Oct 23, 2008

Christians, Be Perfect!

The following is my recent sermon in Indonesian on the above topic:

Bayangkan kalau saat interview pekerjaan, boss Anda berkata, "Apakah Saudara siap untuk bekerja di perusahaan ini dengan sempurna tanpa cacat sedikitpun?" atau saat mau dating dgn seorang wanita lalu dia berkata, "Mmm...sebelum kita berpikir untuk melangkah lebih jauh, saya ingin kamu tahu bahwa harapan saya tidak lebih dan tidak kurang adalah seorang pria yang sempurna tanpa cacat dari semua segi. Apakah Anda orangnya?"

Tentu Anda akan merasa terpelanting jauh secara mental mendengar ekspektasi yg sangat tidak masuk akal itu. Mana ada pegawai yg sempurna? Apalagi pacar yg sempurna... "Emang gua robot!"

Jika demikian halnya, kita perlu mempertanyakan apakah Yesus serius saat Ia berkata kepada para murid dan calon muridNya, "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" (Matius 5:48)? Struktur present tense yg dipakai dalam kalimat tsb menunjukkan bahwa Ia ingin agar hal tersebut menjadi tujuan yang secara terus-menerus kita miliki.

Yesus tidak menciptakan standar baru. Dalam Kejadian 17:1, Allah berkata kepada Abram 'I am El Shaddai; walk before Me, and be PERFECT' Kata tamiym yang dipakai dalam Perjanjian Lama untuk kata 'sempurna' sepadan dengan kata teleios yg dipakai dalam Perjanjian Baru (Mat 5:48). Allah mengulangi hal tersebut dalam Ulangan 18:13 "You shall be PERFECT before the Lord your God." Dengan kata lain, Yesus hanya mengembalikan standar yang dituntut Allah sejak dalam kitab Kejadian, yaitu agar umatNya sempurna seperti Allah sendiri.

Untuk memahami tuntutan Allah tersebut, kita perlu memahami arti kata "SEMPURNA", dari dua sudut. Pertama, dalam konteks keseluruhan Alkitab. Kedua, dalam konteks yg lebih immediate yaitu Matius 5:21-48.

1. Konteks Alkitab

Alkitab menyatakan bahwa sempurna bagi umat Allah berarti terus-menerus berada dalam sebuah paradoxical tension:
ALREADY PERFECT, but NOT YET PERFECT

NEVER ATTAIN PERFECTION, ALWAYS STRIVE FOR PERFECTION

Sebagai umat tebusan-Nya, kita sudah sempurna tetapi belum sempurna. Rasul Paulus berkata, "Not that I...am already perfect (teleios)...Let those of us who are mature (perfect) be thus minded...' (Phil 3:12-15). Bagian ini menolong kita untuk mengerti bahwa orang yg sempurna bukan orang yang sudah mencapai puncak kematangan rohani sehingga ia tidak dapat lagi bertumbuh. Melainkan orang yg sempurna adalah orang yang senantiasa berjuang untuk terus menjadi sempurna.

Rasul Paulus menulis bahwa dia telah sempurna, dalam pengertian sempurna atas dasar pekerjaan Kristus yg telah genap diatas kayu salib. Apakah setelah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, kita tetap masih bisa berdosa? YA, karena natur kita sbg org berdosa. Tetapi tanda kita telah mendapatkan iman yang menyelamatkan itu adakah kerinduan untuk kembali kepada Allah, dan kerinduan untuk bertumbuh dalam anugerah, dalam kebenaran, dalam kesucian. Sampai kapan? Sampai kita sempurna seperti Allah Bapa.

Kita tidak akan mencapai kesempurnaan dalam dunia ini, namun kita harus senantiasa mengejar kesempurnaan. Karena Allah sempurna, maka kita yang sungguh-sungguh adalah anak Allah akan senantiasa berusaha bergerak ke arah kesempurnaan standar Allah. Jika kita suam-suam kuku, jika kita mandeg bertumbuh secara rohani, jika karakter kita tidak ada perubahan, kita perlu memeriksa diri kita. Sungguhkah kita telah mengenal Kristus Yesus?

Kita memang diselamatkan melalui iman, tetapi iman yang menyelamatkan adalah iman yang rindu menjadi sempurna seperti Allah.

Tuhan khan bisa pakai orang yang tidak sempurna, yang berdosa, kenapa kita kok repot-repot amat? Ya, tetapi Yesus berkata kepada setiap murid-muridNya, jadilah sempurna. Saya harus jadi seorang yang sebaik apa untuk menyenangkan hati Allah? Sampai Engkau sempurna seperti Bapa. Tapi saya khan hanya manusia yang tidak sempurna? Yesus berkata: Jadilah sempurna.
Hari ini dia berkata kepada Anda dan saya, Jadilah sempurna.

Pertanyaan selanjutnya: Sempurna dalam hal apa? Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan akurat dalam konteks Matius 5:21-48.

