saat mereka mendengar pengupasan firman Allah tentang kekudusan Allah, mereka menjadi sadar bahwa misalnya (1) mereka telah berjanji untuk menjadi satu tubuh dihadapan Allah yang suci yang menuntut mereka untuk berjuang memperbaiki relasi yg sudah renggan tsb sehingga baik suami maupun istri tidak melakukan tindakan yg tidak suci, (2) mereka sadar bahwa selama ini setiap hari concern dan pemikiran mereka dikuasai dengan masalah-masalah pribadi yang ketika dibandingkan dengan isu kesucian dan kebesaran Allah tiba-tiba menjadi sangat sepele dan remeh. Mereka lalu berdoa "Tuhan, ampuni kami, karena kami tidak pernah peduli ketika kesucian-Mu diinjak-injak, karena kami sibuk membela hak-hak pribadi kami dan lalu melukai perasaan satu sama lain."

Sebagai jemaat, kita perlu menuntut agar kotbah yang disampaikan memenuhi kriteria di atas. Kita juga perlu mendoakan setiap mereka yang berkotbah agar tetap setia pada Firman.