Sep 29, 2008

Tentang Divorce & Remarriage (bag. 2)

Meneruskan posting terakhir tentang topik Divorce and Remarriage...

Point yang paling sulit adalah point yang terakhir yg saya sampaikan dalam kotbah, yaitu PERCERAIAN YANG DISEBABKAN OLEH PENYELEWENGAN SEKSUAL / ZINAH PUN JUGA BUKAN SEBUAH ALASAN UNTUK PERNIKAHAN ULANG (REMARRIAGE)

Khususnya karena saya menyadari bahwa point ke-4 tsb berbeda dengan posisi yang dipegang oleh gereja induk tempat saya melayani, Scots Church, dan Presbyterian Church Australia yang didasari oleh Westminster Confession of Faith article XXIV no 5. Itu sebabnya saya menyatakan kepada jemaat (dan harus menyatakan hal tsb) bahwa setelah melalui studi, diskusi, dan doa, saat ini saya tidak dapat dengan hati nurani yang murni atas dasar kitab suci menerima posisi yang ada dalam Westminster Confession of Faith. Saya juga menyampaikan pada posisi teologis yang saya pegang tidak mewakili posisi jemaat Indonesia dari Scots Church. Namun saya mencoba dalam waktu singkat memberikan beberapa argumen mengapa saya memegang posisi tersebut (meski tetap seluruh kotbah hampir 1 jam...jemaat Indo ini memang sudah terlatih untuk sabar menderita mendengar kotbah panjang).

Yang menjadi inti perdebatan teologis adalah pihak yang tidak bersalah dalam sebuah kasus perceraian (entah itu si suami atau si istri) karena partner mereka main gila. Mari kita lihat contoh kasusnya. Kedua kasus ini sama, bedanya hanya dalam kasus ke-1 pihak wanita yg menyeleweng, dan dalam kasus ke-2 pihak pria yg menyeleweng.

Kasus 1:
BUDI menceraikan WATI karena WATI melakukan PENYELEWENGAN SEKSUAL
WATI sudah berbuat ZINAH, terlepas dia menikah lagi atau tidak.
BUDI MENIKAH lagi, ia BEBAS menikah lagi ---- (APAKAH INI ALKITABIAH??)

Kasus 2:
BUDI menceraikan WATI karena BUDI melakukan PENYELEWENGAN SEKSUAL
BUDI melakukan ZINAH, terlepas dia menikah lagi atau tidak.
WATI BEBAS menikah lagi ------ (APAKAH INI ALKITABIAH???)

Dalam kedua kasus diatas, ada pihak yang bersalah (yang menyeleweng) dan ada pihak yang tidak bersalah.

Kalau pihak yang menyeleweng, tentu mereka sudah jelas tidak lagi boleh menikah ulang karena mereka telah berzinah.

Bagaimana dengan pihak yang tidak bersalah, yaitu Budi (dalam kasus ke-2) dan Wati (dalam kasus ke-3)? Apakah Alkitab memperbolehkan, memberi ruang untuk mereka menikah lagi?

Menurut pandangan mayoritas orang-orang Injili dan Reformed, pihak yang tidak bersalah boleh menikah lagi. Jadi ini sebabnya di banyak gereja Reformed/Presbyterian, termasuk Scots Church, mereka menikahkan orang-orang yang pernah cerai karena partner mereka menyeleweng.

Ini adalah posisi Presbyterian Church Australia selaras dengan Westminster Confession of Faith yang menyatakan di artikel XXIV, nomer 5 sebagai berikut:
“Adultery or fornication committed after a contract, being detected before marriage, giveth just occasion to the innocent party to dissolve the contract. In the case of adultery after marriage, it is lawful for the innocent party to sue out a divorce and, after the divorce, to marry another, as if the offending party were dead.”
Dengan kata lain, posisi ini mengajarkan bahwa dari pihak yang tidak bersalah BOLEH menikah lagi karena dapat menganggap bahwa pihak yang bersalah seakan-akan telah mati. ‘Kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 dan Mat 5:32 itu berlaku baik untuk perceraian dan sekaligus untuk pernikahan lagi. Hampir semua penafsir memegang pandangan ini: John Murray, Knox Chamblin, John Stott, Martin Llyod-Jones, A.T. Robertson, Matthew Poole.