2. Konteks Matius 5:21-48.

Kita perlu melihat konteks Matius 5, khususnya ayat 21-48 karena mencabut perintah menjadi sempurna ini tanpa melihat konteksnya seringkali menghasilkan konsep yg salah dan berbahaya. Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Menggenapi disini bukan menyelesaikan hukum Taurat shg hukum itu tidak lagi berlaku bagi kita. Menggenapi juga bukan hanya berarti melakukan dengan sempurna.

Menggenapi disini berarti memenuhi apa yang tersirat dalam hukum Allah tersebut. Itu sebab Yesus menyatakan enam buah antitesis di ayat 21-47 dengan mengatakan "Kamu telah mendengar . . . tetapi Aku berkata kepadamu." Ia mengatakan bahwa hidupnya telah menyatakan apa yg diinginkan Allah melalui hukum Taurat. Berikut bagaimana keenam perintah dalam PL tersebut menunjuk kepada sebuah gaya dan pola hidup umat Allah yang telah ditebus:

1. Jangan membunuh ----> rekonsiliasi (21-26)
2. Jangan berzinah ----> kemurnian (27-30)
3. Jangan bercerai ----> kesetiaan (31-32)
4. Jangan bersumpah ----> kejujuran (33-37)
5. Jangan membalas ----> penyangkalan diri (38-42)
6. Jangan membenci musuh ----> Kasihilah musuhmu (43-48)

Komunitas umat Allah ditandai bukan hanya dengan tidak membunuh, tetapi dengan adanya rekonsiliasi. Tidak cukup berkata "Oh, saya sih orang Kristen, jadi saya tidak pernah berzinah." Yang kita perlu tanyakan, apakah kita sungguh menjaga kemurnian hati kita setiap saat? Tidak cukup hanya mengasihi rekan kita dan tidak mencelakai musuh, Yesus ingin kita mengasihi musuh kita. Dan seterusnya.

Konteks Matius 5:21-48 menyatakan bahwa dalam ke-6 itulah kita dituntut untuk menjadi sempurna sama seperti Allah.

Namun kalau kita jujur, apakah mungkin kita terus-menerus rindu untuk menjadi sempurna seperti Bapa dalam setiap hal diatas?

Bapa gereja Augustine dalam Confessions, Buku X, Chapter 40 menulis demikian tentang hal tersebut: "God does not command his people in vain with no power to bring them to pass." Sebelum bertobat, Augustine hidup tidak beres, mengumbar hawa nafsu seksual senantiasa. Setelah ia bertobat, ia bergumul keras dgn masalah itu. Dalam pergumulannya itulah, ia menemukan insight yang saya kira hari ini sangat berharga untuk kita mengerti:
"Thou commandest continence. Grant what thou commandest and command what thou wilt"
Augustine berkata kepada Allah seakan-akan begini: "Tuhan, engkau memerintahkan aku mematikan hawa nafsu seksual-ku... Namun Engkau tahu aku tidak mampu melakukannya dengan kekuatanku sendiri. Bahkan aku akan berdosa jika mengandalkan kekuatanku sendiri. Jadi berikan hal tersebut kepadaku ya Tuhan. Berikan apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk memiliki."

Pemahaman yg sama ditunjukan oleh John Bunyan dalam satu poetry yg dia tulis:

"Run, John, run the law commands,
But gives me neither feet nor hands;
Far better news the gospel brings:
It bids me fly; it gives me wings."

Hukum Allah dan Injil memiliki persamaan, yaitu keduanya memiliki tuntutan-tuntutan hidup benar di hadapan Allah (banyak orang Kristen berpikir bahwa hidup di era Perjanjian Baru berarti hukum Allah tidak lagi berlaku, tentu ini tidak benar karena kotbah di bukit berisi tuntutan-tuntutan Kristus yg bahkan jauh lebih sulit. Namun beda hukum Allah dan Injil adalah hukum Allah hanya menuntut kita untuk ini dan itu, hukum Allah justru menyatakan bahwa semakin keras kita berupaya memenuhinya, semakin kita sadar kita tidak mampu. Sebaliknya Injil bukan hanya menuntut, tetapi memampukan kita untuk memenuhinya di dalam Kristus Yesus. Injil memberi kita sayap untuk terbang!

Injil mendemonstrasikan dua hal kepada manusia. Pertama, bahwa hukum Allah harus kita lakukan dengan sempurna (ini menyembuhkan kita dari arogansi hari kita yang berpikir bahwa kita dapat menyelamatkan dirinya sendiri). Kedua, bahwa Anak Allah telah memenuhi dengan sempurna tuntutan hukum-hukum Allah (ini menyembuhkan kita dari kebangkrutan kita yang senantiasa gagal melakukan hal yg sama).