Tetapi saya pribadi sampai hari ini berpendapat bahwa PERNIKAHAN ULANG pihak yang tidak bersalah pun TIDAK DIBENARKAN di dalam Alkitab.

Jadi pandangan saya adalah: Allah melarang perceraian, kecuali ada penyelewengan seksual. Tetapi dalam kasus itupun, Allah tidak meyetujui pernikahan ulang. Pandangan ini berpendapat bahwa ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 dan Mat 5:32 itu hanya berlaku untuk ‘perceraian’, tetapi tidak berlaku untuk ‘pernikahan lagi’ (re-marriage).

Berikut DUA argumentasi utama yang saya kemukakan mendukung posisi tersebut:

A. Pernikahan itu sekalipun dapat secara hukum dan diatas kertas dibubarkan oleh manusia, di mata Allah penikahan tersebut tetap masih berlaku sampai Allah sendiri yang membubarkannya melalui kematian (Matius 19:6; Markus 10:9-11; Matius 5:32; Lukas 16:18). Perhatikan bahwa KLAUSA PERKECUALIAN yang muncul dalam Matius 5:32 dan Mat 19:9 TIDAK ADA dua bagian Injil yang lain (Luk 16:18 dan Markus 10:9-11). Kedua bagian tersebut dengan jelas menyatakan bahwa segala remarriage setelah perceraian adalah perzinahan, terlepas apakah sang suami atau istri yang menceraikan.

Bahwa kematian sajalah yang mengakhiri sebuah pernikahan dapat kita lihat dalam Roma 7:1-3 dan 1 Kor 7:39:
Romans 7:1-3 Or do you not know, brothers —for I am speaking to those who know the law—that the law is binding on a person only as long as he lives? For a married woman is bound by law to her husband while he lives, but if her husband dies she is released from the law of marriage. Accordingly, she will be called an adulteress if she lives with another man while her husband is alive. But if her husband dies, she is free from that law, and if she marries another man she is not an adulteress.

1 Cor 7:39 A wife is bound to her husband as long as he lives. But if her husband dies, she is free to be married to whom she wishes, only in the Lord
Bahkan Paulus lalu berpendapat bahwa setelah ditinggal mati pasangannya pun, meski bebas menikah lagi, menurut Paulus lebih baik tidak menikah lagi: "But if her husband dies, she is free to be married to whom she wishes, only in the Lord. 40 Yet in my judgment she is happier if she remains as she is. And I think that I too have the Spirit of God." (1 Cor 7:39-40)

Bagi saya sulit sekali untuk melihat ayat-ayat ini dengan interpretasi yang berbeda.

B. Anugerah dan kuasa Allah cukup untuk memampukan pihak yg tidak bersalah dalam perceraian untuk tetap menjadi single sepanjang sisa waktu hidupnya di dunia (Matius 19:10-12,26; 1 Korintus 10:13),

Kesulitan kita adalah pendapat dan tekanan sosial dari pihak orang tua dan masyarakat kalau kita berada di pihak yg tidak bersalah dan tidak menikah lagi. "Wah, bodoh itu namanya kalau masih muda tidak mau kawin lagi", "Lho, nanti bagaimana anaknya kalau tidak ada papa / mama, jadi mesti kawin lagi baiknya", "Aduh, kalau tidak kawin lagi nanti malah sulit khan, belum lagi jadi bahan gunjingan orang" Dan seterusnya...

Komentar-komentar yg mungkin bermaksud baik diatas dibangun atas sebuah asumsi dasar: Bahwa hidup menikah itu lebih ideal, lebih bahagia, lebih diberkati daripada hidup single. Ini tentu asumsi yang salah. Pertama, kebahagiaan hidup tidak berasal dari pernikahan. Kebahagiaan hidup tidak berasal dari punya anak. Kebahagiaan hidup berasal dari ketaatan terhadap kehendak Allah. Kedua, Paulus tidak pernah menulis bahwa menikah itu lebih 'rohani' ketimbang single. Malah sebaliknya, ia menulis bahwa hidup single itu lebih baik BILA (dan HANYA BILA) itu menjadi sebuah karunia khusus. "I wish that all were as I myself am" (1 Kor 7:7).

Bagaimana pendapat Anda?