Dengan demikian motivasi kita untuk taat, utk menjadi sempurna bukan untuk
- Menjaga image diri saya ("kalau saya tidak taat, dosa saya pasti kebongkar dan malu kalau orang tahu").
- Merontokkan rasa PD saya ("dosa membuat saya sulit percaya diri")
- Memelihara tradisi ("saya aktif di gereja, dan aktivis mestinya tidak melakukan hal seperti itu")
- Takut dihukum Allah ("api neraka bagi orang Kristen KTP yg palsu")

Kita harus berusaha hidup sempurna seperti Allah bukan karena kita takut Allah akan membuang kita (itu HUKUM). Kita berusaha hidup sempurna karena Allah telah membuktikan diatas kayu salib bahwa Dia tidak akan pernah membuang kita seberapapun bobrok-nya kita (itu ANUGERAH). Inilah motivasi kita hidup sempurna seperti Allah, yaitu untuk hidup seperti anak-Nya yang telah Ia kasihi sepenuhnya.

Kerinduan untuk menjadi sempurna seperti Allah kita miliki bukan dengan berusaha lebih keras (karena itu akan membuat kita semakin frustrasi dan diperbudak oleh rasa bersalah). Kerinduan utk menjadi sempurna kita miliki dengan belajar lebih berserah lebih sungguh kepada Kristus, yang hidup dengan sempurna mentaati kehendak Allah namun mati di kayu salib bagi kita yang tidak mampu hidup sempurna dihadapan Allah. Kita tidak bersandar pada kemampuan diri kita, tetapi bersandar kepada Kristus yg telah menggantikan tempat kita diatas kayu salib.

Hukum mengutuk kita, anugerah membebaskan kita. Berita Injil adalah berita sukacita karena:
- Ia tidak hanya menuntut kita menjadi sempurna, tetapi Ia memberi kepada kita kerinduan untuk menjadi sempurna.
- Ia tidak hanya menuntut kita hidup suci, Ia memberikan kepada kita kesucian itu.
- Ia tidak hanya menuntut kita untuk mematikan dosa, tetapi Ia juga memampukan kita untuk melawan dan membunuh dosa
- Ia tidak hanya menutut kita untuk menjadi manusia baru, Ia menciptakan manusia baru itu dalam diri kita ("dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya" - Efesus 4:24)

Dengan demikian Kristus bukan hanya sebuah inspirasi atau model untuk kita teladani, tetapi sebagai Juruselamat yg telah hidup dan mati bagi kita, sehingga di dalam Dia kita dimampukan untuk semakin rindu serupa seperti Allah Bapa di surga.

Berikut apa yg saya refleksikan beberapa waktu lalu:

We obey not to earn God's favour.
We obey because God's favour was upon us.

We obey not so that we can find God.
We obey because God has found us.

We obey not to make God indebted to us.
We obey because we are indebted to Him.

Our obedience is not a means of grace.
Our obedience is a response to grace.

"Run, John, run the law commands,
But gives me neither feet nor hands;
Far better news the gospel brings:
It bids me fly; it gives me wings."

3 comments:

Anonymous said...

Kita memang diselamatkan melalui iman, tetapi iman yang menyelamatkan adalah iman yang rindu menjadi sempurna seperti Allah.

Iman yang tidak rindu menjadi sempurna seperti Allah apakah menyelamatkan? Kelihatannya kok tidak banyak orang Kristen yang ingin sempurna. Sebaliknya, ada orang yang begitu ingin sempurna (ingin memperkenan hati Allah karena Allah sudah menyelamatkan, Kolose 1:10) tapi akhirnya "putus asa" karena merasa tidak mampu mencapainya.

Sen Sendjaya, PhD. said...

Kotbah di Bukit sangat kontroversial krn alasan itu. Kristus memberi clarion call yg membedakan pengikut Nya dan yg cuma ikut-ikutan. Iman yg sejati (saving faith) adalah iman yg emang rindu bertumbuh. Iman yg tidak pernah diikuti desire for growth perlu dipertanyakan dalam doa dgn rendah hati dihadapan Allah.

di sisi lain, memang realita yg menyedihkan yah... karena kita suka mereduksi iman dlm Kristus menjadi sebuah agama performance (tidak beda dgn agama lain), yi kita harus berusaha keras menyenangkan Allah. Kita tidak akan mampu. Kuncinya bukan usaha lebih keras, tapi bersandar lebih teguh pada finished work of Christ yg sudah melakukan apa yg kita tidak mampu lakukan (i.e., menyenangkan Allah). Dlm bahasa teologi, our sanctification should feed on our justification.

Anonymous said...

Benarkah justification di dalamnya meliputi juga "unconditional acceptance"? Jadi Allah selalu berkenan kepada kita, walaupun kita masih jatuh-bangun (belum sempurna) karena Ia "melihat" kita di dalam Kristus? Saya tanya bukan untuk debat lho, saya benar2 butuh penjelasan, sedang bergumul, saya cenderung perfeksionis sih.... ingin menyenangkan hati Tuhan. Saya tahu kita diselamatkan bukan karena performance/ketaatan, tapi setelah diselamatkan tentu ada kerinduan menyenangkan hati Tuhan sesempurna mungkin. Keselamatan sudah pasti, tidak ada keraguan. Tapi bagaimana untuk praktek hidup menyenangkan Tuhan sekarang ini? Sekali lagi bukan untuk mencapai atau mempertahankan keselamatan lho.